Ada
Harapan Keadilan untuk Medicius
Eka Julianta Wahjoepramono ;
Dokter Bedah Saraf,
Doktor
Hukum Universitas Pelita Harapan
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2014
AKHIRNYA, saya secara pribadi
mengucapkan proficiat kepada dr Ayu dan kawan-kawan setelah majelis hakim
peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dengan No 79 PK/PID/2013 (dibacakan
pada 7 Februari 2014), mengabulkan permohonan dan membatalkan putusan Kasasi
dengan No 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012 dengan pidana selama 10
bulan penjara. Amar putusan PK menyatakan memerintahkan supaya dr Ayu segera
dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dan dipulihkan nama baik dan harkat
martabatnya.
Meskipun salah satu dari lima
majelis hakim PK menyatakan dissenting
opinion, pertimbangan dalam putusan PK tersebut menganggap majelis hakim
kasasi keliru dalam menerapkan hukumnya. Terdapat dua hal yang patut
dipertimbangan majelis hakim dalam kasus kelalaian medik pada operasi sectio.
Pertama (aspek medis), bahwa dr
Ayu dan dua koleganya sudah melakukan tindakan sesuai dengan prosedur,
keilmuan, dan kompetensi dan dalam tindakan darurat, seorang dokter harus
segera melakukan tindakan operasi, tidak perlu pemeriksaan penunjang.
Penyebab kematian pasien adalah adanya emboli udara pada jantung yang
diakibatkan efek samping pemberian obat anestesi, bukan karena tindakan
operasi.
Kedua (aspek hukum), tidak
ditemukan bukti adanya pemalsuan tanda tangan pasien (keterangan terdakwa)
dan berdasarkan keterangan ahli dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran yang
sudah memeriksa dr. Ayu dan dua koleganya menyatakan tidak ada kelalaian
dalam penanganan pasien.
Kami memberikan apresiasi
setinggi-tingginya kepada majelis hakim PK yang telah secara cermat
menguraikan dua hal pertalian antara hukum dan medis tersebut di atas. Harus
ada irisan yang jelas buat penegak hukum, mungkin juga wajib dipahami aparat
penyidik kepolisian dan jaksa penuntut, antara kelalaian medis dengan risiko
medis.
Dua hal ini adalah objek yang
berbeda dalam praktik kedokteran. Kelalaian medis dapat dipersalahkan,
sedangkan pada risiko medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan kecelakaan ini
merupakan kecelakaan murni, dengan tidak ada unsur kelalaiannya, dan telah
mengikuti standar prosedur dengan benar. Hal ini disebabkan di dalam hukum
medis yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai
terjadinya akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling
penting untuk diketahui.
Dalam risiko medis, akibat dari
tindakan dokter tersebut, tidak dapat diduga dan tindakan tersebut tidak ada unsur
kesengajaan. Sinonim yang bisa disebutkan adalah, ‘accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck’,
sehingga sebagai sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak
dipersalahkan, tidak dihukum. Lain halnya dengan kelalaian medis (medical negligence) yang bisa
tergolong delik pidana.
Sungguh, untuk menjadi dokter
dan dapat praktik di Indonesia, perlu sebuah perjuangan berat. Belum selesai
dengan menyatukan persepsi para penegak hukum, para medicus masih dihadapkan
dengan tantangan anggaran kesehatan di Indonesia. Melihat kasus dr Ayu dan 2
koleganya, sebuah ironi bagi saya.
Mungkin hanya terjadi di
Indonesia, yakni dokter yang sedang mengikuti program PPDS (Program
Pendidikan Dokter Spesialis), mempunyai program memberikan pelayanan kepada
pasien hampir 100% dengan bekerja praktik pagi sampai dengan sore bahkan
dengan jaga malam di pusat pendidikan di RS Negeri ‘tanpa digaji’, malahan
harus membayar berbagai kontribusi, dr. Ayu pada saat kejadian adalah sebagai
dokter PPDS.
Kenapa demikian?? Dokter PPDS
dianggap ‘belajar’ sehingga harus membayar, bukan dianggap dokter yang berkontribusi
besar di departemen di RS tersebut. Adapun sebuah rumah sakit negeri yang
menjadi pusat referal tidak mungkin berjalan tanpa dokter PPDS karena jumlah
staf dokter tidak mungkin memenuhi pelayanan pasien yang membeludak. Sebagai
perbandingan saja, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012,
jumlah dokter dengan penduduk Indonesia tidak sebanding sehingga bisa
dikatakan hal ini paling buruk di dunia, bahkan se-ASEAN (Association of South East Asia Nations),
yaitu 3 dokter untuk 10.000 penduduk, sedangkan di Malaysia 9 dokter untuk
10.000 penduduk.
Dokter PPDS di negara maju
diperlakukan sebagai pegawai yang mempunyai hak untuk digaji dan hak-hak
sebagaimana layaknya pegawai rumah sakit. Sedangkan di Indonesia, bekerja
pagi siang malam melayani pasien berjubel, meninggalkan keluarganya, membayar
kontribusi, mungkin harus mencari pekerjaan sambilan untuk menghidupi
keluarganya.
Sementara itu, kebijakan
anggaran pemerintah untuk kesehatan semakin menurun. Pagu indikatif untuk
tahun 2014 Kemenkes adalah Rp24,67 triliun, sedangkan untuk tahun 2013,
anggaran itu senilai Rp34,58 triliun. Ada penurunan secara relatif.
Ditambah
lagi, Indonesia’s Current Hospital Bed
to Population Ratio: 6.3/10.000, dan Global
Average Hospital Bed to Population Ratio: 30/10.000. Hal ini menunjukan
anggaran di bidang kesehatan di Indonesia sangat minim, khususnya anggaran
untuk subsidi tenaga kesehatan yang semakin hari ratio tenaga kesehatan dan
layanan kesehatan dengan tingkat penduduk semakin tidak imbang.
Meskipun demikian, sebagai
tenaga kesehatan tidak punya pilihan lain, selain
menjalankan profesinya
dengan dedikasi dan profesionalitas yang tinggi, juga sebagai bagian dari
tanggung jawab profesi. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan kembali, yaitu
para medicus dapat menjalankan praktik kedokteran mereka dengan aman dan
nyaman. Salah satunya adalah mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.
Secara yuridis formal, praktik kedokteran dilindungi oleh 3 peraturan
perundangundangan, yaitu: pertama, Pasal 50 UU No 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Kedua, Pasal 27 UU No 36 tahun
2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
profesinya dan ketiga, Pasal 24 PP No 32 Tahun 1996 yaitu perlindungan hukum
diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan
standar profesi tenaga kesehatan.
Namun, dalam kacamata hukum,
masih terdapatnya Pasal 359 KUHP yang berbunyi ”barang siapa karena
kekhilafannya menyebabkan orang mati, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun, atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun.
Yang dimaksud dengan “karena
kekhilafan” adalah kurang hati-hati atau kurang perhatian. Pasal ini
masih multi tafsir karena selama ini menjadi pasal “benturan” dengan 3 peraturan perundang-undangan di atas.
Penulis tidak menginginkan
sesuatu yang muluk, namun mengingat kasus dr. Ayu dan kawan-kawan cukup
menguras keringat dan pikiran, dan telah mendapat harapan keadilan dari
majelis PK di Mahkamah Agung, maka sekiranya putusan ini dapat menjadi
yurisprudensi bagi hakim-hakim yang lain untuk mencari, menemukan dan
membedakan antara kelalaian medis dengan risiko medis. Selain itu, dapat pula
dipertimbangkan secara tersendiri terhadap dokter PPDS, yang karena semangat,
dedikasi menghabiskan cukup banyak tenaga dan materi karena minimnya anggaran
dan fasilitas yang disediakan oleh negara, terus melanjutkan pelayanan
kesehatannya kepada masyarakat.
Kami sepakat dan sangat
mendukung upaya penegakan hukum terhadap dokter-dokter yang dengan sengaja
melakukan malapraktik, semisal seorang dokter yang karena jadwal di-emergency room tidak dapat menolong
pasien karena sedang jalan-jalan di mal/supermarket, atau seorang dokter yang
menjual organ pasien, ikut serta aborsi, dan lain-lain. Janganlah hendaknya
hukum di bidang kedokteran ini hanya dipandang dari `kacamata kuda', maka
efek tidak langsung akan berpengaruh pada sikap dokter untuk melakukan defensive medicine atau perlindungan
diri profesi dokter untuk menghadapi tuntutan perdata/pidana.
Bukankah hukum di Indonesia sendiri
sudah lama meninggalkan konsep the rule
of just law?, dan telah mengembangkan konsep the rule of law, yaitu penegakan hukum yang mencakup nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Semoga sedikit pemikiran ini
dapat menyatukan persepsi penegak hukum dalam menegakkan hukum kedokteran di
Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar