Rabu, 02 November 2011

Kerancuan Wakil Menteri (2)


Kerancuan Wakil Menteri (2)
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 01 November 2011




Pada artikel kemarin sudah dijelaskan mengenai permasalahan pada dasar hukum adanya wakil menteri yang ternyata setelah reshuffle, jumlahnya kian bertambah banyak, bahkan melebihi setengah jumlah menteri.

Ketentuan-ketentuan tentang wakil menteri di era Presiden SBY sebagaimana digambarkan di artikel kemarin,menunjukkan kekacauan berpikir para pejabat yang berwenang merumuskan norma-norma hukum. Kalau hal ini ditarik pada permasalahan yang lebih luas, kekacauan berpikir dalam merumuskan norma hukum itu akan berdampak luas, yakni timbulnya kekacauan penyelenggaraan pemerintahan.

Kalau penyelenggaraan pemerintahan negara kacau balau, kacau balau pulalah jalannya Negara Republik Indonesia ini. Memang ada mekanisme untuk memperbaikinya, namun pekerjaan itu akan membuang banyak waktu dan energi.Padahal, persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, terutama di bidang sosial dan ekonomi sudah menuntut penyelesaian segera.

Akankah Effektif?

Presiden SBY me-reshuffle kabinet pada 19 Oktober yang lalu karena banyak faktor. Faktor yang paling menentukan ialah banyaknya kritik terhadap pemerintahannya yang dinilai tidak efektif menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau pemerintahan dinilai tidak efektif,ketidakpuasan akan meluas yang berujung pada krisis kepercayaan.Suarasuara yang menuntut agar SBYBoediono turun, kini terdengar hampir setiap hari.

Untuk menjawab semua itu, reshuffle kabinet, tampaknya dianggap Presiden sebagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan, sambil memperkuat dukungan politik, paling tidak dari kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai wakil di DPR. Namun, reshuffle kabinet dengan mengganti dan memutasi sejumlah menteri, belumlah memberikan banyak harapan, selama Presiden tidak memberikan arahan dan program yang jelas dengan tenggang waktu yang cepat kepada para menterinya.

Menteri bukanlah sekadar pembantu presiden, melainkan pejabat yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai bidangnya. Dalam sistem pemerintahan kita ini, menteri tidak dapat semata- mata pejabat politik sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan berdasarkan masukan dari jajaran birokrasi.

Menteri harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah yang harus ditangani yang menjadi tanggung jawabnya, dan leadership yang cukup pula untuk membuat keputusannya menjadi efektif. Melihat nama-nama menteri baru, atau menteri yang dimutasi ke kementerian lain ketika reshuffle kali ini, kemampuan menteri-menteri yang bersangkutan masih tanda tanya dan harus diuji dalam kenyataan beberapa bulan mendatang.

Kemampuan Gita Wirjawan menangani perdagangan, Amir Sjamsudin dalam menangani hukum dan HAM, serta Cicip Sutardjo menangani kelautan masih tanda tanya. Begitu pula menteri-menteri yang dimutasi ke kementerian lain, seperti Mari Pangestu yang kini menangani pariwisata dan ekonomi kreatif, dan Jero Wacik menangani ESDM. Pertanyaan tentang efektivitas tentu terkait pula dengan banyaknya jabatan wakil menteri dalam kabinet hasil reshuffle.

Dari ketidakjelasan kedudukan wakil menteri itu saja, sudah dapat dibayangkan bahwa kinerja kabinet hasil reshuffleini tidak akan menambah efektivitas kerjanya. Ketika rapat kabinet pertama pascareshuffle, sudah ada wakil menteri yang mengatakan secara terbuka bahwa dia tidak tahu apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil menteri.

Dari sini dapat diketahui bahwa Presiden lebih dahulu mengangkat orang jadi wakil menteri, tanpa memikirkan secara struktur organisasi dan mekanisme kerja, apakah yang akan dikerjakan oleh wakil menteri pada kementerian tertentu,sehingga jabatan itu dipandang perlu untuk diadakan. Cara berpikir Presiden SBY ini terbalik. Seharusnya Presiden memikirkan secara matang, perlu tidaknya mengadakan jabatan wakil menteri pada kementerian tertentu dan menuangkannya dalam struktur organisasi, baru mengangkat orangnya.

Apa yang dilakukan Presiden SBY ini tampak seperti orang mengira-ngira saja: kementerian ini perlu wakil menteri, bahkan bukan hanya satu, melainkan dua wakil menteri. Tapi untuk apa keberadaan wakil menteri itu sesungguhnya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, ruanglingkup pekerjaannya sudah mengecil dengan otonomi daerah. Lantas, apa perlunya mengangkat dua wakil menteri untuk kementerian ini?

Persaingan

Ketidakjelasan kedudukan wakil menteri, kecacauan dalam aturan-aturannya, serta ketidakjelasan tugas dan wewenangnya pada suatu kementerian, bukan saja dapat menimbulkan tumpang tindih, namun juga membingungkan jajaran birokrasi di bawahnya. Ini akan terjadi apabila wakil menterinya bersikap kreatif dan proaktif menangani hal-hal tertentu di kementeriannya.

Sikap kreaktif dan proaktif ini bukan mustahil pula akan menimbulkan suasana kurang enak antara menteri dan wakil menteri. Rasa kurang enak itu bisa muncul ke permukaan dalam bentuk yang beragam, dari mendinginnya hubungan sampai ketegangan terbuka yang menjadi tontonan publik. Pada masa Presiden Soeharto yang memiliki karisma, kewibawaan, dan kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden SBY, mendinginnya hubungan antara menteri dan menteri muda memang terjadi.

Walaupun hal seperti itu tidak terungkap secara luas kepada publik,karena suasana kebebasan memang belum terbuka lebar, namun publik tetap mengetahui adanya masalah antara menteri dan menteri muda.Ambillah contoh antara Menteri Keuangan JB Sumarlin dan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura, dan antara Mensesneg Moerdiono dan Menmud Sekkab Saadillah Mursyid.

Itu sebabnya, maka dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII, Presiden Soeharto meniadakan jabatan menteri muda itu. Keberadaan para menteri muda dianggap tidak efektif, malah menimbulkan masalah semacam persaingan antara menteri dan menteri mudanya. Pengalaman pada masa Presiden Soeharto rupanya tidak dijadikan sebagai pelajaran. Tidak apa-apa Presiden SBY dapat berpikir sendiri dan memutuskan sendiri, apa yang dianggap terbaik bagi kabinetnya.

Waktu masih tiga tahun bagi Presiden SBY untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan efektifitas kerja kabinetnya. Kalau perombakan kabinet dan penangkatan wakil-wakil menteri ini efektif, akan meningkatlah kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan Presiden SBY akan “khusnul khatimah” sampai akhir masa jabatannya tahun 2014 nanti. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya,akan tambah sulit bagi Presiden SBY membangun kepercayaan rakyat. Demo-demo yang menuntut Presiden untuk turun dari jabatannya niscaya akan bertambah banyak saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar