Indonesia
(Timur) “Raksasa Tidur” Perikanan
Ivan A Hadar ;
Direktur Eksekutif Institut Pendidikan Demorasi
(IDE),
Koordinator
Target MDG (2007-2010)
|
SINAR
HARAPAN, 04 Maret 2014
Data FAO
(2008) menyebutkan, Indonesia menempati peringkat keempat produsen perikanan
dunia setelah China, Peru, dan AS. Sayangnya, nilai ekonomis produksi
perikanan kita hanya menempati peringkat kesepuluh dunia. Kalah dibandingkan
Vietnam dan Thailand.
Hal yang
mirip juga terjadi di dalam negeri. Kawasan Timur Indonesia (KTI), yang
memiliki lautan paling luas dibandingkan daerah lain, sebenarnya menyimpan
potensi perikanan melimpah karena merupakan pertemuan arus air dari Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Namun, sayangnya produksi perikanan di beberapa
provinsi KTI, seperti Papua, NTT, dan Maluku Utara, masih terbilang rendah.
Tiga provinsi tersebut juga merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan
tertinggi di Indonesia.
Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang
kelautan pun, pembangunan bidang kelautan (perikanan) belum menjadi arus
utama dan prioritas dalam pembangunan nasional. Padahal, sejalan dengan hasil
studi McKinsey Global Institute, sektor kelautan (perikanan) sebagai empat
pilar utama selain sumber daya alam, pertanian, dan jasa yang bisa membawa
Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar nomor tujuh di dunia
pada 2030.
Secara
teknis, keterbatasan infrastruktur, rendahnya aliran investasi, kurangnya
inovasi teknologi, lemahnya SDM, serta banyaknya pencurian ikan oleh pihak
asing menjadi faktor penghambat. Selain itu, kebijakan ekonomi mikro yang
tidak berpihak, gonjang-ganjing politik, lemahnya penegakan hukum nasional,
serta kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan perikanan, merupakan
hambatan struktural.
Selama
kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi perikanan Indonesia, yang
bisa diibaratkan sebagai “raksasa tidur” itu, hanya menjadi “harta karun”
terpendam.
Sinergi
Hal
tersebut juga telah meningkatkan pendapatan mereka yang bekerja di sektor
ini. Meski, tentu saja, tidak menutup kemungkinan, akibat struktur pasar yang
timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di pasar komoditi, membuat
nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk ketimbang, misalnya,
petani subsisten karena lebih tergantung pada kondisi alam.
Meski
demikian, sebuah strategi pembangunan perikanan berkelanjutan tidak berarti
kembali ke perikanan berorientasi subsisten. Hal yang seharusnya dilakukan
adalah memengaruhi proses di mana tiga dimensi—masing-masing ketahanan
pangan, pengamanan pendapatan, dan pembangunan berkelanjutan—yang dalam
penerapannya sering mempunyai tujuan yang saling bertentangan (Zielkonflikte),
agar bersinergi satu dengan lainnya.
Bagi
sektor perikanan, secara bertahap harus diadakan optimalisasi penangkapan
ikan sambil menjaga kelestarian laut. Artinya, selain peningkatan fishing
effort (upaya tangkap) dan intensitas penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah
kapal ikan, termasuk pembangunan galangan kapal ikan), harus pula dilakukan
semacam pemetaan, daerah mana saja yang telah overfishing dan perlu
“diistirahatkan” dan mana saja yang belum dan perlu dimanfaatkan secara
optimal.
Secara
umum, yang menghadapi kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan
gurem. Hal ini juga disebabkan urban bias dalam kebijakan pemerintah yang
lebih menguntungkan, atau mengacu pada kepentingan orang kota. Salah satu
faktor penting dalam pembangunan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan
terumbu karang dan mangrove (hutan bakau).
Terumbu
karang Indonesia yang luasnya 60.000-86.000 kilometer persegi adalah, sama
dengan seperdelapan luas terumbu karang dunia. Sayangnya, nasib terumbu
karang tak seindah bentuknya. Buktinya, hasil penelitian 2001 oleh Badan
Riset Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di
perairan Indonesia dalam keadaan rusak parah.
Akibatnya,
Indonesia menderita kerugian sekitar 2 juta ton ikan per tahun. Kerugian juga
dirasakan nelayan tradisional yang umumnya tidak melaut melebihi 12 mil dari
tepi pantai. Dari waktu ke waktu, hasil tangkapan nelayan terus merosot,
mengakibatkan ongkos melaut lebih besar dibandingkan hasil penjualan ikan.
Hal yang
mirip berlaku pula pada hutan mangrove yang dianggap sarang nyamuk dan hanya
berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar napas mangrove dapat
menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan, baik dari darat maupun
laut sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur.
Perikanan
Berkelanjutan
Pembangunan
perikanan berkelanjutan mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama
ini, baik itu berupa kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru” yang
dicanangkan pemerintah saat ini, maupun usulan alternatif seperti cara
berproduksi subsisten, kebijakan swasembada pangan serta kampanye antiekspor.
Selain itu, perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal), serta
persyaratan ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan
di daerah perdesaan, yang lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh
nelayan serta kestabilan dan distribusi produknya, dibandingkan apa jenis
produk yang (harus) dihasilkan.
Dikaitkan
dengan lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke
depan harus mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja
dibangun di masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin
nelayan bebas kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung.
Kenyataan
di mancanegara menunjukkan banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma
tersebut. Tentu saja, dalam kondisi saat ini, dibutuhkan program pemihakan
sehingga gap antara nelayan kecil dan para “bandar” ikan dan pengusaha bisa
diperkecil.
Perikanan
berkelanjutan sangat tergantung pada pembangunan struktur perdesaan, terutama
desa pesisir yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan
ini, beberapa bidang berikut berperan menentukan.
Pertama,
struktur pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam pendistribusian
pendapatan. Kedua, struktur kelembagaan yang mengamankan dan boleh jadi
merupakan persyaratan bagi proses pemerataan yang menguntungkan nelayan
tradisional bermodal kecil, seperti pemasaran dan akses kredit, konseling
perikanan, serta peningkatan posisi tawar secara politis. Ketiga,
infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi, terutama
berkaitan dengan bidang perikanan serta ketersediaan lapangan kerja di luar
sektor perikanan.
Sektor
kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan
laut, tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang, tentu
saja, juga tergantung pada perkembangan nasional maupun global. Untuk itu,
penghasilan nelayan harus menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk pedesaan.
Selain itu, pemberlakuan kebijakan perikanan berkelanjutan mensyaratkan
transformasi sosio-kultural, berupa pengembangan kearifan tradisional,
pembaruan pemahaman tentang pembangunan serta penilaian baru tentang kondisi
dan persyaratan ketahanan alam. Semoga Indonesia, khususnya KTI, yang sumber
daya perikanannya berlimpah, secepatnya terbangun dari tidur panjangnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar