Presiden, Anda Sedang Apa?
Daoed Joesoef, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Sumber : KOMPAS, 04 November 2011
Sadarilah, kita seharusnya berperang! Namun, peperangan kita secara fundamental beda dengan peperangan para pendiri Negara-Bangsa Indonesia pada akhir tahun 1950-an abad lalu. Mereka berperang untuk memenangi perang revolusioner. Mereka berhasil, kemerdekaan nasional dapat direbut kembali dari cengkeraman penjajah.
Usaha besar yang kita lakukan dewasa ini, pembangunan nasional, adalah berperang memenangi perdamaian pascarevolusi. Dipandang dari sudut kompleksitas sasaran dan keragaman dimensi yang dihadapi, peperangan kita jauh lebih rumit daripada yang diakhiri dengan sukses para pendiri NKRI dahulu.
Betapa tidak. Dahulu mereka harus menghadapi hanya satu musuh: Negara- Bangsa Penjajah. Yang menjadi musuh kita sekarang sekaligus kemiskinan, ketidaksehatan, ketidaktahuan, dan ketertinggalan di aneka ragam dimensi bidang kehidupan human. Belum lagi kemunculan berbagai ide, melalui proses globalisasi, yang tanpa kecuali dijadikan dasar kehidupan oleh rakyat. Mengatasi semua ini berarti kita dituntut memerangi keseluruhan tersebut: tidak mengabaikannya, bertindak terhadapnya, dan menyibukkan diri dengan masalah vital yang ditimbulkannya.
Beda dengan Revolusi Perancis
Kita kini tak pantas lagi mengeluh, meski ada benarnya, bahwa semua anomali itu berasal dari zaman penjajahan. Kenyataan bahwa kita berani berevolusi sudah menunjukkan kepada dunia bahwa kita mau menyetopnya dan bertekad menanganinya dengan cara kita sendiri. Kemudian secara implisit hendak mewujudkan apa yang ”dijanjikan” oleh revolusi kepada semua suku yang telah berpartisipasi dalam pembentukan Negara-Bangsa melalui perang kemerdekaan.
Revolusi rakyat Indonesia yang kita banggakan berbeda dengan revolusi rakyat Perancis.
Ketika berevolusi, mereka sudah berbudaya nasional yang mantap dan sudah lama merdeka, baik dalam term bangsa maupun term negara. Mereka berevolusi untuk mengubah secara radikal sistem pemerintahan, dari monarki ke demokrasi.
Revolusi rakyat Indonesia mirip dengan revolusi rakyat Amerika. Mereka berevolusi menentang juga sekaligus penjajahan (Inggris), membentuk satu bangsa yang merdeka (Amerika), dan membangun satu negara yang berdaulat (Republik Amerika Serikat). Namun, dalam memenuhi aspirasi revolusi, mereka sangat dipermudah oleh kondisi human yang lebih kondusif daripada realitas kondisional yang kita ha- dapi.
Tokoh dan rakyat Amerika ketika deklarasi kemerdekaan pada umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah memutuskan diri dengan negeri leluhurnya di Eropa yang mereka sebut the old continent. Mereka nekat mengarungi Samudra Atlantik menuju the new continent, Amerika, karena dengan sadar dan sengaja mau membangun satu kehidupan baru yang lebih menjanjikan, the American dream, yang tak mungkin dicapai di negeri asal.
Ketika proklamasi kemerdekaan dan selama revolusi yang dicetuskannya, rakyat Indonesia rata-rata tak beranjak dari bumi kelahirannya yang selama ini menghidupi mereka. Mereka tetap berada di lingkungan suku masing-masing yang sudah eksis jauh sebelum NKRI terbentuk. Mereka diajak turut berevolusi, membentuk satu wadah kehidupan bersama yang lebih bermartabat, INDONESIA, dengan janji kehidupan yang lebih layak, sebagaimana tecermin pada ucapan ”kemerdekaan adalah jembatan emas” (Bung Karno) dan ”kita mau membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia” (Bung Hatta).
