Aneh, tapi nyata. Dokter-dokter
tega meninggalkan pasien dengan alasan demo kesetiakawanan terhadap dokter
lain yang divonis Mahkamah Agung (MA) 10 bulan penjara.
Bukankah tindakan demikian melanggar sumpah
jabatan? Mereka tahu bahwa MA tidak mudah ditekan- tekan untuk mengubah
putusannya. Sadarkah bahwa demo justru merendahkan martabat profesi dokter?
Sulit akal sehat memahaminya. Sejak ribuan tahun silam, jauh sebelum negara
Indonesia lahir dan jauh sebelum hukum modern diberlakukan di negeri
tercinta ini, masyarakat telah menata kehidupan bersama berdasarkan kaidah-kaidah
substansial yakni keadilan.
Keadilan itu menjadi simbol kemanusiaan.
Tiadalah keadilan tanpa kehadiran manusia beradab. Kualitas kemanusiaan
menjadi penentu terwujud keadilan. Dimulai dari keadilan terhadap diri
sendiri dan selanjutnya mengembang luas mewarnai kehidupan bermasyarakat
sehingga pancaran keadilan dirasakan sebagai anugerah kehidupan bersama.
Dalam kondisi demikian interaksi pasien dan dokter terjalin dalam suasana
saling menghormati.
Kadar penghormatan bertingkat-tingkat dan keadilan
pun mengejawantah dalam berbagai tingkatan pula. Tingkat keadilan terendah
berupa keseimbangan hak dan kewajiban, sedangkan tingkat keadilan tertinggi
berupa keikhlasan memberi atau mengobati tanpa pamrih atas hak-haknya.
Gugatan malapraktik kedokteran tiada lain merupakan upaya pencarian
keadilan (search for justice).
Tangis keluarga pasien merupakan tangisan keadilan (cry for justice).
Keluarga pasien dan para dokter kini sedang
bergerak menuntut keadilan. Jalan yang ditempuh keduanya berbeda bahkan
bertolak belakang, tetapi menuju satu tujuan yakni keadilan. Perbedaan dan
persimpangan jalan mengerucut pada satu titik yakni MA. Putusan MA adalah
keadilan untuk bersama. Keadilan merupakan realitas dinamis. Dinamika
kehidupan masyarakat bergerak paralel dengan dinamika keadilan. Ketika
dugaan malapraktik diputus di pengadilan tingkat pertama, ada pihak tak
puas, mereka bergerak ke pengadilan tingkat banding. Ketika putusan tingkat
banding tidak memuaskan, mereka bergerak ke atas sampai kasasi di MA.
Bila putusan kasasi tak memuaskan, terbuka
mengajukan peninjauan kembali (PK). Proses hukum berjalan tertib dan
teratur. Bukankah hal demikian sudah menjadi kesepakatan hidup bernegara
hukum? Demo para dokter tampaknya bukan untuk membebaskan dokter Ayu dari
sanksi pidana ataupun menuntut keadilan, boleh jadi dipicu emosi dan
kekhawatiran kalau kejadian serupa menimpa dokterdokter lain. Demo
dijadikan simbol perlawanan terhadap kemapanan proses hukum dan upaya
mendapatkan pengakuan istimewa (privilese) atas profesi dokter.
Pendek kata, dengan keistimewaannya, dokter
jangan pernah dihukum ketika terjadi ihwal yang tak diinginkan pada pasien.
Apakah keinginan demikian benar secara hukum? Keadilan dan kebenaran hukum
merupakan atribut melekat pada kemanusiaan. Apabila para dokter masih setia
pada sumpah jabatan bahwa profesi dokter wajib diabdikan untuk kemanusiaan
dan selama MA telah menerapkan hukum dengan benar demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya tidak perlu ada demo terhadap putusan
MA.
Tudingan para dokter bahwa MA salah menerapkan
hukum akan menjadi bumerang. Soal hukum, bukanlah dokter ahlinya. Soal
kesehatan bukan hakim ahlinya. Sebaiknya, masing-masing bicara secara
santun dan proporsional pada bidangnya. Sikap demikian justru menunjukkan
kedewasaan hidup bernegara.
Betapa pun manusia telah beribu-ribu tahun
berkelindan dalam dinamika pencarian keadilan, kini tak terhindari terjadi
anomali hubungan antara pasien dan dokter. Gelombang baru ini terjadi
seiring perubahan dramatis dari kemanusiaan ke teknologi dan bisnis.
Teknologi dan bisnis menjadi simbol kehidupan baru tanpa peduli terhadap
kemanusiaan. Wajar, dalam situasi anomali demikian, pihak-pihak yang tidak
siap mental menjadi tergagap-gagap.
Alvin Toffler (1970) menyebutnya sebagai culture shock. Para dokter yang
terlibat demo diakui atau tidak tergolong orangorang terjangkiti culture shock. Khawatir kenyamanan
profesinya terancam oleh pengadilan. Pelayanan kesehatan modern erat
tali-temali dengan persoalan teknologi dan bisnis. Dokter dan rumah sakit
disadari atau tidak telah lama terjebak kehidupan modern. Pelayanan
kesehatan menggunakan alat-alat modern, didukung sistem manajemen
prosedural dan standar pelayanan medis, telah melahirkan model pelayanan
rasional.
Besarnya tarif dipadankan sebagai besarnya
tanggung jawab dokter dan rumah sakit atas kualitas pelayanan kesehatan.
Karena itu, ketika pelayanan dan hasilnya tidak sesuai dengan apa yang
dijanjikan, wajar dan menjadi hak pasien untuk menuntutnya. Tuntutan dapat
meliputi pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Ini semua konsekuensi
hubungan teknologi dan bisnis antara pasien, dokter, dan rumah sakit.
Kehidupan modern mempunyai rasionalitas tersendiri dalam pelayanan
kesehatan.
Kehidupan pasien dan dokter terstruktur
sedemikian rupa, berada dalam karakteristik sangat berbeda. Interaksi tidak
lagi ”luwes, ajur-ajer, tepa salira”,
melainkan ”keras, tegas, dan
impersonal”. Silakan hubungi dokter bila sanggup membayar tinggi,
carilah mantri bagi yang tak mampu. Hukum pelayanan kesehatan pun menjadi
”keras”. Lex dura sed tamen scripta,
artinya hukum memang keras, tetapi apa mau dikata, memang begitulah hukum
itu. Gugat-menggugat antara pasien dan dokter merupakan corak dan dinamika
hukum yang keras itu.
Sedemikian kerasnya, gugatan satu pihak dapat
mematikan pihak lain. Pelayanan kesehatan mestinya setia mengabdi pada
kemanusiaan dan pantang berubah menjadi komoditas. Basisnya hati nurani dan
bukan hitungan finansial. Saya yakin, seburuk apa pun hasilnya, bila hati nurani
yang bicara, hubungan pasien dan dokter dapat terjalin sepanjang waktu.
Telah sembuh berucap terima kasih.
Kalaupun gagal sembuh, berucap innalillahi wa innaillaihi roji’un.
Damai. Pengadilan pun sepi dari sorak-sorai gugatan malapraktik. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar