Minggu, 09 Maret 2014

Gender Equality, Fatamorgana atau Oase?

Gender Equality, Fatamorgana atau Oase?

Gita Ardi Lestari  ;   Mahasiswi S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya, Sedang berada di Bangladesh
JAWA POS,  08 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
SAAT menulis artikel ini, penulis baru selesai menyaksikan Running Man episode 187, sebuah reality show Korea Selatan yang mengharuskan artis tenar melakukan misi-misi permainan yang menantang ketahanan fisik dan kecerdikan pikiran. Pada episode tersebut, Ji Hyo, satu- satunya member perempuan di antara tujuh Running Man, memenangi misi final: membuat perahu dari kasur lipat dan menyeberangi Sungai Han!

Dari reality show episode tersebut, ada satu hal yang bisa dimaknai. Yakni, terlalu muluk jika menempatkan target untuk menang ketika kita hanya memiliki modal yang minim. Optimisme dan kerja keras adalah faktor pengubah yang diperlukan jika ingin berjuang untuk menang.

Seperti itulah posisi perempuan dalam masyarakat sekarang ini. Dipinggirkan, tidak mudah mendapat kesempatan yang sama dalam masyarakat, dan jarang mendapat penghargaan yang layak. Namun, apa yang terjadi jika dengan minimnya modal yang dimiliki, seperti kesempatan dan peluang, perempuan mampu berkembang dan menunjukkan potensinya? Masihkah perempuan bisa menang?

Peran perempuan tidak sedominan laki-laki, meskipun dalam konteks ini gender menjadi fokusnya. Seorang feminis, Gayatri Spivak, dalam tulisannya, Can the Subaltern Speak?, tidak semata-mata menggambarkan ketimpangan sosial yang dialami perempuan. Lebih dari itu, dia membuat kita membuka mata dan pikiran bahwa perempuan merupakan makhluk yang eksistensinya nyata, namun hilang secara fungsional dalam masyarakat.

Bagi Spivak, upacara Sati, yakni prosesi membakar diri oleh perempuan India ketika sang suami telah meninggal, merupakan salah satu contoh yang menjelaskan posisi perempuan pada umumnya. Tanpa laki-laki, pilihan menjadi terbatas. Karena itu, ketika sang suami meninggal lebih dulu, tidak ada jalan yang lebih baik bagi si perempuan kecuali ikut hangus dalam upacara yang sama. Kenyataan itulah yang membawa Spivak pada asumsi bahwa sekalipun perempuan memiliki suara untuk berbicara, apakah kemudian ada yang mau mendengarnya?

Angka kejahatan dan kriminalitas terhadap perempuan selalu meningkat setiap tahun. Terutama di negara berkembang seperti Indonesia dan India. Beberapa waktu lalu, televisi India memperkenalkan aplikasi VithU sebagai bentuk proteksi karena naiknya angka kejahatan pada perempuan. Sebagai bentuk pelacak GPS yang bisa diunduh secara cuma-cuma, aplikasi tersebut diharapkan mampu menekan angka kejahatan pada perempuan. Karena itu, daripada perdebatan mengenai apakah baju ketat yang dipakai beberapa perempuan mengundang kriminalitas yang sering diperbincangkan dalam perdebatan di negeri kita, agaknya langkah preventif ini bisa menjadi contoh yang perlu diambil.

Pada Hari Perempuan Internasional tahun ini, isu yang diangkat PBB adalah Equality for Women is Progress for All. Tema itu berusaha menunjukkan bahwa adanya persamaan gender bagi perempuan akan membuka kesempatan bagi mereka untuk berkembang seluas-luasnya. Salah satu contoh menarik adalah Bangladesh. Di negara itu, melihat perempuan menyetir mobil apalagi berkendara sepeda motor merupakan hal yang sangat unik dan bahkan aneh. Tidak jarang kemudian pengemudi lain dan pengguna jalan lain yang rata-rata laki-laki terkejut dan menatap heran. Sebab, hal demikian bukan nurture perempuan. Apa yang akan dirasakan orang Bangladesh jika tahu bahwa ada orang seperti Alexandra Asmasoebrata, seorang pembalap perempuan di belahan dunia lain? Pingsan?

Sebagai perempuan, pelajar, calon ibu, dan salah satu subjek aktif dalam masyarakat, penulis berharap ada perubahan tentang peran dan posisi sosial perempuan. Pemberian kuota 30 persen untuk calon anggota legislatif perempuan bisa jadi hal yang luar biasa jika benar dilakukan tidak untuk memenuhi syarat agar partainya lolos saja. Lihat saja bagaimana India dengan Indira Gandhi-nya dan Bangladesh dengan Sheikh Hasina-nya berhasil menjadikan perempuan sebagai aktor politik utama.

Perempuan juga harus mempersiapkan diri untuk menjadi subjek yang cerdas. Adanya pendidikan yang layak dan kesempatan untuk bisa menambah potensi diri harus terus dibuka, terutama bagi perempuan di desa, di pinggiran kota, dan di tempat yang tidak terjamah fasilitas bagi perempuan untuk berkembang. Perempuan bukan subjek yang harus menikah dalam usia yang sangat muda hanya karena keinginan orang tua. Perempuan bukan subjek yang dengan mudah dilecehkan atas kejahatan laki-laki. Perempuan bukan subjek yang terbatas bermimpi hanya karena dirinya perempuan.

Selamat Hari Perempuan Internasional 2014 kepada semua perempuan di dunia. Kutipan Dian Sastrowardoyo berikut semoga menjadi inspirasi bagi perempuan untuk berkarya dan memberikan sumbangsih aktif bagi negara dan bangsa. ''Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi. Karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.''

Tidak ada komentar:

Posting Komentar