Sesudah penjajahan dikikis dari bumi Ibu Pertiwi, kita berusaha ”mengisi” kemerdekaan dengan usaha pembangunan, sekaligus demi mewujudkan janji-janji revolusi. Usaha ini terbukti gagal bukan karena keliru pelaksanaannya, melainkan lebih serius lagi berhubung salah pengonsepannya. Ia dibuat tak merata sekaligus mereduksi penduduk setempat menjadi hanya ”penonton”, bukan ”partisipan” pembangunan, menyaksikan bagaimana bumi warisan nenek moyang dikeduk habis-habisan dengan alasan demi kenaikan produk nasional bruto (GNP), pengertian yang mereka tak tahu apa maksudnya.
Ia dipercayakan pada penalaran dari hanya satu disiplin ilmiah, yaitu ekonomika, yang notabene disusun atas asas ”liberalisme” dan ”kapitalisme” picik, sangat mengingkari citra Homo humanus, manusia yang manusiawi. Padahal, untuk beberapa daerah/kesukuan tertentu, dalam konteks pembangunan, disiplin antropologi atau sosiologi bisa lebih berfungsi. Ia didekati secara ”teknokratis” yang mengetengahkan exactitude gaya ilmu fisika, tetapi tak memberikan makna apa pun bagi penduduk di tempat tertentu.
Yang mereka tunggu-tunggu adalah ”kebenaran”, terutama valuable truth, bukan sekadar explanatory truth. Pernyataan formal ”GNP naik sekian persen” tidak berarti apa-apa bagi orang Papua dan Dayak, suatu ”pepesan kosong”. Kebenaran yang mereka lihat dan alami sehari-hari, yang membuat mereka geregetan, adalah proses pemiskinan, pembohongan, pembodohan, penyusutan kekayaan alami mereka, dan perusakan lingkungan.
Secara teknosofis
Untuk mengoreksi semua kekeliruan itu, kita perlu memperlakukan usaha pembangunan nasional selaku suatu peperangan, bukan memerangi orang Papua atau suku mana pun yang bergolak karena kecewa dengan janji revolusi, melainkan memerangi sebab/sumber fundamental dari kekecewaan itu. Kita berperang untuk memenangi perdamaian dalam arti, mengatasi aneka anomali yang menodai perdamaian itu, yang justru hendak dipupus habis oleh perang kemerdekaan.
Peperangan ini harus didekati secara ”teknosofis”, persenyawaan teknologi dan filosofi, di mana filosofi bermakna pencarian suatu kriteriologi baru untuk membedakan antara pemahaman dan justifikasi, antara kebenaran yang terjelaskan dan yang bernilai. Lalu Bappenas dibenahi fungsi dan cara kerjanya agar menjadi lembaga penelitian dan pembangunan nasional yang worthy by the name.
Selanjutnya pembangunan dinyatakan dalam term ruang sosial, bukan ”pendapatan” (GNP, GDP, income). Ruang sosial ini bukanlah suatu substansi yang abstrak ala Durkheim, melainkan ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas. Secara filosofis pembangunan ini diformulasikan sebagai suatu ”gerakan komunitas” dan dalam berproses itu komunitas tadi dibuat terasa lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih akseptabel bagi warganya.
Dalam dimensi obyektif, material, kultural, dan spiritualnya, ruang sosial ini adalah produk transformasi alam melalui pikiran dan kerja manusia. Selanjutnya ruang sosial ini merupakan pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, mulai dari modifikasi yang terkecil, menengah, hingga yang terbesar.
Dengan menghidupkan ”gerakan komunitas” ke dalam penalarannya, pembangunan dalam term ruang sosial menghidupkan semangat dan praktik demokrasi kualitatif di kalangan rakyat, yaitu the government by discussion to get reasoned engagements. Mengingat pembangunan ini merupakan pementasan hubungan-hubungan sosial, ia menjadi suatu participatory development bersendikan participatory democracy, bukan lagi spectator development berdasarkan spectator democracy, suatu perintisan jalan ke arah pembentukan suatu learning society, di mana berbagai budaya berpotensi tumbuh dan saling menyuburkan, seperti budaya politik, komunikasi, ekonomi, hukum, artistik, bahkan budaya keilmuan.
Saudara Presiden, yang otomatis berfungsi selaku Pangti, Anda terpanggil memimpin perang demi memenangi perdamaian ini. Maka bersikaplah sesuai dengan panggilan zaman ini. Jangan bersikap seperti Kaisar Nero yang asyik bermain harpa di saat Roma sedang terbakar. Ya, di kita sekarang ini, api bukan lagi masih dalam sekam, ia sudah mulai merebak keluar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar