Selasa, 03 Desember 2013

Kriminalkan Dokter Malpraktik

Kriminalkan Dokter Malpraktik
Reza Indragiri Amriel  ;   Penulis pernah menjadi pasien di berbagai rumah sakit di dalam dan luar negeri
SINAR HARAPAN,  02 Desember 2013



“Ada jarak antara kompetensi dokter dengan kekuasaan Tuhan.”

“Ini obat otak,” seorang dokter di sebuah klinik di kawasan Pamulang menjelaskan saat anak kedua saya, Vinza, terjatuh dari tempat tidur dan kepalanya membentur lantai. Bukannya jelas, saya spontan mengernyitkan dahi.

Di apotek, saya baca brosur benda yang disebut sebagai obat otak itu. Ternyata bukan obat, melainkan suplemen. Salah satu kandungannya adalah DHA, zat yang diyakini bisa meningkatkan kecerdasan. Resep tidak saya tebus. Saya kehilangan respek pada si dokter!

Lain masa; anak ketiga saya, Aza, divonis dokter harus menjalani rawat inap. “Kalau bukan demam berdarah, anak Bapak terkena tifus,” ujar dokter di salah satu rumah sakit di Bogor.

Saya membatin, kalau dokter berani-beraninya langsung main mendiagnosis buah hati saya, saya pun akan menyerang balik dengan melakukan analisis psikologis terhadap si dokter. Saya “kejar” penalaran si dokter, sampai kemudian ia dengan “rendah hati” mengoreksi rekomendasinya sendiri. “Anak Bapak rawat jalan saja, ya.”

Kesimpulan saya, satu lagi dokter yang tidak pantas menerima rasa hormat dari pasiennya. Rasa hormat yang—setidaknya—jika diangkakan, sama artinya dengan tidak layak menerima bayaran!

Tentu tidak semua dokter punya akhlak profesional seburuk kedua dokter tadi. Saya mengenal dr Efek, seorang dokter anak di Jakarta Pusat, yang sudi memberi saran pada saya, “Kalau tidak nampak serius, cukup telepon saya saja, Pak. Tidak usah datang.”

Ada juga dr Liku (spesialis anak di Yasmin Bogor), dr Arya (spesialis alergi di Jakarta Barat), dan dr Aryatama (spesialis bedah saraf di Jakarta Pusat) yang rela meluangkan waktu untuk memintarkan saya via BBM, bahkan memberikan opini kedua atas hasil kerja sejawat mereka. Opini mereka itu saya simpulkan sebagai “gugatan terhadap sesama dokter yang tertatih-tatih memperbarui ilmu kedokterannya”.

Memakai istilah kedokteran yang kembali hangat dalam putusan kasasi atas dr Dewa Ayu Prawani, dr Hendy Siagian, dan dr Henry Simanjuntak, saya membayangkan boleh jadi sangat banyak pasien di Indonesia yang sesungguhnya telah menjadi korban malapraktik dokter.

Malapraktik seperti yang majelis hakim kasasi nilai dilakukan ketiga dokter tadi memang tergolong ekstrem karena berujung pada kematian pasien. Namun, pemberian resep obat otak dan rekomendasi rawat inap yang saya deskripsikan di atas, walau terkesan ringan, juga dapat dinilai sebagai bentuk malapraktik dokter.

Tidak hanya mereka telah mengesampingkan prosedur standar (misalnya pemeriksaan laboratorium) dalam rangka menegakkan diagnosis untuk cedera maupun penyakit yang tergolong serius. Mereka juga telah merekayasa rasa takut pasien.

Persoalannya, karena dianggap berkategori ringan, malapraktik dianggap tidak terjadi atau—setidaknya—terma “malapraktik” dipandang terlalu bombastis dikenakan pada tindakan-tindakan dokter tersebut.

Pasien yang khawatir apalagi panik, ataupun tidak percaya diri karena tidak pernah kuliah di fakultas kedokteran, tentu memilih untuk diam saat menerima perlakuan dokter sedemikian rupa. Pada momen itu, pasien menyia-nyiakan kesempatan untuk mendorong dokter agar meng-override pemikirannya. Konsekuensinya, habislah si pasien dikunyah si dokter.

Saya tidak tahu persis berapa angka malapraktik yang berlangsung di Indonesia. Otoritas kedokteran nasional pun, bisa diduga, tidak akan terlalu nyaman mengungkap besaran kasus tersebut. Sebagai pembanding, pada 1999 laporan bertajuk To Err is Human menyajikan data sekitar 98.000 orang kehilangan nyawa akibat kekeliruan yang dilakukan rumah sakit di Amerika Serikat.

Awalnya didebat hebat, angka menghebohkan tersebut akhirnya diakui para dokter dan rumah sakit. Demikian pula, pada 2010, Office of the Inspector General for the Department of Health and Human Services menyebut, penanganan buruk rumah sakit mengakibatkan 180.000 kematian setiap tahun.

Tahun ini, Journal of Patient Safety memprediksi kematian akibat malapraktik berjumlah 210.000-440.000 per tahun. Angka tersebut menjadikan malapraktik sebagai pembunuh terbesar nomor tiga di negeri Paman Sam, setelah penyakit jantung dan kanker.

Lantas, apa penjelasan bagi sinyalemen bahwa tingginya kejadian malapraktik tidak terepresentasikan angka yang bisa ditampilkan (andai ada)? Pertama, seperti diuraikan tadi, terdapat asumsi keliru bahwa malapraktik harus berakibat fatal dan dramatis.

Kedua, kejadian malapraktik sulit dideteksi karena adanya jarak waktu yang cukup jauh antara peristiwa dan investigasi atas peristiwa tersebut. Ketiga, lazimnya jiwa korsa yang membudaya di dalam organisasi profesi, solidaritas antardokter bisa menjadi kendala tersendiri bagi tuntutan publik (pasien) akan pengungkapan dugaan-dugaan malapraktik.

Kriminalisasi Dokter?

Sajian data statistik di atas tidak memasukkan jumlah kegagalan penanganan medis yang memang harus dibedakan dengan malapraktik. Malapraktik berasosiasi dengan problem profesionalitas dokter, yakni keteledoran dan kelalaian, sementara kegagalan penanganan medis bersumber dari keterbatasan manusiawi dokter.

Artinya, betapapun dokter telah bekerja segigih mungkin guna menyelamatkan nyawa pasiennya, pada akhirnya ada jarak antara kompetensi dokter dengan kekuasaan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.

Perbedaan antara malapraktik dan kegagalan penanganan medis berimplikasi pada penentuan jenis sanksi yang patut dikenakan kepada para dokter. 

Kegagalan penanganan medis, menurut saya, merupakan sesuatu yang kodrati sebagai manifestasi keterbatasan dokter.

Jadi, pemberian sanksi tidak relevan untuk dilakukan. Untuk dokter yang melakukan malapraktik, jenis-jenis hukuman kiranya bisa dibuat berdasarkan gradasi tindakan. Mulai dari pengenaan sanksi etis bagi dokter pelaku malapraktik berkategori ringan, hingga sanksi etis dan pemidanaan bagi dokter yang melakukan malapraktik berat.

Dalam konteks tersebut, terlepas dari putusan kasasi yang diterima dr Ayu dan kawan-kawan, saya berseberangan dengan sejumlah dokter yang berampanye “setop kriminalisasi dokter”. Pasalnya, dokter tetap warga bangsa yang tidak steril dari hukum. Ketika tindakan malapraktik dokter berakibat fatal bagi pasien, dokter yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

Pada tataran paling mendasar, saya melihat gonjang-ganjing ini lebih dari sekadar ihwal malapraktik dr Ayu dan kawan-kawan, sebagaimana diputuskan majelis kasasi. Di situ menggelegak krisis kepercayaan masyarakat terhadap (sebagian) dokter.

Dokter-dokter yang melecehkan kebutuhan pasien untuk teredukasi, serta para dokter yang kongkalikong bersama perusahaan-perusahaan farmasi dengan menjadikan kesakitan pasien sebagai ladang “bisnis” mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar