Sabtu, 10 Juli 2021

 

Industrialisasi dan Komodifikasi Permainan Rakyat

Sumbo Tinarbuko ;  Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta

KOMPAS, 4 Juli 2021

 

 

                                                           

Seraya mengutip pemikiran James Walvin, sejarawan sepak bola Inggris, Trias Kuncahyono, wartawan senior, menorehkan tulisannya berjudul Piala Eropa 2020: Permainan Rakyat. Dalam representasi pendapatnya, Trias menuliskan kesaksiannya, permainan rakyat berjuluk sepak bola merupakan simbol budaya visual.

 

Pada sudut ini termaktub makna konotasi perihal kesamaan peluang dan perubahan. ”Sebagai the people’s game, sepak bola begitu sukses karena telah menjadi simbol kesamaan kesempatan dan perubahan”, tulisnya. Ditambahkan Trias sembari menyitir pendapat R Giulianotti dan R Robertson, dalam Globalization and Sport (2007), ”Dipadu secara sempurna dengan karakteristik utama masyarakat industri Barat modern—kerja tim dan kompetisi—menjadi sangat berhasil’’.

 

Opini Trias Kuncahyono yang terpampang di kolom Opini Kompas.id (18/6/2021) tampil menarik para pihak. Mengapa demikian? Karena buah pemikiran Trias yang renyah ini mampu menggoyang sekaligus membangkitkan hasrat warganet untuk memperbincangkannya dalam diskusi virtual di jagat maya.

 

Peluang dan perubahan

 

Guy Debord pernah mengatakan, kapitalisme modern telah mengubah wajah realitas sosial jagat raya menjadi panggung pertunjukan raksasa. Ia hadir dengan berbagai peluang dan perubahannya. Artinya, sebagai sebuah tontonan yang mempertunjukkan permainan rakyat bernama sepak bola, keberadaannya memberikan peluang bisnis dengan hadirnya merek produk barang dan jasa yang memosisikan dirinya sebagai sponsor pertunjukan tontonan sepak bola.

 

Lalu apa perubahannya? Realitas sosial mencatat keberhasilan industri tontonan mengomodifikasikan permainan rakyat sepak bola. Prinsipnya, bagaimana caranya agar permainan rakyat sepak bola dapat dijual dan mendatangkan keuntungan finansial sebanyak mungkin.

 

Dengan demikian, ketika permainan rakyat sepak bola berhasil dibungkus menjadi komoditas dalam perspektif jagat industrialisasi tontonan, pada titik ini permainan rakyat sepak bola membelah dirinya menjelma pasar besar berskala internasional. Batang tubuhnya didedikasikan untuk memasarkan produk barang dan jasa milik jaringan saudagar kapitalisme global.

 

Pada titik ini, seluruh media massa cetak, elektronik, dotcom, dan media sosial menayangkan iklan merek produk barang dan jasa milik jaringan saudagar kapitalisme global. Tayangan iklan itu sebagai representasi industrialisasi dan komodifikasi permainan rakyat sepak bola. Tayangan iklan berjubah permainan rakyat sepak bola diyakini mempunyai efek psikologis, sosial, ekonomi-bisnis, politik, dan budaya yang luar biasa dahsyatnya.

 

Pertanyaannya, mengapa ketika permainan rakyat sepak bola berhasil diformat menjadi sebuah komoditas harus diikuti dengan produksi tontonan dalam perspektif jagat industrialisasi bisnis pertunjukan? Jawaban dalam taferil marketing komunikasi senantiasa diarahkan kepada pesan komersial. Sebab, keberadaannya diharapkan mampu menjalankan aksi damai gendam visual kepada penggila dan pencandu bola yang diposisikan sebagai penonton.

 

Mengapa hal itu harus dikerjakan oleh tim marketing komunikasi? Karena secara komunikasi visual aksi damai gendam visual harus dilakukan. Untuk apa? Agar mereka senantiasa setia mengikuti arahan yang diperintahkan sang pesan komersial.

 

Janji setia ini wajib dikumandangkan. Kesanggupan komunal seperti itu harus dirawat dengan baik demi suksesnya penampakan visual permainan rakyat sepak bola. Semuanya itu berujung pada upaya komodifikasi permainan rakyat sepak bola yang berhasil menggerakkan roda ekonomi transnasional. Wujudnya, industri tontonan Piala Eropa 2020 yang sejatinya berisi tayangan pertunjukan pertandingan antariklan dan perlombaan bisnis antarmerek. Modus dagang seperti itu dianggap sebagai sebuah keharusan yang wajar dan manusiawi dalam konteks industrialisasi tontonan.

 

Bagi konsumen berwajah penonton, saat mereka menyaksikan penampakan visual permainan rakyat sepak bola, hati dan pikirannya senantiasa bergerak untuk membeli. Selanjutnya dengan sukarela dan berkesadaran penuh, mereka mengonsumsi produk barang ataupun jasa yang diiklankan di sana.

 

Pertandingan antarmerek

 

Semenjak permainan rakyat sepak bola berhasil dikomodifikasikan oleh pemilik merek dagang produk barang dan jasa untuk digoreng dalam kancah industrialisasi tontonan, pada titik ini terjadi dekonstruksi kultural terkait dengan permainan rakyat sepak bola. Pada awalnya permainan rakyat sepak bola sekadar aktivitas riang gembira yang menyehatkan. Sekarang keberadaannya diubah menjadi ajang pertandingan antarmerek yang memiliki konsekuensi kalah-menang atau untung-rugi.

 

Demikian juga dengan industri tontonan Piala Eropa 2020. Keberadaannya semakin mempertegas asumsi permainan rakyat sepak bola terlilit jebakan Batman. Semuanya dipersembahkan demi memenuhi tuntutan material gaya hidup dalam konteks mazhab komersialisme.

 

Selain itu, berkibar tidaknya sebuah klub sepak bola—termasuk di dalamnya karier pemain bola, pelatih, wasit—tidak dapat dilepaskan dari cengkeraman pemilik modal besar dalam dinamika jagat sepak bola.

 

Profesionalisme dalam payung mazhab komersialisasi olahraga berbanding lurus dengan ideologi obyek industri tontonan berbayar. Artinya, muncul tuntutan untuk menghadirkan aktor industri tontonan permainan rakyat sepak bola dalam kasta profesional. Siapakah mereka? Tentu saja pemain, pelatih, dan manajer yang menjadi sekrup industri tontonan.

 

Sudah cukupkah? Jelas belum. Masih harus melibatkan penyandang dana pertandingan. Ditambah kewajiban untuk menjalankan kerja berkolaborasi dengan juragan pemilik merek produk barang serta jasa. Kepada mereka disematkan tugas sebagai tim sponsor. Tugas lainnya, mereka bertanggung jawab ikut mempertandingkan merek yang dikelolanya.

 

Dukungan material berupa dana operasional, ditopang sponsor pertandingan berwujud iklan produk barang dan jasa, merupakan asupan gizi yang menyehatkan. Dari sana senantiasa berkelindan pancaran sinar terang atas prestasi atlet sepak bola. Pancaran sinar terang lainnya berupa penghasilan yang jumlahnya sangat menggiurkan publik. Metafora asupan gizi yang menyehatkan itu menjadi kebutuhan hakiki bagi sang atlet. Apalagi, mereka yang sedang digosok agar layak mendaki tangga tinggi untuk menjadi bintang industri tontonan sepak bola.

 

Terlepas dari bisnis pertandingan antarmerek, jujur harus diakui, permainan rakyat sepak bola memang membuat gila. Hingga hari ini, tak seorang pun tahu bagaimana menyembuhkan kegilaan itu.

 

Sementara itu, di luar fenomena industrialisasi dan komodifikasi permainan rakyat sepak bola, bola berhasil merampas gaya hidup pencandunya. Keberadaan bola sukses mendekonstruksi pola tidur penggilanya.

 

Karena bola, mereka cenderung menjadi gelisah. Mereka ditengarai tidak sabar menanti datangnya pertandingan bola. Mereka ingin segera menyaksikan tendangan setan pemain idolanya yang berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar