KPU,
Golput, dan Perilaku Parpol
Eko Harry Susanto ;
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
Jakarta, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Maret 2014
KOMISI Pemilihan Umum (KPU)
bekerja sama dengan institusi pemerintah dan berbagai pihak yang peduli
terhadap peningkatan partisipasi dalam pemilihan umum terus menyosialisasikan
perhelatan politik nasional 2014 melalui berbagai kegiatan. Namun, efektivitas
pesan yang disampaikan tetap saja belum menjamin meningkatkan persentase
jumlah pemilih.
Tidak bisa dikesampingkan,
tingkat partisipasi pemilih untuk memberikan suara sejak Pemilihan Umum 1999
terus menurun. Jika pada 2004 mencapai 84,1%, pada Pemilu Legislatif 2009
partisipasi menurun menjadi hanya sekitar 72,23% dengan jumlah golput
49.212.158 (27,77%). Jumlah itu lebih besar jika dibandingkan dengan
perolehan suara Partai Demokrat 21.703.137 suara.
Meningkatnya jumlah golput,
sebagaimana dikemukakan banyak kalangan, disebabkan ketidakpercayaan terhadap
partai politik yang tidak mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Artinya,
kecenderungan meningkatnya golongan putih (golput) yang tidak menggunakan hak
suara bukan semata-mata disebabkan masyarakat kurang informasi terhadap
pelaksanaan Pemilihan Umum 2014, melainkan juga dampak perilaku partai
politik yang tidak berpihak kepada rakyat.
Namun, yang mengherankan
berbagai perhelatan maupun kampanye `terselubung' partai politik dalam
menghadapi Pemilu 2014, seperti menafikan potensi golput yang diperkirakan
semakin meningkat. Justru yang hiruk pikuk dieksplorasi ialah klaim bahwa
parpol memperoleh dukungan luas dari kelompok masyarakat yang memiliki
kekuatan sosial, kepengurusan didominasi mantan petinggi negara, militer,
artis, politikus muda, dan sederetan figur publik lain yang amat gegabah jika
dijadikan patokan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Jika mengutip pendapat Dan Nimmo
(2000), keputusan rakyat untuk memberikan suara dalam pemilihan umum bukan
disebabkan efektivitas informasi yang diterima, dan menyukai partai politik
yang didominasi tokoh-tokoh `hebat', melainkan partisipasi dalam pemilu
didasarkan kepada citra partai dan isu politik yang ditawarkan. Karena itu,
tugas meminimalkan golput bukan semata-mata menyosialisasikan pelaksanaan
pemilu, melainkan jauh lebih penting ialah memaparkan apa yang sudah
dilakukan partai politik untuk rakyat.
Secara substansial, memang tidak
mudah untuk memengaruhi mereka yang cenderung tidak mau menggunakan hak
pilih. Terlepas dari mereka yang golput ialah kelompok masyarakat yang tidak
percaya terhadap partai politik, tetapi sesungguhnya dalam perspektif gerakan
sosial politik, kelompok golput ialah orangorang yang skeptis dan apatis
terhadap parpol. Namun, di sisi lain sesungguhnya justru mereka dapat menjadi
basis konstituen potensial dalam pemilihan umum.
Terdapat tiga kelompok yang
masuk kategori skeptis dan apatis terhadap politik (Herqutanto, 2000), yaitu
pertama, kelompok warga yang kurang beruntung secara sosial ekonomi. Termasuk
dalam kategori ini adalah `kelompok marginal' atau mereka yang tidak punya
penghasilan tetap, tidak mampu bersaing dalam pasar tenaga kerja kompetitif.
Pemilihan umum bagi mereka tidak mempunyai dampak signifikan terhadap
kehidupan yang lebih baik.
Kedua, kelompok yang merasa
tidak disukai lingkungan sekitar, bahkan negara dan pemerintah. Kelompok yang
juga dikenal sebagai `misfits' itu canggung untuk beradaptasi dengan
lingkungan sekeliling. Karena merasa tidak disenangi, tidak mempunyai saluran
akomodasi sosial politik di masyarakat, mereka apatis dalam urusan
partisipasi politik. Dengan demikian, wajar jika mereka lebih suka dengan
komunitas sendiri, tanpa peduli terhadap partisipasi politik dalam pemilu.
Kelompok yang ketiga kelas
menengah yang bosan dengan keadaan tata kehidupan politik. Orang-orang dalam
kategori itu cenderung tidak mau menggunakan hak suara, tetapi sebenarnya
bisa diajak bergabung apabila parpol mampu merangkul dengan baik. Mereka
terdiri dari orang-orang yang apolitis atau sebaliknya, kelompok terdidik
yang memiliki kekritisan dalam menilai kehidupan politik bernegara yang
beradab.
Kelompok itu juga mampu
menciptakan opini publik untuk mengajak masyarakat agar tidak berpartisipasi
dalam pe milu. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa
kelompok itulah yang paling nyaring menyuarakan agar rakyat golput dalam
Pemilu 2014.
Secara ideal tentu menjadi tugas
KPU dan partai politik agar kelompok-kelompok yang berpotensi golput tersebut
mau memberikan suara dalam pemilu. Namun, yang menjadi persoalan, KPU
tampaknya dalam menyosialisasikan informasi pemilu bersifat sangat umum dan
terstandar. Parpol pun hanya mengeksplorasi pesan subjektif dalam jerat
pencitraan belaka.
Pesan politik klise
Pesan pemilu KPU lebih fokus
kepada tanggal pelaksanaan dan jargon-jargon klise demokrasi bernegara
sekadar memenuhi `indikator birokratis' pelaksanaan pemilu, yang sudah tentu
membosankan bagi kelas menengah kritis berpotensi golput. Jargon standar juga
tidak mudah untuk ditangkap manfaatnya oleh warga kurang beruntung maupun
kelompok misfits, yang enggan menggunakan hak pilih, karena tidak menemukan
substansi pesta demokrasi benar-benar untuk menciptakan kehidupan sehari-hari
yang lebih baik dan beradab.
Di pihak lain, partai politik
tetap saja tidak menghiraukan ketidakpercayaan publik yang semakin menguat
terhadap tindakan nyata memakmurkan rakyat. Memang tidak mungkin dalam waktu
singkat menghadapi pemilu legislatif yang tinggal menghitung hari, mereka
mampu mengubah pendapat masyarakat. Namun, alangkah lebih baik jika partai
politik tidak memproduksi pesan besar-besaran dan mendifusikan kepada
khalayak luas tanpa merasa risi karena berbagai tindakan yang merugikan
rakyat.
Justru yang harus dilakukan partai
politik ialah mendengarkan langsung kehendak rakyat, menginventarisasi
problem-problem mikro dan spesifik masyarakat dengan lingkungan sosial
ekonomi yang dihadapi. Dalam bingkai kampanye yang `lebih mendengarkan' dan
tidak bersifat massal, pesan parpol akan mudah diterima oleh rakyat.
Hakikatnya
jika KPU dan partai politik dalam mengorganisasikan pesan Pemilu 2014 kepada
calon pemilih bersifat siklus, dengan melaksanakan rutinitas terstandar
sebagaimana pernah dijalankan pada pemilu sebelumnya, jumlah golput
dikhawatirkan akan semakin meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar