Jojon
Bagja Hidayat ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
08 Maret 2014
Jojon
meninggal, dan kita kehilangan satu cermin.
Para
pelawak adalah pantulan kita di alam nyata. Mereka selalu mengingatkan bahwa
tertawa adalah momen penting dalam hidup yang disediakan humor. Ada pepatah
dalam bahasa Sunda, suku yang melahirkan bodor macam Kabayan, "hirup mah ngan ukur heuheuy jeung deudeuh".
Hidup itu cuma tawa dan duka,
tergantung cara kita melihatnya.
Karena
itu, betapa mulia menjadi pelawak. Mereka hadir meminta ditertawakan, sesuatu
yang dihindari banyak orang. Kita tak ingin dianggap lucu karena itu
merendahkan. Ada ungkapan bahwa "tak
lucu" untuk apa saja yang dianggap tak sesuai dengan norma umum.
"Tak lucu kalau ulama korupsi." Padahal, dalam dunia banyol, ulama
korupsi justru lucu karena begitu keterlaluan menyalahi kaidah normal.
Satir
semacam itu telah lama menjadi bahan humor untuk meledek betapa kita dan
hidup yang nyata lebih lucu dari lawakan paling menggelitik sekalipun. Jojon
dan para pelawak lain bekerja menjungkirbalikkan logika umum yang kadung
dianggap sebagai nilai-nilai adiluhung. Gaya melawak Jojon itu sendiri memakai
banyak hal yang saling bertabrakan.
Tampangnya
bloon. Di Grup Jayakarta, ia selalu
menjadi obyek cemooh teman-temannya yang lain: Cahyono yang sok wibawa, Uu
preman yang tengil, atau Esther yang gemulai. Ia memakai dasi kupu-kupu,
aksesori resmi dalam jamuan makan malam, dipadukan dengan kaus atau kemeja
motif cerah plus overall untuk
menahan celana ngatung yang kedodoran. Fasad itu kian absurd karena Jojon
yang memelas dan nyengir mengibakan itu memakai kumis ala Hitler-diktator
Jerman yang sadisnya melebihi setan.
Dunia
jungkir-balik itu menghadirkan tawa bagi kita, para penonton yang melihatnya
di panggung atau film-film mereka. Jojon dan para pelawak telah menghadirkan
dunia di seberang yang tak umum dipahami banyak orang. Dari situlah kita becermin
bahwa nilai dan logika, juga mungkin kebenaran, selalu punya perspektif dan
kebenaran lain jika ditinjau dari cara pandang berbeda. Kumis Hitler
kehilangan keangkerannya ketika menempel di mimik Jojon yang memelas.
Para
pelawak, dengan begitu, mengajak kita untuk selalu bersedia memikirkan segala
kemungkinan bahwa manusia tak pernah mencapai final yang selesai. Humor yang
menyebabkan manusia ketawa, demikian para filsuf menyimpulkan, adalah satu misteri yang belum bisa
dipecahkan filsafat. Bahkan para pelawak ditempatkan lebih tinggi dibanding
para pemikir.
Sebelum
mereka menjungkirkan logika kita, para pelawak mesti memahami logika umum
terlebih dulu, lalu mencari celah untuk memandangnya dari titik yang berbeda.
Dari situlah humor hadir karena meruntuhkan tatanan logika yang ajek dalam
ingatan kolektif kita. Humor, karena itu, pernah dianggap subversif oleh
rezim yang represif. Slogan grup Warkop adalah "tertawalah sebelum tertawa itu dilarang".
Slogan
Dono-Kasino-Indro itu terasa lucu bukan saja karena anjurannya menggelikan,
tapi juga mengandung satire tentang kemungkinan ada larangan orang ketawa,
hak manusia paling asasi. Karena itu humor adalah cermin, memantulkan hidup
dan kenyataan lewat banyolan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar