Jalan
Berputar Reforma Agraria Maria SW Sumardjono ; Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia |
KOMPAS, 08 Juni 2021
“Kebijakan pertanahan
dalam UU Cipta Kerja untuk mendukung investasi dan pembangunan
infrastruktur”, demikian intisari presentasi Sekretaris Jenderal Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada webinar dalam
rangka Hari Pers Nasional, 4 Februari 2021. Peraturan Pemerintah (PP)
No 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (BT) mengafirmasi hal itu. Fungsi
BT menurut PP No 64 Tahun 2021 adalah membuat perencanaan, perolehan tanah,
pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian
tanah (Pasal 3). Tanah BT berasal dari
penetapan pemerintah atas tanah negara dan yang berasal dari pihak lain.
Pemanfaatan tanah dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain yang bisa
berbentuk jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar -menukar, dan
bentuk lain yang disepakati. BT berwenang menyusun rencana induk, membantu
memberikan kemudahan perizinan berusaha/persetujuan terkait pertanahan dan
tata ruang, melakukan pengadaan tanah, dan menentukan tarif pelayanan. Dalam rangka kerja sama
dengan pihak lain, tanah yang diperuntukkan Badan Bank Tanah (BBT) diberikan
dengan Hak Pengelolaan (HPL). Di atas HPL itu dapat diberikan Hak Guna Usaha
(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). Sebagai catatan,
pemberian HGU di atas HPL itu bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 (UUPA),
walaupun definisi HGU, HGB, dan HP tetap didasarkan pada UUPA. Jika diperlukan untuk
mendukung kegiatan operasional, kepada BBT dapat diberikan HGB atau HP di
atas HPL atas nama BBT. Pemanfaatan bagian tanah HPL oleh pihak lain
dilakukan melalui perjanjian. Jangka waktu HGB di atas HPL dapat diperpanjang
dan diperbaharui apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan pemberian haknya (Pasal 40 Ayat (4)). Apakah makna dari rumusan
itu? Tanpa adanya Penjelasan Pasal 40 Ayat (4), hal itu harus dimaknai sesuai
dengan Penjelasan Pasal 41 Ayat (4) PP No 18 Tahun 2021 tentang HPL, Hak atas
Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang menyatakan: (1)
penilaian bahwa tanah sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan pemberian haknya itu dilakukan oleh Petugas Konstatasi dari Kantor
Pertanahan; dan (2) pendaftaran perpanjangan atau pembaharuan HGB tetap
dilakukan secara bertahap. Selanjutnya Pasal 40 Ayat
(6) menyatakan bahwa perpanjangan dan pembaharuan HGU, HGB, dan HP di atas
HPL dapat diberikan sekaligus setelah dimanfaatkan dan diperjanjikan. Dalam Penjelasan Pasal 40
Ayat (6) tertulis “cukup jelas”. Frasa “diberikan sekaligus” itu berpotensi
melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21-22/PUU-V/2007 terhadap UU
No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Oleh karena itu, frasa
“diberikan sekaligus” itu harus dimaknai sebagai pemberian perpanjangan dan
pembaharuan hak atas tanah dalam bentuk surat keputusan, tetapi untuk
pendaftaran perpanjangan dan pembaharuan haknya tetap harus dilakukan secara
bertahap. Frasa “setelah
dimanfaatkan” itu harus dimaknai sebagai “telah dilakukan pemeriksaan oleh
Petugas Konstatasi”, dan terhadap frasa “diperjanjikan” haruslah dipahami
bahwa jika isi perjanjian, khususnya terkait dengan perpanjangan dan
pembaharuan hak atas tanah itu bertentangan dengan Putusan MK Nomor
21-22/PUU-V/2007 yang membatalkan pasal-pasal a quo dalam UUPM, maka
perjanjian itu tidak sah dan batal dengan sendirinya karena melanggar syarat
obyektif untuk sahnya suatu perjanjian. Reforma
agraria yang terselip Rumusan reforma agraria
(RA) dalam UU Cipta Kerja itu berasal dari rumusan RA di RUU Pertanahan
(RUUP) versi setelah Mei 2019 ketika pemerintah bermaksud membentuk Lembaga
Pengelola Tanah (LPT) dengan tujuan untuk menyediakan tanah untuk: a)
kepentingan umum; b) kepentingan sosial; c) kepentingan pembangunan; d)
pemerataan ekonomi; dan e) konsolidasi lahan. Kritik tajam dari berbagai
pihak yang menengarai bahwa pembentukan LPT sangat bias pada kepentingan
investasi, diredam dengan menambahkan “RA dan keadilan pertanahan” yang
ketersediaan tanahnya dijamin oleh LPT (Pasal 76 RUUP versi September 2019).
Dalam perkembangannya, frasa “keadilan pertanahan” itu tak dimuat dalam UU
Cipta Kerja tanpa diketahui alasannya (Pasal 126 Ayat (1) huruf f). Lebih
lanjut, dalam Pasal 126 Ayat (2) ditegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA
paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan BT. Dalam PP, ketersediaan
tanah untuk RA dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf f dan diulang lagi
dalam Pasal 16 huruf f. Definisi RA dalam PP diambil dari definisi RA pada
Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2018 tentang RA. Pasal 22 PP
menegaskan bahwa ketersediaan tanah untuk RA adalah dalam rangka redistribusi
tanah, yang besarannya paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang
diperuntukkan BT. Masalah timbul ketika
Pasal 7 menyebutkan bahwa perolehan tanah BT yang merupakan hasil penetapan
pemerintah terdiri dari tanah negara yang berasal dari a) tanah bekas hak; b)
kawasan dan tanah terlantar; c) pelepasan kawasan hutan; d) tanah timbul; e)
tanah reklamasi; f) tanah bekas tambang; g) tanah pulau-pulau kecil; h) tanah
yang terkena kebijakan tata ruang; dan i) tanah yang tidak ada penguasaan di
atasnya. Tanah negara yang disebut
pada huruf a, b, c, d, dan f itu ternyata merupakan sebagian dari jenis tanah
obyek reforma agraria (TORA) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perpres RA.
Pertanyaannya adalah, apakah maksud dari perumusan RA dalam PP ini sedangkan
paradigma BT dan RA itu jelas bersimpang jalan? Kontestasi
atau sinergi? Pencantuman RA dalam PP
yang sejak awal tidak diniatkan untuk diatur dalam UU Cipta Kerja, jika tidak
diklarifikasi berpotensi memutar balik perjalanan RA. Berbagai kendala yang
menyebabkan kurang gesitnya kerja-kerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA)
sesuai pengamatan di lapangan antara lain karena: belum tersedianya kebijakan
dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dalam rangka RA yang komprehensif,
upaya penyelesaian konflik belum menyentuh akar permasalahan, rencana
penyelesaian konflik belum disertai tenggat waktu penyelesaian yang jelas,
anggaran pelaksanaan RA dan penyelesaian konflik belum merupakan prioritas. Kekuranglancaran
kerja-kerja GTRA itu dijawab dengan komitmen Presiden untuk akselerasi
penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah pada penghujung 2020.
Realisasi komitmen tersebut adalah terbentuknya “Tim Percepatan Penyelesaian
Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021” melalui
Keputusan Kepala Staf Kepresidenan RI Nomor 1B/T Tahun 2021. Tim diketuai
Kepala Staf Kepresidenan, Menteri ATR/Kepala BPN sebagai Wakil Ketua I dan
Menteri LHK sebagai Wakil Ketua II. Anggota berjumlah 32 orang
berasal dari kementerian koordinasi, kementerian dan lembaga, perwakilan
empat organisasi non-pemerintah (ornop) yaitu Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA),
dan Gema Perhutanan Sosial Indonesia (Gema PS). Hasil pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab tim ditindaklanjuti oleh Tim Nasional Reforma Agraria dan GTRA
sebagaimana diatur dalam Perpres RA dan dilaporkan kepada Presiden setiap
tiga bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Pembentukan tim ini
mendorong pendekatan “bottom-up” dalam pelaksanaan RA. Sebagai gambaran awal
kerja Tim, telah diusulkan 71 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk
TORA dari empat ornop anggota tim, dan empat lokasi diusulkan oleh ornop
lain. Dari 71 lokasi, tiga
lokasi sudah diredistribusikan; 13 lokasi masuk prioritas I, siap
diredistribusikan tahun 2021; prioritas II menyelesaikan delapan konflik
tahun 2021 untuk diredistribusikan pada 2022; prioritas III menyelesaikan 11
sengketa/konflik pada 2022 untuk diredistribusikan pada 2022 atau 2023.
Sisanya, 36 LPRA akan ditangani oleh Kementerian ATR/BPN. Dari catatan KPA
disebutkan bahwa 13 lokasi redistribusi seluruhnya berasal dari tanah bekas
HGU perusahaan swasta serta meliputi luasan 84 hektar (2015), 1.139 hektar
(2016), 444 hektar (2018), dan 288 hektar (2020). Dalam rangka mendorong
akselerasi RA, seyogianya tanah negara hasil penetapan pemerintah yang
merupakan tanah BT (Pasal 7 PP) yang tumpang tindih dengan TORA menurut Pasal
7 Perpres RA seluruhnya (tidak hanya 30 persen) diserahkan oleh BBT sebagai
land manager (yang ketua komitenya dijabat oleh Menteri ATR/Kepala BPN)
kepada GTRA dalam bentuk tanah negara, untuk ditindaklanjuti redistribusinya.
Sebagaimana diketahui, Menteri ATR/Kepala BPN itu juga merupakan ketua dari
GTRA di tingkat pusat. Pengalokasian tanah untuk
RA minimal 30 persen dari tanah BT dapat diperoleh dari tanah BT yang
diperoleh dari pihak lain (Pasal 8 PP). Sesuai tugas dan fungsi Kementerian
ATR/BPN sebagai regulator dan administrator pertanahan, tanah-tanah yang
potensial menjadi TORA perlu diidentifikasi, diinventarisasi, dan disegerakan
penetapannya sebagai tanah negara. Kedudukan Kementerian
ATR/BPN sebagai simpul utama pelaksanaan RA dapat menyinergikan antara ketersediaan
TORA dan redistribusinya dalam kerja sama dengan tim maupun GTRA dengan
dukungan penuh pemerintah daerah. Kerja Kementerian ATR/BPN sebagai simpul
akhir pelaksanaan RA ditandai dengan pemberian Hak Milik di atas tanah negara
hasil redistribusi TORA atas nama subyek RA. Pekerjaan rumah selanjutnya
ialah memastikan hak subyek RA untuk memperoleh fasilitasi dalam rangka
penataan akses. Sinergi dalam seluruh
proses RA dan akselerasinya serta penguatan kebijakan RA dimaksudkan untuk
menguatkan posisi tawar kelompok rentan dalam memperoleh keadilan terhadap
akses dan pemanfaatan tanah untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya, yang
berpotensi tergerus jika kebijakan pertanahan cenderung difokuskan untuk
mendorong investasi belaka. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar