Sabtu, 10 Juli 2021

 

Diversifikasi Kunci Sistem Pangan Pasca-Covid-19

Purwiyatno Hariyadi ;  Guru Besar Teknologi Pangan IPB University; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); dan Vice Chairperson of Codex Alimentarius

KOMPAS, 3 Juli 2021

 

 

                                                           

Tahun 2021 ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan rangkaian Pertemuan Tingkat Tinggi Sistem Pangan (United Nations Food Systems Summit/UNFSS), puncaknya pada September-Oktober 2021. Pertemuan ini bertujuan mengidentifikasi cara-cara efektif mencapai target Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030. Diinginkan adanya sistem pangan yang lebih baik, yaitu lebih meningkatkan kesehatan, berkelanjutan, dan berkeadilan.

 

Diharapkan UNFSS akan menghasilkan statement of action sebagai arahan dan panduan untuk pengembangan sistem pangan yang lebih baik tadi. Pada gilirannya, arahan dan panduan ini akan dapat diterjemahkan dalam bentuk komitmen negara-negara untuk berinvestasi menuju sistem pangan yang lebih baik, sesuai dengan kondisi khasnya.

 

Sistem pangan

 

Kinerja sistem pangan, antara lain, dimanifestasikan dalam ketahanan pangan dan gizi. Secara global, kondisi ketahanan pangan dan gizi seperti dilansir FAO, Unicef, IFAD, WFP, dan WHO (2020) juga memprihatinkan. Sejak tahun 2019 (sebelum pandemi Covid-19), data menunjukkan mulai ada indikasi peningkatan jumlah orang kurang gizi. Pada 2019 diperkirakan hampir 690 juta orang (atau 8,95 persen populasi dunia) kekurangan gizi. Angka ini meningkat sebesar sekitar 10 juta orang dibandingkan dengan angka pada tahun 2018.

 

Jadi, secara global target SDGs, khususnya mencapai dunia tanpa kelaparan (zero hunger) pada tahun 2030, akan sulit tercapai. Pandemi Covid-19 kemungkinan besar akan mempercepat peningkatan jumlah orang yang kelaparan. Yang berarti, upaya pencapaian target SDGs akan semakin berat.

 

Di Indonesia, kondisi ketahanan pangan dan gizi saat ini juga tidak lebih baik. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 (Kemenkes tahun 2019), prevalensi anak balita kurang gizi cukup memprihatinkan, yaitu 17,7 persen (18 dari setiap 100) dan 30 persen (1 dari 3) anak balita menderita kurang gizi dan tengkes (stunting).

 

Laporan ini juga menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dewasa Indonesia berusia di atas 18 tahun yang mengalami kelebihan berat badan (13,6 persen) dan obesitas (21,8 persen). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu memperbaiki sistem pangannya dengan lebih serius, khususnya dengan memperhatikan kondisi pandemi Covid-19 ini. Unicef, misalnya, memprediksi jumlah anak Indonesia yang kekurangan gizi dapat meningkat tajam akibat Covid-19, kecuali jika tindakan luar biasa dan segera diambil.

 

Pertanyaan mendasar

 

Ketahanan pangan yang memburuk, bahkan sebelum pandemi Covid-19, memunculkan pertanyaan mendasar terkait sistem pangan saat ini. Dengan pandemi Covid-19, Indonesia (setiap pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan pangan) tidak hanya perlu memastikan berfungsinya rantai pasokan pangan, tetapi sekaligus juga perlu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem pangan.

 

Telah cukup banyak program dan investasi yang ditanamkan untuk pengembangan sistem pangan, tetapi kenapa ketahanan pangan dan gizi tidak juga membaik, seperti ditunjukkan oleh Riskesdas 2018.

 

Salah satu kritiknya, pengembangan sistem pangan yang dilakukan selama ini terlalu fokus untuk menghasilkan pangan dengan kuantitas tinggi dan harga murah. Fokus ini telah mendorong pertumbuhan praktik pertanian intensif, teraglomerasi, berskala besar, terfokus pada komoditas tertentu dan input yang tinggi.

 

Namun, data menunjukkan bahwa hasil dari sistem ini tidak seperti yang diharapkan. Sistem pangan saat ini telah menyebabkan peningkatan gizi buruk, tidak hanya kekurangan gizi, tetapi juga kelebihan berat badan dan obesitas.

 

Diversifikasi pangan

 

Selain itu, sistem pangan saat ini juga bergantung pada hanya beberapa komoditas pangan. Menurut FAO, sekitar 250.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi telah diidentifikasi, dan di antaranya sekitar 30.000 spesies tumbuhan dapat dimakan. Namun, hanya 30, yang berarti 0,1 persen, dari spesies tanaman yang dapat dimakan, yang digunakan untuk memberi makan dunia saat ini. Dan, dari 30 tanaman tersebut, hanya 5 tanaman serealia (yaitu beras, gandum, jagung, jawawut, dan sorgum) yang mendominasi, mencakup sekitar 60 persen asupan energi penduduk dunia.

 

Kasus Indonesia, 62,1 persen (tahun 2017) dan meningkat menjadi 65,7 persen (tahun 2018) asupan energinya hanya berasal dari tiga serealia: beras, gandum, dan jagung. Dari tiga itu, beras mendominasi (lebih dari 80 persen) dengan konsumsi 95,4 kg/kap/tahun (2017) dan 97,1 kg/kap/tahun (2018). Sistem pangan demikian cukup rapuh karena, jika terjadi gangguan pada produksi dan distribusi beras, seperti yang terjadi akibat pandemi Covid-9, dampaknya akan sangat serius.

 

Jadi, terlihat adanya kebutuhan untuk memperluas basis pangan untuk sistem yang lebih baik dan lebih tangguh. Diversifikasi pangan mantra lama yang perlu digaungkan dan digarap serius. Diversifikasi secara potensial dapat meningkatkan variasi dan kualitas pangan sehingga mampu menjamin gizi dan kesehatan yang lebih baik. Tidak hanya itu, diversifikasi pangan juga akan memperkuat aneka subsistem pangan lokal, yang berarti lebih inklusif, berkeadilan, dan lebih berkelanjutan menjaga kelestarian lingkungan.

 

Sistem pangan yang didasarkan pada usaha lokal skala kecil yang beragam jauh lebih baik daripada sistem yang hanya didasarkan pada beberapa perusahaan skala besar. Dan hal ini relevan dengan fakta bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan yang saat ini masih tersembunyi dan terkadang terabaikan atau kurang dimanfaatkan.

 

Inisiatif pemerintah dalam memelihara dan mempromosikan keragaman pangan lokal sangat penting untuk mengubah sistem pangan. Hal ini perlu dimulai dengan penelitian untuk menggali keunikan, daya saing, dan sifat fungsional khas pangan lokal, mengembangkan skema insentif bagi industri pangan (khususnya UMKM) untuk meningkatkan dan memanfaatkan bahan-bahan lokal, serta mendidik masyarakat untuk mendukung inisiatif tersebut.

 

Transformasi sistem pangan ini dapat meningkatkan kualitas pola makan kita, beralih dari pola pangan cukup energi (energy sufficient diet, yang saat ini berdasarkan beras, gandum, dan jagung) menjadi pola pangan cukup gizi (nutrient adequate diet, diet terdiri dari aneka sumber karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta mineral). Dan akhirnya, ke pola pangan berkualitas menyehatkan (healthful diet) dengan asupan pangan lebih beragam dari beberapa kelompok pangan yang berbeda, aneka buah dan sayuran, serta aneka sumber protein nabati, ikani, dan hewani.

 

Mengingat potensi keragaman sumber pangan Indonesia, investasi jangka panjang menuju pola pangan berkualitas dan menyehatkan ini perlu lebih serius dilakukan, melibatkan semua pihak dengan koordinasi nasional. Badan Pangan Nasional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pangan (UU Nomor 18 Tahun 2012) seharusnya mengoordinasikan hal ini.

 

Jelas, ada banyak tantangan (dan peluang) untuk transformasi ini. Inovasi nasional menjawab tantangan kebutuhan pangan aman, bergizi, dan berkualitas yang tersedia dan terjangkau sangat diperlukan. Kali ini, inovasi semacam itu harus dikembangkan dengan pola pikir baru, yaitu membangun sistem pangan yang dapat meningkatkan kesehatan, berkelanjutan, dan berkeadilan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar