Ada
Apa dengan KDRT?
Musdah Mulia ;
Direktur Eksekutif Megawati Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2014
SETIAP 8 Maret, perempuan di
seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day). Di Indonesia, kelompok perempuan yang
tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan terhadap Perempuan
memilih tema sentral Akhiri kekerasan
sekarang juga! Mengapa tema itu penting? Sebab, kekerasan terhadap perempuan
terjadi setiap hari di berbagai belahan bumi. Korban dan pelakunya tidak
mengenal suku bangsa, warna kulit, agama, dan kepercayaan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius dan
karenanya menuntut perhatian dan penanggulangan yang lebih saksama.
Untunglah, 20 Desember 1993
Resolusi Sidang Umum PBB menyepakati perlunya mengakhiri semua bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar, kekerasan terhadap
perempuan ialah bentuk nyata pelanggaran HAM karena dampaknya sangat buruk
bagi kehidupan masyarakat, teruta ma bagi perempuan sebagai korban. Dalam
konsiderans Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang
dirumuskan PBB disebutkan, “Kekerasan
terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan
hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan
dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan juga
mengakibatkan hambatan bagi kemajuan mereka.”
Data kasus kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika pada 2012
ada lebih dari 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus dengan dominasi kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan
dalam pacaran berjumlah 59 kasus (Data 2013 LBH APIK Jakarta). Sebuah
peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Namun, bagaikan gunung es,
kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan data dari lembaga
negara, melainkan dari NGO yang konsen pada isu perempuan. Ketiadaan data
membuktikan betapa negara masih abai dan belum serius menangani kasus seperti
ini. Padahal, dalam berbagai dokumen PBB, kekerasan terhadap perempuan
dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemis dan berdampak luas.
Sangat kompleks
Bentuk kekerasan terhadap
perempuan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah
publik (di luar rumah tangga). Tulisan ini fokus pada KDRT. KDRT dapat dibagi
ke dalam empat jenis, yaitu a) penganiayaan fisik (seperti tamparan, pukulan,
tendangan), b) penganiayaan psikis (seperti ancaman, hinaan, cemoohan), c)
penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam
pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat ialah pengabaian
kewajiban memberi nafkah material kepada istri atau mengontrol uang belanja.
KDRT merupakan masalah yang
sangat kompleks dan jumlah kasusnya amatlah besar. Namun, karena kejahatan
itu terjadi di dalam rumah tangga, seringkali sulit dipantau dan kemudian
terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan
internal keluarga dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar.
Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat.
Dalam
merespons anggapan sesat itu muncul semboyan the personal is political, persoalan pribadi sekalipun kalau
membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya,
menghindarkan orang lain mengalami penderitaan serupa.
Lenore Walker, pakar psikologi,
mengidentifikasi tiga tahap tindak kekerasan di dalam rumah yang dilakukan
suami. Pertama, tahap `pembentukan ketegangan', kedua tahap `pemukulan
berulang-ulang', dan ketiga tahap `tumbuhnya' (lagi) cinta, lemah lembut, dan
penyesalan mendalam, dan keempat kembali muncul konflik dan ketegangan,
demikian berulang dan berulang.
Tidak mengherankan, banyak istri
teperdaya dan menganggap perilaku suami yang melakukan kekerasan sebagai
suatu kekhilafan sesaat. Bahkan, mereka tetap percaya suami masih mencintai
dirinya atau setidaknya ia sendiri masih mencintai suami. Sejumlah penelitian
mengungkapkan penyebab utama KDRT adalah ketimpangan gender. Masih kuat
anggapan di masyarakat bahwa suami memiliki kedudukan lebih tinggi dari
istri, dan juga mempunyai kekuasaan penuh dalam rumah tangga. Dengan ungkapan
lain, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme krusial untuk
mengontrol perempuan dan menempatkannya pada posisi subordinat.
Tidak Memadai
Faktor penyebab lain, belum
tersedianya perlindungan hukum yang memadai. Sistem hukum yang berlaku
sekarang, baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukumnya masih
sangat lemah dan belum berpihak kepada korban. Aparat penegak hukum masih
kurang responsif terhadap kepentingan perempuan, terutama dalam kasus-kasus
KDRT. KUHP sudah tidak memadai lagi untuk menjangkau realitas kekerasan yang
terjadi di masyarakat. Banyak bentuk kekerasan tidak tertampung dalam KUHP.
Demikian pula sanksi hukumnya dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
Malah sejumlah materi hukum,
seperti UU Perkawinan, sangat jelas menempatkan istri dalam posisi
subordinatif dan inferior, membuat istri tidak independen dan sangat
tergantung secara ekonomis kepada suami. Akibat lebih jauh, akses perempuan
terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial menjadi terbatas, yang pada
gilirannya kekuasaan dan kedudukannya pun menjadi tidak seimbang di hadapan
suami ataupun di hadapan masyarakat. Dalam kondisi ketergantungan seperti itu
serta dukungan nilai-nilai patriarkat yang dianut masyarakat membuat
kekerasan sangat mudah terjadi.
Faktor penyebab lainnya ialah
dominasi kultur patriarkat. Istilah patriarkat mengacu bukan hanya kepada
masyarakat primitif tempat para bapak berkuasa atas perempuan, anak-anak, dan
budak, melainkan juga mencakup semua sistem sosial, ekonomi, dan politik yang
otoriter dan menindas. Benih-benih pemukulan istri berakar pada posisi
perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki atau berada di bawah otoritas
dan kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan lakilaki yang timpang itu telah
dilembagakan dalam struktur keluarga patriarkat dan didukung lembaga-lembaga
ekonomi dan politik serta sistem keyakinan. Akibatnya, relasi timpang itu
tampak alamiah, adil, bermoral, dan suci.
Faktor lain dan sangat penting
ialah interpretasi agama yang bias nilai-nilai patriarkat, tidak humanistis,
dan tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dewasa ini, di
saat kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu sentral,
adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara perempuan dalam
interpretasi keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar