Kamis, 10 Juni 2021

 

Jalan Berputar Reforma Agraria

Maria SW Sumardjono ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

KOMPAS, 08 Juni 2021

 

 

                                                           

“Kebijakan pertanahan dalam UU Cipta Kerja untuk mendukung investasi dan pembangunan infrastruktur”, demikian intisari presentasi Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada webinar dalam rangka Hari Pers Nasional, 4 Februari 2021.

 

Peraturan Pemerintah (PP) No 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (BT) mengafirmasi hal itu. Fungsi BT menurut PP No 64 Tahun 2021 adalah membuat perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah (Pasal 3).

 

Tanah BT berasal dari penetapan pemerintah atas tanah negara dan yang berasal dari pihak lain. Pemanfaatan tanah dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain yang bisa berbentuk jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar -menukar, dan bentuk lain yang disepakati. BT berwenang menyusun rencana induk, membantu memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan terkait pertanahan dan tata ruang, melakukan pengadaan tanah, dan menentukan tarif pelayanan.

 

Dalam rangka kerja sama dengan pihak lain, tanah yang diperuntukkan Badan Bank Tanah (BBT) diberikan dengan Hak Pengelolaan (HPL). Di atas HPL itu dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). Sebagai catatan, pemberian HGU di atas HPL itu bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 (UUPA), walaupun definisi HGU, HGB, dan HP tetap didasarkan pada UUPA.

 

Jika diperlukan untuk mendukung kegiatan operasional, kepada BBT dapat diberikan HGB atau HP di atas HPL atas nama BBT. Pemanfaatan bagian tanah HPL oleh pihak lain dilakukan melalui perjanjian. Jangka waktu HGB di atas HPL dapat diperpanjang dan diperbaharui apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya (Pasal 40 Ayat (4)).

 

Apakah makna dari rumusan itu? Tanpa adanya Penjelasan Pasal 40 Ayat (4), hal itu harus dimaknai sesuai dengan Penjelasan Pasal 41 Ayat (4) PP No 18 Tahun 2021 tentang HPL, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang menyatakan: (1) penilaian bahwa tanah sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya itu dilakukan oleh Petugas Konstatasi dari Kantor Pertanahan; dan (2) pendaftaran perpanjangan atau pembaharuan HGB tetap dilakukan secara bertahap.

 

Selanjutnya Pasal 40 Ayat (6) menyatakan bahwa perpanjangan dan pembaharuan HGU, HGB, dan HP di atas HPL dapat diberikan sekaligus setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan.

 

Dalam Penjelasan Pasal 40 Ayat (6) tertulis “cukup jelas”. Frasa “diberikan sekaligus” itu berpotensi melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 terhadap UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Oleh karena itu, frasa “diberikan sekaligus” itu harus dimaknai sebagai pemberian perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah dalam bentuk surat keputusan, tetapi untuk pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan haknya tetap harus dilakukan secara bertahap.

 

Frasa “setelah dimanfaatkan” itu harus dimaknai sebagai “telah dilakukan pemeriksaan oleh Petugas Konstatasi”, dan terhadap frasa “diperjanjikan” haruslah dipahami bahwa jika isi perjanjian, khususnya terkait dengan perpanjangan dan pembaharuan hak atas tanah itu bertentangan dengan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 yang membatalkan pasal-pasal a quo dalam UUPM, maka perjanjian itu tidak sah dan batal dengan sendirinya karena melanggar syarat obyektif untuk sahnya suatu perjanjian.

 

Reforma agraria yang terselip

 

Rumusan reforma agraria (RA) dalam UU Cipta Kerja itu berasal dari rumusan RA di RUU Pertanahan (RUUP) versi setelah Mei 2019 ketika pemerintah bermaksud membentuk Lembaga Pengelola Tanah (LPT) dengan tujuan untuk menyediakan tanah untuk: a) kepentingan umum; b) kepentingan sosial; c) kepentingan pembangunan; d) pemerataan ekonomi; dan e) konsolidasi lahan.

 

Kritik tajam dari berbagai pihak yang menengarai bahwa pembentukan LPT sangat bias pada kepentingan investasi, diredam dengan menambahkan “RA dan keadilan pertanahan” yang ketersediaan tanahnya dijamin oleh LPT (Pasal 76 RUUP versi September 2019). Dalam perkembangannya, frasa “keadilan pertanahan” itu tak dimuat dalam UU Cipta Kerja tanpa diketahui alasannya (Pasal 126 Ayat (1) huruf f). Lebih lanjut, dalam Pasal 126 Ayat (2) ditegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan BT.

 

Dalam PP, ketersediaan tanah untuk RA dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf f dan diulang lagi dalam Pasal 16 huruf f. Definisi RA dalam PP diambil dari definisi RA pada Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang RA. Pasal 22 PP menegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA adalah dalam rangka redistribusi tanah, yang besarannya paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan BT.

 

Masalah timbul ketika Pasal 7 menyebutkan bahwa perolehan tanah BT yang merupakan hasil penetapan pemerintah terdiri dari tanah negara yang berasal dari a) tanah bekas hak; b) kawasan dan tanah terlantar; c) pelepasan kawasan hutan; d) tanah timbul; e) tanah reklamasi; f) tanah bekas tambang; g) tanah pulau-pulau kecil; h) tanah yang terkena kebijakan tata ruang; dan i) tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya.

 

Tanah negara yang disebut pada huruf a, b, c, d, dan f itu ternyata merupakan sebagian dari jenis tanah obyek reforma agraria (TORA) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perpres RA. Pertanyaannya adalah, apakah maksud dari perumusan RA dalam PP ini sedangkan paradigma BT dan RA itu jelas bersimpang jalan?

 

Kontestasi atau sinergi?

 

Pencantuman RA dalam PP yang sejak awal tidak diniatkan untuk diatur dalam UU Cipta Kerja, jika tidak diklarifikasi berpotensi memutar balik perjalanan RA. Berbagai kendala yang menyebabkan kurang gesitnya kerja-kerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sesuai pengamatan di lapangan antara lain karena: belum tersedianya kebijakan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dalam rangka RA yang komprehensif, upaya penyelesaian konflik belum menyentuh akar permasalahan, rencana penyelesaian konflik belum disertai tenggat waktu penyelesaian yang jelas, anggaran pelaksanaan RA dan penyelesaian konflik belum merupakan prioritas.

 

Kekuranglancaran kerja-kerja GTRA itu dijawab dengan komitmen Presiden untuk akselerasi penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah pada penghujung 2020. Realisasi komitmen tersebut adalah terbentuknya “Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021” melalui Keputusan Kepala Staf Kepresidenan RI Nomor 1B/T Tahun 2021. Tim diketuai Kepala Staf Kepresidenan, Menteri ATR/Kepala BPN sebagai Wakil Ketua I dan Menteri LHK sebagai Wakil Ketua II.

 

Anggota berjumlah 32 orang berasal dari kementerian koordinasi, kementerian dan lembaga, perwakilan empat organisasi non-pemerintah (ornop) yaitu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Gema Perhutanan Sosial Indonesia (Gema PS). Hasil pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tim ditindaklanjuti oleh Tim Nasional Reforma Agraria dan GTRA sebagaimana diatur dalam Perpres RA dan dilaporkan kepada Presiden setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

 

Pembentukan tim ini mendorong pendekatan “bottom-up” dalam pelaksanaan RA. Sebagai gambaran awal kerja Tim, telah diusulkan 71 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk TORA dari empat ornop anggota tim, dan empat lokasi diusulkan oleh ornop lain.

 

Dari 71 lokasi, tiga lokasi sudah diredistribusikan; 13 lokasi masuk prioritas I, siap diredistribusikan tahun 2021; prioritas II menyelesaikan delapan konflik tahun 2021 untuk diredistribusikan pada 2022; prioritas III menyelesaikan 11 sengketa/konflik pada 2022 untuk diredistribusikan pada 2022 atau 2023. Sisanya, 36 LPRA akan ditangani oleh Kementerian ATR/BPN.

 

Dari catatan KPA disebutkan bahwa 13 lokasi redistribusi seluruhnya berasal dari tanah bekas HGU perusahaan swasta serta meliputi luasan 84 hektar (2015), 1.139 hektar (2016), 444 hektar (2018), dan 288 hektar (2020).

 

Dalam rangka mendorong akselerasi RA, seyogianya tanah negara hasil penetapan pemerintah yang merupakan tanah BT (Pasal 7 PP) yang tumpang tindih dengan TORA menurut Pasal 7 Perpres RA seluruhnya (tidak hanya 30 persen) diserahkan oleh BBT sebagai land manager (yang ketua komitenya dijabat oleh Menteri ATR/Kepala BPN) kepada GTRA dalam bentuk tanah negara, untuk ditindaklanjuti redistribusinya. Sebagaimana diketahui, Menteri ATR/Kepala BPN itu juga merupakan ketua dari GTRA di tingkat pusat.

 

Pengalokasian tanah untuk RA minimal 30 persen dari tanah BT dapat diperoleh dari tanah BT yang diperoleh dari pihak lain (Pasal 8 PP). Sesuai tugas dan fungsi Kementerian ATR/BPN sebagai regulator dan administrator pertanahan, tanah-tanah yang potensial menjadi TORA perlu diidentifikasi, diinventarisasi, dan disegerakan penetapannya sebagai tanah negara.

 

Kedudukan Kementerian ATR/BPN sebagai simpul utama pelaksanaan RA dapat menyinergikan antara ketersediaan TORA dan redistribusinya dalam kerja sama dengan tim maupun GTRA dengan dukungan penuh pemerintah daerah. Kerja Kementerian ATR/BPN sebagai simpul akhir pelaksanaan RA ditandai dengan pemberian Hak Milik di atas tanah negara hasil redistribusi TORA atas nama subyek RA. Pekerjaan rumah selanjutnya ialah memastikan hak subyek RA untuk memperoleh fasilitasi dalam rangka penataan akses.

 

Sinergi dalam seluruh proses RA dan akselerasinya serta penguatan kebijakan RA dimaksudkan untuk menguatkan posisi tawar kelompok rentan dalam memperoleh keadilan terhadap akses dan pemanfaatan tanah untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, yang berpotensi tergerus jika kebijakan pertanahan cenderung difokuskan untuk mendorong investasi belaka. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar