Meramal
Masa Depan Covid-19 Dominicus Husada ; Kepala Divisi Infeksi dan Tropik Anak,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya; Anggota
Tim Vaksin Merah Putih Unair |
KOMPAS, 9 Juli 2021
Pemerintah Singapura
secara terbuka sudah menyatakan akan memperlakukan virus SARS- CoV-2 dan
Covid-19 sebagai penyakit endemik yang tak bisa hilang, tetapi tak akan
terlalu membuat masalah. Mereka bertindak sangat rasional
dengan mempertimbangkan semua perkembangan dalam 18 bulan terakhir. Tentu ada
berbagai landasan sebelum pernyataan dikeluarkan. Landasan yang mungkin belum
kita miliki sehingga bagi kita, berbeda dengan Singapura, diperlukan upaya
lebih keras untuk bisa mencapai titik yang sama. Memang masih ada opsi lain
untuk meramal masa depan Covid-19. Opsi terbaik adalah penyakit dapat
dieliminasi dan virus SARS-CoV-2 tak kembali. Kita punya pengalaman dengan
penyakit cacar dan rinderpest pada hewan ternak. Sayangnya, beberapa hal
membedakan Covid-19 dengan kedua penyakit itu. Yang membuat cacar bisa
kita hapuskan karena kita punya vaksin yang kuat, virus cacar tak mempunyai
inang lain, dan penyakit cacar tak ada yang tanpa gejala. Ketiga hal ini
belum bisa disamai Covid-19. Dengan semua fakta saat ini, akan sangat sulit
mengharapkan virus SARS-CoV-2 musnah selamanya. Jalan
tengah Skenario terburuk adalah
pandemi berlangsung berkepanjangan dengan jutaan manusia terus menjadi
korban. Saat ini jelas ada diskrepansi yang besar antara negara maju dan
berkembang. Jurang perbedaan ini
berpotensi membuat manusia di negara miskin dan menengah tak akan pernah
mampu lolos dari jeratan Covid-19. Ketersediaan vaksin sangat terbatas, baik
karena dana maupun suplai, jumlah tes juga sangat terbatas, dan sarana
penanganan penderita jauh tertinggal dari negara maju, jumlah maupun
distribusi. Kita berharap skenario terburuk ini tak terjadi. Adanya COVAX yang berusaha
menyeimbangkan distribusi vaksin, semakin banyak dan mudahnya tes diagnostik
untuk Covid-19 (dan pasti semakin murah), serta peningkatan kualitas dan
kuantitas sarana pelayanan kesehatan terutama di daerah periferi, adalah
upaya untuk menghindari opsi terburuk itu. Yang paling realistis
adalah seperti dikemukakan para menteri Singapura. Jalan keluar kompromistis,
yang memang jadi salah satu opsi sejak awal. Jargon ”berdamai dengan Covid”,
ataupun normal baru, pada hakikatnya mengakomodasi opsi tengah tersebut. Pasti ada beberapa alasan
yang melatarbelakangi opsi ini. Pertama, virus korona sudah ada sejak lama.
Sekitar seperempat pasien dengan keluhan panas batuk pilek sesungguhnya
disebabkan virus korona, tetapi pasti bukan SARS-CoV-2. Pasien ini bisa
mengalami keluhan berulang dalam tahun yang sama yang menunjukkan kekebalan
tak akan berlangsung lama. Rasanya juga tak mungkin jika virus penghuni dunia
yang sudah relatif tua ini tiba-tiba musnah. Kedua, sangat jelas virus
bisa bermutasi. Adanya varian alfa, beta, gamma, delta, kappa, dan lambda
membuktikan ini. Mutasi membuat virus lebih bisa beradaptasi, lebih kuat, dan
lebih sulit ditaklukkan. Ini hal dasar pada semua makhluk hidup. Mengalahkan
varian yang saat ini dominan, tak otomatis berarti mengalahkan selamanya.
Pengalaman pahit dengan varian delta saat ini harus jadi salah satu pelajaran
berharga. Masih untung kemampuan mutasi SARS-CoV-2 hanya 1/10 influenza dan
1/100 virus HIV. Itu saja virus sudah bisa meloloskan diri dari kemampuan
vaksin dan antibodi monoklonal. Ketiga, kemampuan vaksin
saat ini tak mungkin membunuh virus secara total. Perlindungan memang sangat
kuat, terutama menghindari kematian dan sakit berat, tetapi untuk sampai
tingkatan menyetop transmisi secara total tampaknya vaksin kita belum mampu. Keempat, hingga Juli 2021
belum ditemukan antivirus SARS-CoV-2 yang sungguh ampuh. Sebagai
perbandingan, antivirus terhebat di dunia adalah ARV untuk HIV. Antivirus
untuk Covid-19 belum mampu menyamai kekuatan ARV. Sekalipun demikian, saat
ini ada sedikitnya beberapa calon antivirus SARS-CoV-2 dengan kekuatan prima
yang masih menjalani uji klinis. Semoga obat ini bisa
berhasil dan segera digunakan. Keinginan menggali obat lama sebagai salah
satu modalitas terapi, yang meniru keberhasilan obat artemisinin untuk
malaria, tampaknya tidak akan berakhir dengan kesuksesan besar. Banyak obat
hanya terlihat sukses di media sosial, tetapi tidak di ranah ilmiah
kedokteran dan farmasi. Obat baru saat ini lebih menjadi tumpuan. Zona
kompromi jangka panjang Beberapa hal harus kita
persiapkan untuk menuju zona kompromi jangka panjang. Secara garis besar kita
perlu melakukan beberapa langkah yang disiapkan negara maju, termasuk
Singapura, tetapi dalam skala berbeda mengingat luasnya wilayah dan banyaknya
penduduk Indonesia. Pertama, kita perlu
cakupan imunisasi yang tinggi. Angka minimal adalah 70 persen, tetapi jika
bisa meraih 80-90 persen, keberhasilan lebih jelas terbayang. Pastilah upaya
di negeri kita lebih repot daripada di negara tetangga. Persoalan penolakan
dan keragu-raguan pada vaksin, serta aroma pertentangan politik yang tak
sepenuhnya hilang, jadi penghalang tambahan. Pemerintah sudah
menyampaikan rencana menjadikan bukti vaksinasi sebagai salah satu
persyaratan administratif dalam kehidupan sehari-hari dan hal itu bisa sangat
efektif. Sekalipun demikian, potensi perlawanan dari masyarakat, seperti
terjadi di Jembatan Suramadu, harus terantisipasi. Kedua, kualitas vaksin
pada dasarnya akan ikut berperan. Dengan kekuatan vaksin inaktif yang jelas
di bawah vaksin mRNA ataupun vaksin berbasis adeno virus, kita perlu boster
atau vaksin ulangan yang pasti makan biaya, waktu, dan tenaga. Perlu
dipertimbangkan menaikkan kualitas vaksin jika distribusi di seluruh dunia
sudah lebih bersahabat. Ketiga, kemampuan
melakukan tes diagnostik patut menjadi perhatian. Selama ini kemampuan kita
rendah. Lebih buruk lagi, tinggi rendahnya kasus positif menjadi salah satu
barometer politik. Tak heran jika banyak daerah membatasi tes. Negara maju
dengan jumlah tes yang rendah dewasa ini pasti menerima kecaman bertubi-tubi
sehingga mau tidak mau rasio jumlah tes per banyaknya penduduk menjadi salah
satu tolok ukur yang pantas diperhatikan. Tes PCR yang menjadi
standar tertinggi tak akan menjadi tes massal mengingat kesulitan teknis
pelaksanaan serta tingginya biaya. Tes yang lebih sederhana, seperti antigen,
lebih layak dipertimbangkan. Tes GeNose ataupun analisis serupa yang sedang
diteliti (dari mulut maupun keringat) butuh upaya keras untuk bisa menarik
kepercayaan para ahli dalam negeri. Publikasi internasional, dan validasi
eksternal yang lebih luas, contoh yang bisa dilakukan. Keempat, karena kasus tak
akan hilang, kemampuan mengobati perlu diperbaiki. Kita menunggu antivirus
yang lebih ampuh, selain vaksin yang lebih kuat. Jika kasus sudah tak berada
di puncak, akan tersedia ruang perawatan infeksi yang cukup di seluruh Tanah
Air. Jumlah dokter dan perawat mungkin relatif tetap, tetapi dengan manajemen
penatalaksanaan lebih baik, perawatan penderita akan kian memuaskan. Kelima, yang paling sulit,
melakukan penyesuaian kehidupan sosial. Kebiasaan memakai masker masih akan
dituntut untuk dilakukan di beberapa kegiatan. Rasanya kita tak akan masuk ke
zona 100 persen bebas masker. Namun, seperti diketahui, saat ini saja, di
banyak kelompok masyarakat hal ini sulit sekali dilakukan secara konsisten.
Belum lagi mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari makan bersama. Budaya Indonesia adalah
budaya guyub sehingga bercakap-cakap dengan banyak orang dan makan bersama
tak mungkin digusur. Padahal, kegiatan itu merupakan kesempatan utama bagi
penyebaran SARS-CoV-2. Dalam konteks kerumunan, jika tahap endemik sudah
dicapai, kegiatan massal seperti pesta perkawinan atau kegiatan agama akan
banyak yang bisa dilakukan. Tentunya dengan dukungan
cakupan imunisasi, protokol kesehatan, testing yang memadai, serta perbaikan
tata laksana seperti di atas. Memang banyak orang berharap kita bisa mencapai
tingkatan AS atau negara maju lain yang sudah membebaskan kewajiban bermasker
bagi warganya. Siapa tahu kita bisa mencapai tingkat itu juga. Namun,
keinginan yang menggebu-gebu tidak boleh mengalahkan akal sehat. Banyak orang mungkin silau
akan keberhasilan beberapa negara dan tidak mau mempelajari betapa negara
seperti itu sudah menjalankan berbagai upaya secara keras selama berbulan-bulan
dan tinggal memetik hasilnya. Jika kita tak mau bekerja keras dan hanya
mengharapkan hasil instan, maka yang akan kita terima sebenarnya banyak unsur
ilusi belaka. Efek akhirnya adalah
jumlah kasus tak bisa menurun dengan kematian yang akan terus tinggi. Data
administratif resmi bisa minimal, tetapi di lapangan korban terus berjatuhan.
Alih-alih menjadi endemik, kita akan terus dirundung wabah Covid-19 dan
secara otomatis akan dijauhi banyak negara lain. Semoga kita bisa terus
memperbaiki diri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar