Pendidikan yang berporos pada kemampuan nalar
belakangan menjadi isu yang gencar disuarakan para ahli pendidikan. Prof
Iwan Pranoto, guru besar matematika Institut Teknologi Bandung, misalnya,
dalam sejumlah tulisannya mengingatkan soal pendidikan bernalar. Kemampuan
bernalar dalam konteks ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan
mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran
sendiri.
Dalam
disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan
literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara
sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga berkaitan dengan
kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural, seperti
gambar dan simbol secara kritis.
Literasi
dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup lama menjadi acuan
UNESCO. Ini bisa kita baca dari Literacy
for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ
dinyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari
hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses
sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan
kekayaan budaya dan daya guna media. Singkatnya, literasi menjadi poros
upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu
pusaran pendidikan.
Untuk
mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi ini, yang paling
mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang literasi dan
menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan
berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar
dari pelbagai penjuru. Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk
menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan
adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah.
Negara
dengan tingkat literasi tinggi, seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika,
secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran.
Di Amerika, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini, anak diperkenalkan
dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar. Dengan dibantu
guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin
disampaikan oleh pengarang buku. Mereka belajar berdialog dengan teks,
bukan sekadar membaca sambil lewat.
Di
jenjang sekolah dasar, siswa dikondisikan untuk belajar memperkaya kosakata
dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan bacaan berjenjang (leveled
reading) yang disesuaikan dengan tingkat kognitif dan kematangan mereka.
Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks bacaan (seperti
kosakata, struktur, logika, dan konsep). Ketika di tingkat menengah, siswa
akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre, dan teks beragam bentuk
(seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang diharapkan di
perguruan tinggi ataupun dengan kebutuhan literasi ketika mereka terlibat
langsung dengan masyarakat luas. Pada akhirnya, keterbiasaan dengan buku
akan menumbuhkan cinta mereka terhadap membaca.
Pelajaran
apa yang bisa kita petik dari kasus di atas? Satu hal yang pasti:
peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran buku. Fungsi
buku dan teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk
berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang bukan sekadar
permukaan. Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan (lebih dari
sekadar buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa
dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.
Buku
tentu saja bukan satu-satunya faktor di sini. Peningkatan literasi siswa
juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman
literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa punya kesempatan
meningkatkan daya literasi mereka di sekolah.
Korelasi
antara literasi dan peran guru inilah yang menjadi salah satu temuan
penelitian saya dua tahun lalu di Jakarta. Saya melibatkan mahasiswa calon
guru di UIN Jakarta sebagai fokus penelitian. Mereka saya minta belajar
memahami dan membaca buku dan teks dengan kritis. Ketika membaca buku
berilustrasi, saya memperkenalkan konsep narasi dalam relasi teks dan
gambar yang ada dalam suatu buku. Asumsinya, teks dan gambar sejatinya
memiliki cara unik untuk menyampaikan cerita sesuai dengan yang diinginkan
oleh pengarang. Saya meminta para mahasiswa calon guru tersebut lebih
memperhatikan secara saksama pesan dalam teks, dan bagaimana pesan itu
disampaikan, juga efek apa yang diinginkan terhadap pembaca. Hasilnya,
mereka membaca dengan lebih kritis dan cenderung tidak menerima begitu saja
informasi yang mereka baca.
Paradigma
baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada kemampuan baca-tulis, tapi
juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya mensyaratkan proses peningkatan
literasi yang berkesinambungan, dari jenjang pendidikan dini hingga dewasa.
Tak ada jalan pintas untuk itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar