Sabtu, 10 Juli 2021

 

”Jopro” dan Sampah Demokrasi

Wim Tohari Daniealdi ;  Dosen FISIP Unikom Bandung

KOMPAS, 4 Juli 2021

 

 

                                                           

Pada Minggu, 20 Juni 2021, jagad media sosial Twitter mendadak ramai dengan tagar #TangkapQodari. Tagar ini ditujukan kepada Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, yang pada hari itu mendeklarasikan berdirinya kelompok sukarelawan Jokowi-Prabowo atau disingkat Jopro.

 

Sebagaimana informasi yang beredar, menurut rencana, mereka mengusung kedua tokoh nasional tersebut pada Pilpres 2024. Hal ini, kemudian, mengindikasikan secara otomatis dorongan Presiden Jokowi menjabat tiga periode.

 

Terang saja ide ini terdengar janggal. Sebab, secara otomatis, realisasi terhadap ini harus melabrak tiga aras pakem politik. Pertama, pakem konstitusi yang mengamanatkan jabatan presiden hanya boleh dua kali. Membongkar pakem ini secara otomatis harus mengamendemen lebih dahulu UUD 1945. Tentu, dampak biaya dan risikonya akan sangat tinggi.

 

Kedua, pakem normatif. Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka bahwa siapa pun yang mengusulkannya menjabat tiga periode hanya dua kemungkinan, yaitu ingin mencari muka atau ingin menampar muka Presiden. Ini menunjukan pernyataan yang sangat jelas dan keras terhadap sosok dengan pola komunikasi politik setenang Jokowi.

 

Melawan pakem ini jelas tidak mudah. Sebagaimana kita saksikan tempo hari di jagad Twitter, rencana Qodari CS langsung disambut gerakan virtual #tangkapQodari oleh para netizen, baik dari pendukung Jokowi maupun yang beroposisi.

 

Ketiga, pakem logika politik itu sendiri, di mana skema yang ditawarkan Qodari CS untuk meletakkan Jokowi sebagai presiden dan Prabowo sebagai wakil presiden, adalah sebuah hipotesis yang bisa dikatakan serampangan. Seolah-olah kedua tokoh ini berdiri di ruang kedap yang tak terikat pada variabel lain selain dirinya. Qodari CS agaknya lupa bahwa di belakang kedua tokoh tersebut, ada partai politik, oligarki, dan masa pendukung yang memiliki aspirasi dan ambisinya politiknya masing-masing.

 

Akan tetapi, terlepas dari kejanggalan ekstrem yang dilontarkannya, ide ”Jokowi-Prabowo untuk 2024” sebenarnya memiliki maksud yang jelas, untuk menyelamatkan asa reformasi di negeri ini. Sebagaimana yang sudah disampaikannya di beberapa kesempatan, Qodari CS tampaknya mengarah ingin mencairkan polarisasi massa Pilpres 2014-2019 yang hingga kini masih menimbulkan ”polusi” di ruang demokrasi kita.

 

Sebagaimana kita ketahui bahwa pasca-Pilpres 2014, telah terjadi ”pembalseman” artefak konflik pilpres yang mengakibatkan polarisasi massa pendukung kandidat presiden terfregmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan kontra pemerintah. Kondisi ini membentuk pola budaya politik yang konfliktual, di mana hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik selalu menghadirkan dua sikap atau pendapat yang konfrontatif, bahkan saling menegasikan satu sama lain.

 

Sebagai dampak lanjutan dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok dan tertutupnya jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua kutub figur, yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur alteratif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam lima tahun terakhir. Sebab, siapa pun akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya pada figur Jokowi atau Prabowo.

 

Tanpa kita sadari, fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru merit-system. Para tokoh dan politisi di negeri ini lebih mengejar stigma asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu prinsip atau visi masa depan politik yang otentik.

 

Sebagaimana kita saksikan, persaingan Pilpres 2019 bahkan tidak melahirkan profil pemimpin baru dan sepi dari gagasan orisinal. Tidak ada satu pun dari narasi-narasi yang muncul kepermukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul selalu dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, ”tetap Jokowi” atau ”ganti presiden”.

 

Dampak lanjutan yang muncul kemudian adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik Jokowi maupun Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tetapi sekaligus ditentang. Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya. Akibatnya, terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita. Dari semula bersifat institusional menjadi personal.

 

Mirip seperti era Orde Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, jika pada kedua era sebelumnya, baik Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya dan menghimpun dalam dirinya semua kekuasaan politik. Kini, baik Jokowi maupun Prabowo disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan. Sebab, demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginstitusionalkan sistem, bukan mempersonalisasikannya.

 

Inilah yang luput dipahami selama polarisasi ini berlangsung. Bahwa presiden bukanlah sosok, melainkan sebuah sistem politik. Dalam konstitusi pun disebutkan bahwa presiden adalah sebuah lembaga tersendiri. Ini menunjukkan bahwa pemilihan presiden tidak bisa disimplifikasi menjadi sekadar pemilihan figur personal, tetapi sebuah mekanisme pemilihan sebuah lembaga politik.

 

Maka, tidak ada yang aneh, ketika selesai Pilpres 2019, Jokowi merangkul Prabowo untuk masuk bergabung ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisais kelompok yang ada.

 

Namun, sebagaimana kita saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut tampaknya malah membentuk struktur polarisasi baru, tetapi dengan format komposisi yang mirip demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Jadi, sangat wajar jika ada sebagian kelompok anak bangsa yang resah dan terpanggil untuk memecah arus besar ini. Mengusung ide kontroversial ”Jopro 2024” mungkin hanya salah satunya.

 

Jangan lupa, polarisasi yang terbangun sejak Pilpres 2014 itu sudah beberapa kali mengalami eskalasi puncak yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Bahkan, keduanya, pada titik ekstrem, telah secara serampangan membawa klaim keagamaan dan kebangsaan.

 

Sebagaimana kita tahu, kedua klaim ini adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan tingkat heterogenitas sekompleks Indonesia. Sebab, secara geneologis, kedua klaim ini memiliki daya pikat yang luar biasa.

 

Seseorang ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat. Keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati. Sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan bangsa (nasionalisme).

 

Akan tetapi, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya memiliki energi mahabesar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup dan hak mengenyam kebebasan, yang mana merupakan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Sejarah lagi-lagi menunjukkan bahwa tak ada satu doktrin pun yang bisa demikian luas melayani kemanusiaan selain agama dan rasa kebangsaan. Maka, tidak mengherankan jika para pendiri bangsa ini menyusun rencana politik yang sangat mapan dengan membuat skema konvergensi kebangsaan baru di atas pondasi keagamaan dan kebangsaan yang ada di Nusantara.

 

Sayangnya, yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Saat kebangsaan Indonesia sedang mencapai puncaknya dan menjadi satu prinsip kebangsaan tersendiri, sisi tersebut menjadi begitu chauvistik. Nilai-nilai kebangsaan dimonopoli, didefinisikan secara sepihak, dan kemudian dijadikan sebuah otoritas untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik. Tiba-tiba atas nama rasa kebangsaan, semua yang berbeda dengan pilihan politiknya menjadi ”tidak Indonesia”, melawan Pancasila, dan anti-kebinekaan.

 

Sementara di sisi lain, nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu cair di relung kebudayaan masyarakat justru hadir dalam wajah yang begitu garang. Agama Islam yang sejak awal hadir dengan profil profetiknya dan sudah turut membidani lahirnya kebudayaan baru nusantara modern justru saling mengecam di antara para pemeluknya. Islam serta-merta menjelma menjadi struktur otoritas yang kaku. Agama yang terkenal begitu damai dan bersahabat ini muncul dalam bentuknya yang paling eksklusif, bahkan begitu keras pada sesama penganutnya yang berbeda tendensi politik.

 

Jelas indiksinya, kedua-duanya, baik nilai-nilai kebangsaan maupun agama telah ditunggangi dan dimanipulasi. Tujuannya tidak lain untuk mengikat kesetiaan massa seluas mungkin. Sebab, sebagaimana sejarah lagi-lagi membuktikan, hanya kedua klaim inilah yang bisa mengikat militansi kelompok hingga ke titik paling ekstrem sekalipun.

 

Sayangnya, saat ini, semua lapisan kelas masyarakat, mulai dari elite hingga akar rumput sudah terstigmatisasi dengan dikotomi ini, di mana ancaman terhadap NKRI ini dibuat seolah-olah nyata sehingga glorifikasi untuk menyelamatkan NKRI menjadi jargon yang terus mengemuka selama lebih dari lima tahun terakhir. Demikian juga sebaliknya, wacana tentang ancaman penistaan agama dan penghancuran agama secara sistematis oleh kelompok tertentu terus didengungkan.

 

Terkait dengan itu, tidak bisa tidak, kedua klaim ini harus segera dirobohkan dengan cara apa pun. Jika tidak, hari-hari ke depan kita akan di bayang-bayang masa depan yang kelam, di mana rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme dan nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan, kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, tetapi akan menyeret martabat kemanusiaan hingga ke titik terendah peradabannya.

 

Pada akhirnya, kita boleh tidak menyetujui gagasan ekstrem yang dilontarkan Qodari CS. Namun, jangan sampai kita menolak pesan fundamental yang menjadi sumber keresahannya. Persoalan utama kita bukan merumuskan siapa kandidat untuk 2024, tetapi membersihkan sampah konflik yang sudah berserak di tengah masyarakat. Sebab, tentu, kita tak ingin demokrasi yang kita banggakan bersama harus mati di altar provokasi. Wallahu’alam bi sawab. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar