PERDEBATAN yang dibangun
selama ini soal kegagalan (sebagian) pembangunan ekonomi yang dirancang
pemerintah, seperti eksekusi pembangunan infrastruktur, ketimpangan
pendapatan, kerapuhan investasi, penyerapan APBN, dan pengendalian pekerja
sektor informal, lebih banyak bertumpu pada soal pilihan kebijakan ekonomi.
Analisis atas opsi kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah ini tentu tidak salah sebab dalam tradisi ilmu ekonomi
memang hampir tak pernah ada kebijakan tunggal untuk menyelesaikan masalah
ekonomi yang muncul. Karena itu, menyandingkan antara kebijakan yang
diproduksi pemerintah dan alternatif kebijakan lain diharapkan bisa
memperbaiki kualitas kebijakan di masa depan.
Namun, ada hal lain yang juga
penting dan belum banyak dibicarakan, bahwa sebagus apa pun kebijakan
(ekonomi) pasti menghendaki tahap eksekusi yang matang pula agar kebijakan
itu punya jejak di lapangan.
Kapasitas
negara
Sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia
hampir 15 tahun ini merupakan antitesa dari sistem politik otoriter warisan
Orde Baru yang dianggap memupus aspirasi rakyat dalam merumuskan dan
menjalankan pembangunan.
Otoritarianisme berjalan dengan koridor berikut:
perencanaan dan kebijakan sepenuhnya dirajut pemerintah dan dikendalikan
pelaksanaannya oleh pemerintah (pusat) juga. Pengambilan keputusan sangat
efektif, tidak bertele-tele, dan langsung dapat dieksekusi. Sisi
negatifnya, pilihan kebijakan berpotensi sesat karena tidak menyerap suara
rakyat, sekaligus mengabaikan partisipasi publik dalam pengerjaan dan
pengawasan.
Hasilnya, pembangunan ekonomi bisa
berjalan dengan kencang, tetapi dengan segenap penyimpangan. Demokrasi
melawan itu dengan memberi pilihan jalan yang berbeda: perumusan kebijakan
merupakan hasil dari percakapan lalu lintas suara publik, yang kerap kali
berisik, sehingga opsi kebijakan merupakan pilihan terbaik. Sampai pada
tahap itu demokrasi telah dipraktikkan dan menghasilkan sebagian kebijakan
ekonomi yang bagus. Masalahnya, kenapa kebijakan itu tak juga punya tapak
di lapangan? Di sinilah perdebatan yang absen selama ini: bahwa demokrasi
akan lumpuh apabila tak bersanding dengan kapasitas negara
(pemerintah/birokrasi). Kapasitas negara ini dapat dimaknai sebagai
kemampuan mengimplementasikan tujuan-tujuan pembangunan yang sudah
ditetapkan.
Tanpa kualitas birokrasi yang
bagus/solid, efektivitas pengerjaan kebijakan publik, seperti pengumpulan
pajak dan penyediaan layanan publik, menjadi mandul. Pada titik ini,
demokrasi dan kapasitas negara dalam posisi komplementer untuk meraih
kinerja pembangunan ekonomi yang hebat (Knutsen, 2013). Kelemahan ini
secara lugas dapat dinyatakan dalam frasa ini: demokrasi menghasilkan
reformasi kebijakan ekonomi, tetapi nihil reformasi administrasi untuk
menambah bobot kapasitas birokrasi.
Tak ada satu pun yang menyatakan bahwa
kebijakan pembangunan infrastruktur, perbaikan daya saing ekonomi, dan
hasrat penyerapan APBN yang lebih baik merupakan kebijakan yang keliru.
Namun, kebijakan tepat tersebut nyaris menjadi kisah klise: lunglai di
lapangan. Penjelasannya, kapasitas negara untuk menjalankan kebijakan itu
tidak memadai. Tak kurang banyak investor sudah setuju membangun
infrastruktur, tetapi tidak mau mengeksekusi karena tidak tersedia komitmen
untuk menyelesaikan soal lahan. Daya saing ekonomi menjadi impian semua
pengusaha, tapi biaya dan waktu pengurusan perizinan mahal dam lama.
Dana alokasi APBN diperjuangkan dengan
penuh riak politik selama di parlemen, tapi sunyi begitu tahap implementasi
mesti dilalui. Aneka perubahan peraturan presiden/pemerintah sudah
dilakukan, tetap saja penyerapan anggaran lambat dan menggantung di akhir
tahun. Pendeknya, kombinasi demokrasi dan kapasitas negara yang lemah telah
menghasilkan kemacetan pembangunan.
Kemandekan
pembangunan
Satu lagi yang tak digarap adalah aspek
kapabilitas sosial (social
capability) sebagai daya dorong pembangunan ekonomi. Demokrasi dan
pembangunan tak hanya memerlukan instrumen kebijakan (formal) sebagai dasar
panduan arah dan pelaksanaan kerja ekonomi, tapi juga membutuhkan suporter
sosial secara langsung dalam wujud pengetahuan, standar norma, loyalitas,
etika kerja, hasrat belajar, dan kepercayaan sosial (Putterman, 2013).
Elemen-elemen itulah yang disebut sebagai kapabilitas sosial dan menjadi
sumber kekuatan pembangunan.
Negara semacam Tanzania, Mozambik, dan
Malawi saat ini sudah mengadopsi institusi politik demokratik dan telah
mendesain kelembagaan ekonomi yang modern, seperti jaminan hak kepemilikan
terhadap warga negara, tapi tetap tidak bisa sejajar dengan pembangunan
ekonomi di beberapa negara Asia sebab kapabilitas sosialnya jauh dari
mencukupi.
Amartya Sen (1999) dalam salah satu karya
pentingnya menekankan pentingnya aspek pendidikan dan kesehatan sebagai
pilar dari kapabilitas sosial tersebut, yang sebagian sekarang menjadi
salah satu sumber pembangunan ekonomi di China dan Korsel. Problem
menjalankan secara paralel antara transformasi ekonomi dan kapabilitas
sosial menjadi hambatan terbesar di beberapa negara sehingga target-target
pembangunan tak bisa dicapai.
Kasus di Indonesia menjadi catatan yang
menarik karena pada saat orientasi kemajuan ekonomi ditempuh dan sebagian
telah menghasilkan pergeseran sumber-sumber pertumbuhan menuju sektor
industri dan jasa, tetapi terancam berhenti karena tidak ditopang
pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan tenaga kerja. Faktanya, 67 persen
tenaga kerja hanya tamat SMP ke bawah sehingga saat ini 62 persen tenaga
kerja tak bisa masuk ke sektor formal meskipun pengangguran terbuka terus
turun.
China yang berpenduduk sangat besar
relatif mampu mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan investasi
pendidikan secara besar-besaran sejak 1979 sehingga saat ini sebagian
tenaga kerjanya dapat menikmati pekerjaan di sektor modern (formal).
Tercatat, pada saat pekerja sektor informal di Indonesia sebesar 62 persen
(2012), pada saat yang sama di China sebanyak 55 persen. Malaysia juga
melakukan langkah serupa sehingga pekerja sektor informal bisa ditekan pada
angka 30 persen saja.
Tentu saja, di luar pendidikan dan
kesehatan, aspek norma, etika kerja, loyalitas, dan kepercayaan sosial juga
merupakan elemen penting lain yang harus digarap seiring dengan
transformasi ekonomi. Realitas inilah yang harus dipahami pemerintah
sehingga bisa meletakkan pembangunan ekonomi dalam bingkai sosial-politik
yang tepat. Jika cara membangun (ekonomi) steril dari unsur-unsur tersebut,
perjalanan pembangunan akan terseok-seok dan menimbulkan aneka luka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar