Kekerasan
terhadap Perempuan Perspektif Islam
Musdah Mulia ;
Aktivis Perempuan
|
TEMPO.CO,
08 Maret 2014
Resolusi
Sidang Umum PBB pada 20 Desember 1993 menyepakati perlunya mengakhiri semua
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar, kekerasan
terhadap perempuan adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia karena
dampaknya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi perempuan
sebagai korban.
Data
kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat
drastis. Jika pada 2012 ada lebih 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus.
Yang dominan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 372 kasus dan
kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK
Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Tapi,
bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan
data dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang concern terhadap isu
perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai dan belum
serius menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Padahal, dalam berbagai
dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, kekerasan terhadap perempuan dinyatakan
sebagai kejahatan HAM yang sistemik dan berdampak luas.
Lalu,
bagaimana pandangan Islam terkait dengan isu ini? Hal itu penting, mengingat
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Islam diyakini para pemeluknya
sebagai rahmatan lil alamin. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah
pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan dan kesetaraannya
dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seorang manusia di sisi Tuhan adalah
prestasi dan kualitas takwa, tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (QS
Al-Hujurat, 49:13).
Al-Quran
tidak menganut paham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis
kelamin tertentu. Islam tidak memberikan keutamaan pada laki-laki seperti
salah dipahami selama ini. Islam juga tidak memandang hina perempuan. Islam
mengajarkan untuk menghormati manusia, apa pun adanya. Islam memandang
manusia secara optimistis dan positif. Demikian pula, Islam tidak mengakui
adanya the first ethnic, prinsip yang mengistimewakan suku tertentu.
Islam
tidak membenarkan adanya dominasi suatu golongan terhadap golongan lain.
Semua bentuk dominasi selalu berujung pada perilaku kekerasan, ketidakadilan,
dan kezaliman. Hal demikian pasti tidak sesuai dengan pesan moral Islam yang
luhur, yang menghendaki manusia saling mengasihi, saling menghormati, dan
saling membantu.
Islam,
sesuai dengan namanya, salima (berarti damai), adalah agama yang mengutamakan
kasih sayang, keadilan, kedamaian, kelembutan, dan keselamatan. Segala bentuk
kekerasan, apa pun dalihnya, tidak dibenarkan dalam Islam, apalagi kekerasan
terhadap perempuan, yang sampai kini masih saja menjadi kelompok rentan dan
marginal dalam masyarakat.
Tindak
kekerasan terhadap perempuan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari
ketidakadilan gender (gender inequality).
Ketidakadilan gender dalam realitas sehari-hari melahirkan pelbagai bentuk
ketidakadilan, seperti pemiskinan ekonomi, pemerkosaan, termasuk pemerkosaan
dalam perkawinan, prostitusi, sunat, kekerasan dalam bentuk pornografi,
kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam program keluarga berencana
(KB), dan dalam bentuk pelecehan seksual di tempat kerja yang banyak terjadi
akhir-akhir ini.
Dalam
ajaran Islam terdapat beberapa ayat yang secara tekstual maknanya sering
diarahkan oleh sebagian ulama kepada legitimasi terhadap tindak kekerasan
kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, seperti An-Nisa
4:34, yang sering digunakan sebagai dalil tentang bolehnya pemukulan terhadap
istri. Namun, sebagian besar ulama sepakat untuk tidak memahami ayat-ayat
tersebut dengan pemahaman tekstual, karena akan kehilangan makna esensialnya.
Karena
itu, dalam kaitan dengan tindakan pemukulan ini, beberapa ketentuan yang
digariskan ulama harus diperhatikan, khususnya bagi para lelaki. Di
antaranya, dilarang memukul menggunakan alat yang keras dan tajam, seperti
tongkat dan sejenisnya; dilarang memukul pada bagian wajah; dilarang memukul
hanya pada bagian tertentu; dan dilarang memukul yang dapat menimbulkan
cedera, apalagi sampai cacat.
Artinya,
umumnya ulama sepakat, tidak boleh ada pemukulan, tidak boleh ada kekerasan
terhadap perempuan. Bahkan, Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, menegaskan,
hanya laki-laki yang tidak beradab yang berani memukul istri. Lebih lanjut,
beliau mengatakan, sesungguhnya kita para suami dituntut agar senantiasa
berlaku lemah lembut, kasih sayang, dan sopan santun dalam segala situasi
terhadap istri. Pernyataan itu sesuai dengan hadis Nabi SAW: sebaik-baik
suami adalah yang paling santun terhadap istri.
Dewasa
ini, di mana kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu
sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara perempuan
dalam interpretasi keagamaan. Sudah saatnya mensosialisasi interpretasi agama
yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap
perempuan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar