”Quo
Vadis” RUU Perlindungan Data Pribadi Karina Putri ; Dosen Departemen Hukum Bisnis Fakultas
Hukum UGM |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Kebocoran data bukanlah
hal baru. Banyak kejadian kebocoran data di masa lalu yang kemudian menguap
begitu saja dan disusul dengan kasus lainnya. Diungkapkan oleh Clive
Humby (2006), data adalah ‘minyak’ baru. Siapa pemilik data terbanyak dan
mampu mengolahnya, ialah sang pemenang. Di era digital, konsep ini teramat
penting untuk disadari oleh setiap orang. Data adalah aset maha
penting yang perlu dilindungi. Kerugian dari kebocoran data yang sering
terjadi dari sistem yang dimiliki
penyelenggara sistem elektronik (PSE), secara spesifik lebih merugikan
pemilik data dibandingkan dengan PSE itu sendiri. Menjadi masalah, RUU
Pelindungan Data Pribadi (PDP) yang diharapkan bisa memberikan sanksi lebih
tegas bagi PSE agar dapat meningkatkan sistem keamanannya belum kunjung
hadir, sementara kasus kebocoran data beberapa tahun terakhir masif terjadi. Selain dugaan kebocoran
data konsumen BPJS Kesehatan, pada Mei 2020 data kependudukan milik sekitar
2,3 juta warga Indonesia yang diduga bersumber dari Komisi Pemilihan Umum
diduga juga bocor dan dibagikan lewat forum komunitas peretas. Belum lagi pengakuan dua
situs jual beli daring terbesar, Tokopedia dan Bukalapak, yang mendapat
serangan peretas dan menimbulkan kebocoran data, serta bocornya data konsumen
dari anak perusahaan Lion Air yang juga diretas oleh pihak ketiga. Kekosongan hukum dalam
tataran UU tentang pelindungan data pribadi, menjadikan penegakan hukum hanya
bergantung pada sanksi di peraturan pemerintah (PP) yang relatif ringan.
Dalam Pasal 14 Ayat (5) jo Pasal 24 Ayat (3) PP No 71 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, jika terjadi kegagalan dalam
pelindungan pada data pribadi yang dikelolanya, PSE wajib memberitahukan
secara tertulis ke pemilik data pribadi. Jika kegagalan itu
berdampak serius, PSE wajib mengamankan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan segera melaporkan dalam kesempatan pertama kepada aparat
penegak hukum dan Kominfo. Kewajiban ini kemudian ditambah sanksi
administratif, berupa teguran tertulis; denda administratif; penghentian
sementara; pemutusan akses; dan/atau dikeluarkan dari daftar. Konsekuensi ini jauh
berbeda dibanding sanksi yang diberikan Otoritas Singapura pada IHis dan
SingHealth di 2018 akibat bocornya data 1,5 juta pasien, termasuk 160.000
data rekam medis, yaitu denda 750.000 dollar Singapura dan 250.000 dollar
Singapura (Berita Harian, 2019). UU tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) pun tak bisa berbuat banyak terhadap kebocoran
data ini mengingat tak terdapat pengaturan spesifik terkait tanggung jawab pengendali
data yang tak mampu menjaga sistem keamanannya, terlebih jika pengendali data
institusi yang ditunjuk pemerintah. Pertanyaan selanjutnya,
apakah memiliki UU PDP saja cukup untuk mencegah terjadinya pengulangan
kejadian terkait kebocoran data? Cakupan sanksi yang cukup luas yang dapat
diatur pada sebuah UU menjadi sebuah privilese materi muatan pada sebuah UU.
Namun apakah privilese itu digunakan dalam RUU PDP yang tengah dibahas? Sanksi
pidana Dalam RUU PDP diatur dua
jenis sanksi: sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi
ditujukan bagi pelanggaran-pelanggaran terkait pemrosesan dan pengendalian
data, termasuk untuk pelanggaran Pasal 40 Ayat (1) dalam hal terjadi
kegagalan penjagaan data dari kebocoran oleh pengendali data pribadi. Adapun penerapan sanksi
pidana relatif sejalan dengan apa yang telah diatur di UU ITE, yaitu menyasar
perbuatan sengaja dan melawan hukum terkait data. Namun, perlu diingat,
konsekuensi sanksi denda administrasi tak ditujukan untuk pemilik data, atau
dalam konteks ini masyarakat yang datanya bocor akibat peretasan, namun pada
negara. Lalu bagaimana dengan
pemilik data? Dalam RUU PDP yang sedang dibahas DPR, tak ditemukan ketentuan
spesifik terkait pengaturan mekanisme ganti rugi bagi korban peretasan data,
meski pada Pasal 13 RUU PDP disebutkan pemilik data pribadi berhak menuntut
dan menerima ganti rugi atas pelanggaran data pribadi miliknya sesuai
ketentuan perundang-undangan. Mekanisme ganti rugi yang
ditujukan sebagai pemulihan hak pemilik data juga perlu dipertimbangkan untuk
dimasukkan sebagai bagian dari RUU PDP. Hal ini sejalan dengan logika bahwa
pihak yang paling dirugikan adalah pemilik data, meski tak dimungkiri
rusaknya citra negara di mata komunitas global akibat peretasan data yang
masif. Hal ini pun sesuai dengan asas “interest reipublicae quod homines
conserventur” negara memiliki kepentingan untuk dapat melindungi rakyatnya. Ketentuan ganti rugi
secara umum dapat ditemukan pada Pasal 1246 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Disebutkan bahwa terdapat tiga unsur dalam ganti kerugian, yaitu
biaya, rugi dan bunga. Sehingga, jika ganti rugi dimasukkan sebagai bagian
RUU PDP, penghitungan atas ketiga elemen itu jadi relevan untuk
dipertimbangkan. Hal ini untuk mengarahkan
sanksi yang lebih tepat sasaran, mengingat korban peretasan umumnya bukanlah
1-2 orang, tetapi sangat jamak. Akumulasi ganti kerugian dari korban inilah
yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran PSE akan pentingnya peningkatan
kualitas keamanan pelindungan data yang mereka miliki secara berkala. Ini
penting mengingat modus atau cara peretasan terus berkembang dari waktu ke
waktu. Bukankah jika kita tidak
mengerti keterkaitan antara hal-hal yang terjadi, solusi pun akan menimbulkan
masalah baru? Semoga tidak begitu dengan UU PDP ke depannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar