Ekonomi
Syariah dan Jebakan Elitis
Mukhaer Pakkanna ;
Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta; Peneliti Center
for Information and Development Studies (Cides)
|
KOMPAS,
04 Maret 2014
|
SANGAT menggugah membaca opini M
Dawam Rahardjo dalam ”Kritik terhadap
Perbankan Syariah” (Kompas, 14/2). Kendati kritikan itu sudah kerap
disampaikannya dalam pelbagai forum diskusi, tulisan itu menawarkan tentang
bank sosial, bank yang berorientasi pemberdayaan rakyat, bukan bank syariah
yang sudah terjebak dalam dinamika industri elitis.
Lantas, mengapa gerakan ekonomi
syariah di Tanah Air saat ini dominan bergerak dalam industri keuangan,
terutama industri perbankan syariah? Ihwal ini setidaknya dilatari oleh,
pertama, dinamika ekonomi dunia yang dominan dihela sektor keuangan.
Indikator kemajuan ekonomi suatu negara adalah kemajuan keuangannya.
Industri keuangan yang seksi
membuat pegiat ekonomi syariah ikut berjibaku di situ. Harap dicatat, jasa
keuangan adalah industri dengan pendapatan terbesar dunia. Tahun 2010,
misalnya, industri ini mewakili 25 persen kapitalisasi pasar dari S&P
500.
Kedua, jalur keuangan dengan
pelbagai derivasinya menjadi mesin akseleratif pertumbuhan ekonomi yang lebih
soft dan efisien (Levine, 1997; Fritzer, 2004; dan Kularatne, 2002),
dibandingkan jalur advokasi dan pemberdayaan ekonomi yang lebih muskil.
Karena para pegiat ekonomi syariah jamak berlatar dari kalangan industri
keuangan, tidak mengherankan apabila perbankan syariah jauh lebih siap.
Jebakan industri
Latar belakang di atas merupakan
jebakan awal determinasi ekonomi syariah dalam kubangan elitis. Tatkala
ekonomi syariah diseret ke dalam industri, konsekuensinya akan cenderung
pragmatis, eklektik, dan mulai teralienasi dengan basis ekonomi rakyat.
Tidak heran jika Dawam Rahardjo
mempertanyakan bank syariah sebagai derivasi dari industri keuangan yang
secara esensial tidak berbeda dengan bank konvensional: bertujuan
maksimalisasi keuntungan dengan uang sebagai komoditas utama. Bank syariah
pun terjebak dalam ”peternakan uang”.
Dalam dunia industri, nilai
tambah proses itu menjadi penting. Industri keuangan, termasuk berlabel
syariah sekalipun (pada level mikro), jelas ingin memperoleh keuntungan
maksimal atau nilai tambah dari nasabah. Maka, rasio keuangan konvensional
kerap dijadikan standar indikator baku.
Sementara pada level makro
dibangun asumsi, perkembangan dalam rasio aset keuangan terhadap PDB
menunjukkan pendalaman keuangan (financial
deepening) (Fry, 1995:20).
Dengan demikian, perkembangan
yang semakin kecil dalam rasio menunjukkan kian dangkalnya sektor keuangan
suatu negara. Sebaliknya, semakin besar rasio tersebut semakin dalam sektor
keuangan suatu negara.
Tentu dalam hal ini kian besar
rasio jumlah uang beredar terhadap PDB menunjukkan kian efisien sistem
keuangan dalam memobilisasi dana untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kian
tinggi pendalaman keuangan kian besar penggunaan uang dalam perekonomian
(Okuda, 1990:270).
Dengan berimpitnya bangunan
persepsi pada level mikro (industri keuangan) dan makro (pemerintah) itu,
tidak mengherankan jika pemerintah makin mendukung maraknya industri keuangan
syariah.
Persoalannya, tatkala bangunan
kesamaan persepsi itu berlanjut, kerap kali industri keuangan syariah lupa
misi utamanya: advokasi dan pemberdayaan keuangan rakyat. Pada gilirannya
pegiat ekonomi syariah pun terjebak dalam subordinasi kapitalisasi pasar yang
cenderung elitis dan borjuis.
Pemberdayaan ekonomi
Banyak persoalan ekonomi di
tingkat akar rumput luput dari pengamatan dan aksi afirmatif dari pegiat
ekonomi syariah.
Persoalan advokasi dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat vulnerable, misalnya, masih minimal.
Kendati ada gerakan
pemberdayaan, terlihat lebih banyak dari kelompok keswadayaan yang berlabel lembaga
zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Namun, itu pun belum masif dibandingkan
gerakan industri keuangan syariah yang lebih bergerak elitis dan ”beternak
uang”. Bahkan, dibandingkan kelompok-kelompok keswadayaan yang berlabel
nasional, kelompok keswadayaan yang berlabel ZIS pun masih tertinggal jauh.
Demikian juga dalam diskursus
kebijakan ekonomi. Di tengah hangatnya perdebatan tentang pencabutan subsidi
bahan bakar minyak (BBM), kedaulatan pangan, kedaulatan energi, eksploitasi
sumber daya alam yang berlebih, rekolonialisasi, serta kesenjangan ekonomi
dan lainnya, pegiat ekonomi syariah kurang populer memperlihatkan coraknya.
Kalaupun terlibat, lebih banyak pada tataran wacana dan ideologi
eksklusif-ekstrem yang rapuh kerangka filosofisnya.
Tidak mengherankan, ini karena
nilai-nilai universalitas Islam (syariah) dalam konteks ekonomi pada level
kehidupan riil rakyat belum banyak berbicara. Maka, dalam kerangka
mengeluarkan ekonomi syariah dalam jebakan elitis, para pegiat ekonomi
syariah harus melakukan dua hal.
Pertama, seyogianya ekonomi
syariah kerap masuk perdebatan ideologis dan filosofis dari setiap persoalan
ekonomi terkini yang strategis di tingkat makro dengan wajah inklusif.
Kedua, selalu menunjukkan
aksi-aksi advokasi dan pemberdayaan ekonomi yang lebih bersifat universal,
riil, dan strategis.
Pegiat ekonomi syariah harus
pandai bergumul di level mikro pada persoalan-persoalan yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan riil ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat yang kokoh di
level ”akar rumput” akan menjadi kekuatan dahsyat dalam membangun kualitas
ekonomi bangsa.
Yang
pasti, kata Umar Chapra (2008), ekonomi syariah harus mampu merealisasikan
kebahagiaan manusia (rakyat) melalui pembatasan alokasi dan distribusi sumber
daya, jauh dari keserakahan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar