Minggu, 09 Maret 2014

Ada Harapan Keadilan untuk Medicius

Ada Harapan Keadilan untuk Medicius

Eka Julianta Wahjoepramono  ;   Dokter Bedah Saraf,
Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan
MEDIA INDONESIA,  08 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
AKHIRNYA, saya secara pribadi mengucapkan proficiat kepada dr Ayu dan kawan-kawan setelah majelis hakim peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dengan No 79 PK/PID/2013 (dibacakan pada 7 Februari 2014), mengabulkan permohonan dan membatalkan putusan Kasasi dengan No 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012 dengan pidana selama 10 bulan penjara. Amar putusan PK menyatakan memerintahkan supaya dr Ayu segera dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dan dipulihkan nama baik dan harkat martabatnya.

Meskipun salah satu dari lima majelis hakim PK menyatakan dissenting opinion, pertimbangan dalam putusan PK tersebut menganggap majelis hakim kasasi keliru dalam menerapkan hukumnya. Terdapat dua hal yang patut dipertimbangan majelis hakim dalam kasus kelalaian medik pada operasi sectio.

Pertama (aspek medis), bahwa dr Ayu dan dua koleganya sudah melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, keilmuan, dan kompetensi dan dalam tindakan darurat, seorang dokter harus segera melakukan tindakan operasi, tidak perlu pemeriksaan penunjang. Penyebab kematian pasien adalah adanya emboli udara pada jantung yang diakibatkan efek samping pemberian obat anestesi, bukan karena tindakan operasi.

Kedua (aspek hukum), tidak ditemukan bukti adanya pemalsuan tanda tangan pasien (keterangan terdakwa) dan berdasarkan keterangan ahli dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang sudah memeriksa dr. Ayu dan dua koleganya menyatakan tidak ada kelalaian dalam penanganan pasien.

Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada majelis hakim PK yang telah secara cermat menguraikan dua hal pertalian antara hukum dan medis tersebut di atas. Harus ada irisan yang jelas buat penegak hukum, mungkin juga wajib dipahami aparat penyidik kepolisian dan jaksa penuntut, antara kelalaian medis dengan risiko medis.

Dua hal ini adalah objek yang berbeda dalam praktik kedokteran. Kelalaian medis dapat dipersalahkan, sedangkan pada risiko medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan kecelakaan ini merupakan kecelakaan murni, dengan tidak ada unsur kelalaiannya, dan telah mengikuti standar prosedur dengan benar. Hal ini disebabkan di dalam hukum medis yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadinya akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui.

Dalam risiko medis, akibat dari tindakan dokter tersebut, tidak dapat diduga dan tindakan tersebut tidak ada unsur kesengajaan. Sinonim yang bisa disebutkan adalah, ‘accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck’, sehingga sebagai sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan, tidak dihukum. Lain halnya dengan kelalaian medis (medical negligence) yang bisa tergolong delik pidana.

Sungguh, untuk menjadi dokter dan dapat praktik di Indonesia, perlu sebuah perjuangan berat. Belum selesai dengan menyatukan persepsi para penegak hukum, para medicus masih dihadapkan dengan tantangan anggaran kesehatan di Indonesia. Melihat kasus dr Ayu dan 2 koleganya, sebuah ironi bagi saya.

Mungkin hanya terjadi di Indonesia, yakni dokter yang sedang mengikuti program PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis), mempunyai program memberikan pelayanan kepada pasien hampir 100% dengan bekerja praktik pagi sampai dengan sore bahkan dengan jaga malam di pusat pendidikan di RS Negeri ‘tanpa digaji’, malahan harus membayar berbagai kontribusi, dr. Ayu pada saat kejadian adalah sebagai dokter PPDS.

Kenapa demikian?? Dokter PPDS dianggap ‘belajar’ sehingga harus membayar, bukan dianggap dokter yang berkontribusi besar di departemen di RS tersebut. Adapun sebuah rumah sakit negeri yang menjadi pusat referal tidak mungkin berjalan tanpa dokter PPDS karena jumlah staf dokter tidak mungkin memenuhi pelayanan pasien yang membeludak. Sebagai perbandingan saja, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012, jumlah dokter dengan penduduk Indonesia tidak sebanding sehingga bisa dikatakan hal ini paling buruk di dunia, bahkan se-ASEAN (Association of South East Asia Nations), yaitu 3 dokter untuk 10.000 penduduk, sedangkan di Malaysia 9 dokter untuk 10.000 penduduk.

Dokter PPDS di negara maju diperlakukan sebagai pegawai yang mempunyai hak untuk digaji dan hak-hak sebagaimana layaknya pegawai rumah sakit. Sedangkan di Indonesia, bekerja pagi siang malam melayani pasien berjubel, meninggalkan keluarganya, membayar kontribusi, mungkin harus mencari pekerjaan sambilan untuk menghidupi keluarganya.

Sementara itu, kebijakan anggaran pemerintah untuk kesehatan semakin menurun. Pagu indikatif untuk tahun 2014 Kemenkes adalah Rp24,67 triliun, sedangkan untuk tahun 2013, anggaran itu senilai Rp34,58 triliun. Ada penurunan secara relatif. 

Ditambah lagi, Indonesia’s Current Hospital Bed to Population Ratio: 6.3/10.000, dan Global Average Hospital Bed to Population Ratio: 30/10.000. Hal ini menunjukan anggaran di bidang kesehatan di Indonesia sangat minim, khususnya anggaran untuk subsidi tenaga kesehatan yang semakin hari ratio tenaga kesehatan dan layanan kesehatan dengan tingkat penduduk semakin tidak imbang.

Meskipun demikian, sebagai tenaga kesehatan tidak punya pilihan lain, selain 
menjalankan profesinya dengan dedikasi dan profesionalitas yang tinggi, juga sebagai bagian dari tanggung jawab profesi. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan kembali, yaitu para medicus dapat menjalankan praktik kedokteran mereka dengan aman dan nyaman. Salah satunya adalah mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum. Secara yuridis formal, praktik kedokteran dilindungi oleh 3 peraturan perundangundangan, yaitu: pertama, Pasal 50 UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

Kedua, Pasal 27 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya dan ketiga, Pasal 24 PP No 32 Tahun 1996 yaitu perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.

Namun, dalam kacamata hukum, masih terdapatnya Pasal 359 KUHP yang berbunyi ”barang siapa karena kekhilafannya menyebabkan orang mati, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Yang dimaksud dengan “karena kekhilafan” adalah kurang hati-hati atau kurang perhatian. Pasal ini masih multi tafsir karena selama ini menjadi pasal “benturan” dengan 3 peraturan perundang-undangan di atas.

Penulis tidak menginginkan sesuatu yang muluk, namun mengingat kasus dr. Ayu dan kawan-kawan cukup menguras keringat dan pikiran, dan telah mendapat harapan keadilan dari majelis PK di Mahkamah Agung, maka sekiranya putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim-hakim yang lain untuk mencari, menemukan dan membedakan antara kelalaian medis dengan risiko medis. Selain itu, dapat pula dipertimbangkan secara tersendiri terhadap dokter PPDS, yang karena semangat, dedikasi menghabiskan cukup banyak tenaga dan materi karena minimnya anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh negara, terus melanjutkan pelayanan kesehatannya kepada masyarakat.

Kami sepakat dan sangat mendukung upaya penegakan hukum terhadap dokter-dokter yang dengan sengaja melakukan malapraktik, semisal seorang dokter yang karena jadwal di-emergency room tidak dapat menolong pasien karena sedang jalan-jalan di mal/supermarket, atau seorang dokter yang menjual organ pasien, ikut serta aborsi, dan lain-lain. Janganlah hendaknya hukum di bidang kedokteran ini hanya dipandang dari `kacamata kuda', maka efek tidak langsung akan berpengaruh pada sikap dokter untuk melakukan defensive medicine atau perlindungan diri profesi dokter untuk menghadapi tuntutan perdata/pidana.

Bukankah hukum di Indonesia sendiri sudah lama meninggalkan konsep the rule of just law?, dan telah mengembangkan konsep the rule of law, yaitu penegakan hukum yang mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Semoga sedikit pemikiran ini dapat menyatukan persepsi penegak hukum dalam menegakkan hukum kedokteran di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar