Gender
Equality, Fatamorgana atau Oase?
Gita Ardi Lestari ;
Mahasiswi S-1 Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Airlangga Surabaya, Sedang berada di Bangladesh
|
JAWA
POS, 08 Maret 2014
SAAT
menulis artikel ini, penulis baru selesai menyaksikan Running Man episode 187, sebuah reality show Korea Selatan yang mengharuskan artis tenar
melakukan misi-misi permainan yang menantang ketahanan fisik dan kecerdikan
pikiran. Pada episode tersebut, Ji Hyo, satu- satunya member perempuan di
antara tujuh Running Man, memenangi misi final: membuat perahu dari kasur
lipat dan menyeberangi Sungai Han!
Dari
reality show episode tersebut, ada
satu hal yang bisa dimaknai. Yakni, terlalu muluk jika menempatkan target
untuk menang ketika kita hanya memiliki modal yang minim. Optimisme dan kerja
keras adalah faktor pengubah yang diperlukan jika ingin berjuang untuk
menang.
Seperti
itulah posisi perempuan dalam masyarakat sekarang ini. Dipinggirkan, tidak
mudah mendapat kesempatan yang sama dalam masyarakat, dan jarang mendapat
penghargaan yang layak. Namun, apa yang terjadi jika dengan minimnya modal
yang dimiliki, seperti kesempatan dan peluang, perempuan mampu berkembang dan
menunjukkan potensinya? Masihkah perempuan bisa menang?
Peran
perempuan tidak sedominan laki-laki, meskipun dalam konteks ini gender menjadi
fokusnya. Seorang feminis, Gayatri Spivak, dalam tulisannya, Can the Subaltern Speak?, tidak
semata-mata menggambarkan ketimpangan sosial yang dialami perempuan. Lebih
dari itu, dia membuat kita membuka mata dan pikiran bahwa perempuan merupakan
makhluk yang eksistensinya nyata, namun hilang secara fungsional dalam
masyarakat.
Bagi
Spivak, upacara Sati, yakni prosesi membakar diri oleh perempuan India ketika
sang suami telah meninggal, merupakan salah satu contoh yang menjelaskan
posisi perempuan pada umumnya. Tanpa laki-laki, pilihan menjadi terbatas.
Karena itu, ketika sang suami meninggal lebih dulu, tidak ada jalan yang
lebih baik bagi si perempuan kecuali ikut hangus dalam upacara yang sama.
Kenyataan itulah yang membawa Spivak pada asumsi bahwa sekalipun perempuan
memiliki suara untuk berbicara, apakah kemudian ada yang mau mendengarnya?
Angka
kejahatan dan kriminalitas terhadap perempuan selalu meningkat setiap tahun.
Terutama di negara berkembang seperti Indonesia dan India. Beberapa waktu lalu,
televisi India memperkenalkan aplikasi VithU sebagai bentuk proteksi karena
naiknya angka kejahatan pada perempuan. Sebagai bentuk pelacak GPS yang bisa
diunduh secara cuma-cuma, aplikasi tersebut diharapkan mampu menekan angka
kejahatan pada perempuan. Karena itu, daripada perdebatan mengenai apakah
baju ketat yang dipakai beberapa perempuan mengundang kriminalitas yang
sering diperbincangkan dalam perdebatan di negeri kita, agaknya langkah
preventif ini bisa menjadi contoh yang perlu diambil.
Pada Hari
Perempuan Internasional tahun ini, isu yang diangkat PBB adalah Equality for Women is Progress for All.
Tema itu berusaha menunjukkan bahwa adanya persamaan gender bagi perempuan
akan membuka kesempatan bagi mereka untuk berkembang seluas-luasnya. Salah
satu contoh menarik adalah Bangladesh. Di negara itu, melihat perempuan
menyetir mobil apalagi berkendara sepeda motor merupakan hal yang sangat unik
dan bahkan aneh. Tidak jarang kemudian pengemudi lain dan pengguna jalan lain
yang rata-rata laki-laki terkejut dan menatap heran. Sebab, hal demikian
bukan nurture perempuan. Apa yang
akan dirasakan orang Bangladesh jika tahu bahwa ada orang seperti Alexandra
Asmasoebrata, seorang pembalap perempuan di belahan dunia lain? Pingsan?
Sebagai
perempuan, pelajar, calon ibu, dan salah satu subjek aktif dalam masyarakat,
penulis berharap ada perubahan tentang peran dan posisi sosial perempuan.
Pemberian kuota 30 persen untuk calon anggota legislatif perempuan bisa jadi
hal yang luar biasa jika benar dilakukan tidak untuk memenuhi syarat agar
partainya lolos saja. Lihat saja bagaimana India dengan Indira Gandhi-nya dan
Bangladesh dengan Sheikh Hasina-nya berhasil menjadikan perempuan sebagai
aktor politik utama.
Perempuan
juga harus mempersiapkan diri untuk menjadi subjek yang cerdas. Adanya
pendidikan yang layak dan kesempatan untuk bisa menambah potensi diri harus
terus dibuka, terutama bagi perempuan di desa, di pinggiran kota, dan di
tempat yang tidak terjamah fasilitas bagi perempuan untuk berkembang.
Perempuan bukan subjek yang harus menikah dalam usia yang sangat muda hanya
karena keinginan orang tua. Perempuan bukan subjek yang dengan mudah
dilecehkan atas kejahatan laki-laki. Perempuan bukan subjek yang terbatas
bermimpi hanya karena dirinya perempuan.
Selamat
Hari Perempuan Internasional 2014 kepada semua perempuan di dunia. Kutipan
Dian Sastrowardoyo berikut semoga menjadi inspirasi bagi perempuan untuk
berkarya dan memberikan sumbangsih aktif bagi negara dan bangsa. ''Entah akan berkarir atau menjadi ibu
rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi. Karena ia akan
menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.'' ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar