Rabu, 05 Maret 2014

KPU, Golput, dan Perilaku Parpol

KPU, Golput, dan Perilaku Parpol

Eko Harry Susanto  ;   Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung
MEDIA INDONESIA,  04 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) bekerja sama dengan institusi pemerintah dan berbagai pihak yang peduli terhadap peningkatan partisipasi dalam pemilihan umum terus menyosialisasikan perhelatan politik nasional 2014 melalui berbagai kegiatan. Namun, efektivitas pesan yang disampaikan tetap saja belum menjamin meningkatkan persentase jumlah pemilih.

Tidak bisa dikesampingkan, tingkat partisipasi pemilih untuk memberikan suara sejak Pemilihan Umum 1999 terus menurun. Jika pada 2004 mencapai 84,1%, pada Pemilu Legislatif 2009 partisipasi menurun menjadi hanya sekitar 72,23% dengan jumlah golput 49.212.158 (27,77%). Jumlah itu lebih besar jika dibandingkan dengan perolehan suara Partai Demokrat 21.703.137 suara.

Meningkatnya jumlah golput, sebagaimana dikemukakan banyak kalangan, disebabkan ketidakpercayaan terhadap partai politik yang tidak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Artinya, kecenderungan meningkatnya golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak suara bukan semata-mata disebabkan masyarakat kurang informasi terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum 2014, melainkan juga dampak perilaku partai politik yang tidak berpihak kepada rakyat.

Namun, yang mengherankan berbagai perhelatan maupun kampanye `terselubung' partai politik dalam menghadapi Pemilu 2014, seperti menafikan potensi golput yang diperkirakan semakin meningkat. Justru yang hiruk pikuk dieksplorasi ialah klaim bahwa parpol memperoleh dukungan luas dari kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan sosial, kepengurusan didominasi mantan petinggi negara, militer, artis, politikus muda, dan sederetan figur publik lain yang amat gegabah jika dijadikan patokan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Jika mengutip pendapat Dan Nimmo (2000), keputusan rakyat untuk memberikan suara dalam pemilihan umum bukan disebabkan efektivitas informasi yang diterima, dan menyukai partai politik yang didominasi tokoh-tokoh `hebat', melainkan partisipasi dalam pemilu didasarkan kepada citra partai dan isu politik yang ditawarkan. Karena itu, tugas meminimalkan golput bukan semata-mata menyosialisasikan pelaksanaan pemilu, melainkan jauh lebih penting ialah memaparkan apa yang sudah dilakukan partai politik untuk rakyat.

Secara substansial, memang tidak mudah untuk memengaruhi mereka yang cenderung tidak mau menggunakan hak pilih. Terlepas dari mereka yang golput ialah kelompok masyarakat yang tidak percaya terhadap partai politik, tetapi sesungguhnya dalam perspektif gerakan sosial politik, kelompok golput ialah orangorang yang skeptis dan apatis terhadap parpol. Namun, di sisi lain sesungguhnya justru mereka dapat menjadi basis konstituen potensial dalam pemilihan umum.

Terdapat tiga kelompok yang masuk kategori skeptis dan apatis terhadap politik (Herqutanto, 2000), yaitu pertama, kelompok warga yang kurang beruntung secara sosial ekonomi. Termasuk dalam kategori ini adalah `kelompok marginal' atau mereka yang tidak punya penghasilan tetap, tidak mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja kompetitif. Pemilihan umum bagi mereka tidak mempunyai dampak signifikan terhadap kehidupan yang lebih baik.

Kedua, kelompok yang merasa tidak disukai lingkungan sekitar, bahkan negara dan pemerintah. Kelompok yang juga dikenal sebagai `misfits' itu canggung untuk beradaptasi dengan lingkungan sekeliling. Karena merasa tidak disenangi, tidak mempunyai saluran akomodasi sosial politik di masyarakat, mereka apatis dalam urusan partisipasi politik. Dengan demikian, wajar jika mereka lebih suka dengan komunitas sendiri, tanpa peduli terhadap partisipasi politik dalam pemilu.

Kelompok yang ketiga kelas menengah yang bosan dengan keadaan tata kehidupan politik. Orang-orang dalam kategori itu cenderung tidak mau menggunakan hak suara, tetapi sebenarnya bisa diajak bergabung apabila parpol mampu merangkul dengan baik. Mereka terdiri dari orang-orang yang apolitis atau sebaliknya, kelompok terdidik yang memiliki kekritisan dalam menilai kehidupan politik bernegara yang beradab.

Kelompok itu juga mampu menciptakan opini publik untuk mengajak masyarakat agar tidak berpartisipasi dalam pe milu. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kelompok itulah yang paling nyaring menyuarakan agar rakyat golput dalam Pemilu 2014.

Secara ideal tentu menjadi tugas KPU dan partai politik agar kelompok-kelompok yang berpotensi golput tersebut mau memberikan suara dalam pemilu. Namun, yang menjadi persoalan, KPU tampaknya dalam menyosialisasikan informasi pemilu bersifat sangat umum dan terstandar. Parpol pun hanya mengeksplorasi pesan subjektif dalam jerat pencitraan belaka.

Pesan politik klise

Pesan pemilu KPU lebih fokus kepada tanggal pelaksanaan dan jargon-jargon klise demokrasi bernegara sekadar memenuhi `indikator birokratis' pelaksanaan pemilu, yang sudah tentu membosankan bagi kelas menengah kritis berpotensi golput. Jargon standar juga tidak mudah untuk ditangkap manfaatnya oleh warga kurang beruntung maupun kelompok misfits, yang enggan menggunakan hak pilih, karena tidak menemukan substansi pesta demokrasi benar-benar untuk menciptakan kehidupan sehari-hari yang lebih baik dan beradab.

Di pihak lain, partai politik tetap saja tidak menghiraukan ketidakpercayaan publik yang semakin menguat terhadap tindakan nyata memakmurkan rakyat. Memang tidak mungkin dalam waktu singkat menghadapi pemilu legislatif yang tinggal menghitung hari, mereka mampu mengubah pendapat masyarakat. Namun, alangkah lebih baik jika partai politik tidak memproduksi pesan besar-besaran dan mendifusikan kepada khalayak luas tanpa merasa risi karena berbagai tindakan yang merugikan rakyat.

Justru yang harus dilakukan partai politik ialah mendengarkan langsung kehendak rakyat, menginventarisasi problem-problem mikro dan spesifik masyarakat dengan lingkungan sosial ekonomi yang dihadapi. Dalam bingkai kampanye yang `lebih mendengarkan' dan tidak bersifat massal, pesan parpol akan mudah diterima oleh rakyat.

Hakikatnya jika KPU dan partai politik dalam mengorganisasikan pesan Pemilu 2014 kepada calon pemilih bersifat siklus, dengan melaksanakan rutinitas terstandar sebagaimana pernah dijalankan pada pemilu sebelumnya, jumlah golput dikhawatirkan akan semakin meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar