Kami
Bergerombol, Maka Kami Ada Neli Triana ; Wartawan (Penulis kolom
“Catatan Urban”) Kompas |
KOMPAS, 05 Juni 2021
Berita tentang pengguna
sepeda jalan raya atau pesepeda balap yang berkonvoi melintasi ruas-ruas
utama di Jakarta, sepekan terakhir, turut memicu kegeraman banyak orang.
Pengguna jalan lain, khususnya pesepeda motor dan pengguna mobil pribadi,
yang biasanya menjadi raja di bentang aspal Ibu Kota, terusik oleh arogansi atau
keistimewaan yang diperoleh para pengguna road bike ini. Yang memicu senyum satir,
bisa jadi saat tak mengayuh kendaraan tak bermesin itu, gerombolan pesepeda
balap ini terbiasa merajai jalanan. Itu karena mereka juga bagian dari
pengguna sepeda motor ataupun mobil pribadi yang rutin menyesaki jalanan. Kasus pesepeda balap yang
mengokupasi jalan raya itu bukan praktik baru dalam penyerobotan ruang publik
yang mengakrabi kota-kota kita. Sebelumnya, beberapa kali publik gemas dengan
polah pengguna sepeda motor gede alias moge yang memaksa masuk jalan tol
bareng-bareng atau konvoi di jalan-jalan reguler. Meski beralasan
berkegiatan seperti itu hanya di akhir pekan atau di luar jam sibuk, tetap
saja ada aturan, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, yang harus ditaati. Secara garis besar, UU ini mengatur
agar pengguna jalan memiliki alokasi tempat masing-masing dan tidak boleh
saling mengganggu atau saling menutup akses. Kasus penyerobotan ruang
publik lain yang tak kalah memicu emosi adalah fenomena di bawah jembatan dan
jalan layang setiap kali hujan menyergap. Niscaya, di sana akan ditemukan
pesepeda motor bergerombol berteduh. Tak tanggung-tanggung, mereka bisa tega
hanya menyisakan satu ruas jalan yang masih bisa dilalui pengguna jalan lain.
Ketika tukang siomay atau penjual makanan lain ikut ngeriung, kolong jalan
layang seketika berubah menjadi tempat asyik bersantap dan bercengkerama. Mereka seperti tak mau
tahu jika pengguna jalan lain yang sedang perlu segera tiba di suatu tujuan,
justru terjebak kemacetan panjang. Gerombolan peneduh itu santai saja, yang
penting aman dari guyuran hujan. Dalam keseharian, ruang
publik yang rawan diserobot tak jauh dari kita. Coba lihat trotoar dan
sempadan jalan. Jika tidak diatur, diberi pembatas dan diawasi ketat,
pesepeda motor masih akan melaluinya, mobil-mobil diparkir di sana, pedagang
kaki lima mengokupasi, siapa saja juga bisa mendirikan bangunan untuk
berbagai keperluan di sana. Penyerobotan ruang kota
semacam itu selalu rawan memicu friksi antarkelompok warga urban yang membuat
kehidupan kota tak menyenangkan. Menyoal
ruang kota Mencoba memahami mengapa
penyerobotan ruang publik ini terus terjadi, bisa dimulai dari hasil riset
Irfani Fithria Ummul Muzayanah dan Djoni Hartono dari Universitas Indonesia
yang dituangkan dalam laporan di The Conversation. Keduanya meneliti 14 kota
metropolitan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Jawa
dengan menggunakan data tahun 2014. Hasilnya menunjukkan bahwa desain-desain
di kota-kota tersebut justru menciptakan hubungan sosial yang longgar. Hasil riset Irfani dan
Djoni menunjukkan bahwa kemajuan infrastruktur jalan raya di 14 kota tersebut
justru melemahkan interaksi sosial antarwarga urban. Semakin banyak jalan
mulus tersedia, semakin orang dipacu menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Kepadatan lalu lintas muncul di banyak kota, tak lagi monopoli Jakarta dan
sekitarnya. Terjebak macet dalam waktu lama nyaris setiap hari membuat
kesempatan berinteraksi antarmanusia berkurang. Kedua peneliti juga
menyimpulkan banyaknya fasilitas publik di pusat ritel atau kawasan komersial
tidak memberikan pengaruh signifikan yang mampu mendorong interaksi
masyarakat perkotaan. Di sisi lain, ruang publik yang seharusnya dapat
diakses semua warga, seperti taman kota, menurut Irfani dan Djoni, banyak
yang tidak terawat atau secara desain tidak membuat orang nyaman dan aman di
sana. Hasil riset itu selaras
dengan pendapat Profesor Gunawan Tjahjono yang menyoal ruang kota dalam
Webinar Seri 2 Dies Natalis Kajian Pengembangan Perkotaan Sekolah Kajian
Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Kamis (3/6/2021). Gunawan menyatakan bahwa
kota yang mengesankan adalah kota yang mampu menyiapkan ruang yang
menginspirasi, menarik, dan membangkitkan makna bagi warganya yang memiliki
beragam latar belakang ataupun yang sekadar singgah di sana. Namun, kota kini
banyak terperangkap pada citra universal, seperti adanya gedung tinggi, pusat
perbelanjaan, dan tempat hiburan, yang masih berkontras dengan sekitarnya. Di sekitar gedung tinggi
dan pusat belanja yang kinclong, masih ada area kotor tak dibenahi dan banyak
pemulung. Banyaknya pusat hiburan di ruang komersial justru membuka fakta ada
banyak warga lain yang tak mampu mengakses fasilitas berbayar itu. Sebagian warga kota
disebutnya hanya mampu mengenal dan mencitrakan kota pada lokasi atau simbol
kawasan tertentu yang berarti bagi dirinya ataupun kelompoknya. ”Kelompok
demikian membutuhkan ruang bergerak dan jika tidak disiapkan oleh pengelola
kota, akan disiapkan oleh mereka sendiri dan mungkin akan di luar dari
peraturan,” kata Gunawan. Penyerobotan ruang publik
oleh sekelompok orang tertentu dapat menjadi momentum untuk kembali mengukur
keberhasilan pembangunan kota-kota kita. Gunawan menyatakan, dasar mengukur
keberhasilan kota sekarang mudah saja, yaitu apakah memenuhi 17 Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang telah
disepakati bersama oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Kota yang
inklusif, akses berkeadilan dan berkelanjutan bagi semua, adalah bagian dari
17 tujuan itu. Kita perlu melihat kembali
dampak pembangunan pro jalan raya bagi kota-kota di Indonesia, termasuk
Jakarta. Jumlah panjang jalan di lima kota administrasi di DKI pada 2019
adalah 6.652.679 meter. Angka ini tidak banyak berubah sejak 10 tahun
terakhir. Namun, akses jalan penghubung ke kawasan aglomerasi Jabodetabek
meningkat, terutama akses jalan bebas hambatan. Kebijakan tersebut diikuti
melonjaknya jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota. Pada 2019 tercatat ada
11.839.921 kendaraan bermotor dengan lebih dari 11 juta di antaranya
kendaraan bermotor pribadi. Jaringan angkutan umum
baru dibenahi kurang dari satu dekade terakhir dan sampai sekarang belum
mampu memenuhi kebutuhan mobilitas lebih dari 10 juta warga di Jakarta.
Secara nyata, yang tampak di kesibukan lalu lintas Jakarta kini adalah
sesaknya ruas jalan oleh mobil dan sepeda motor dengan sejumput bus umum
serta lintasan kereta komuter. Trotoar dan jalur sepeda termasuk
infrastruktur paling anyar yang tengah dirintis pembenahannya, yang berarti
kedua fasilitas publik tersebut masih amat jarang tersedia. Dari fakta itu saja
diketahui pembenahan ruang kota Jakarta masih jauh dari pencapaian SDGs,
termasuk menjadi kota yang inklusif dan menjamin akses berkeadilan serta
berkelanjutan bagi semua warganya. Ini menandakan ketimpangan di tengah
masyarakat masih ada, interaksi sosial lemah, dan ada potensi terjadi friksi. Kekuatan
kelompok Pada 3 April 2018, harian Kompas
secara khusus membedah kasus pengojek daring yang jumlahnya membengkak, suka
berkumpul, dan berjaring kuat. Mereka sering beraksi dan bereaksi bersama
untuk sesuatu yang positif, seperti penggalangan dana bagi sesama pengojek
yang sakit. Namun, ada juga yang meresahkan, seperti mengokupasi trotoar saat
menunggu pesanan hingga bentrok dengan pengguna jalan lain atau melawan saat
ditertibkan. Antropolog dari
Universitas Gadjah Mada, Paschalis Maria Laksono, kala itu mengatakan,
pengojek daring tergabung dan menjadi bagian dari struktur kekuasaan modal
besar, tetapi tidak memiliki pengaruh di dalam struktur tersebut. Mereka pun
memilih berkomunitas untuk menunjukkan kekuatan. ”Kalau sudah pakai
atribut, mereka memiliki logika kolektif yang mempunyai pembenaran sendiri,”
kata sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, dikutip dari
edisi artikel koran yang sama. Pola pikir serupa
cenderung melekat pada komunitas lain yang ingin eksis dan diakui. Sayangnya,
dengan kondisi ruang kota yang belum mampu menjamin keadilan bagi semua
warganya, pelanggaran demi pelanggaran sering kali disikapi penegakan hukum
yang longgar. Sanksi tegas dijatuhkan setelah kasus viral dan menjadi ajang
kecaman publik. Seiring waktu berjalan, pelanggaran serupa atau dalam bentuk
lain bisa dipastikan akan terjadi lagi. Kami bergerombol, maka
kami ada. Barangkali itu yang berlaku. Jika nanti ada yang merasa terganggu,
mempersoalkan dan viral, tinggal bilang menyesal dan minta maaf saja. Siapa
tahu justru dipilih menjadi duta ini atau itu dan makin eksis di dunia nyata
dan maya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar