Minggu, 07 April 2013

Teori Sastra Slavoj Zizek


Teori Sastra Slavoj Zizek
Ramayda Akmal ;   Alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM; Penulis Novel
KOMPAS, 07 April 2013

  
Sebagai salah satu filsuf kontemporer Eropa yang terkemuka, Slavoj Zizek mulai diperbincangkan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Namun, perbincangan itu masih sebatas dalam ranah filsafat, sementara ruang lingkup konsep teoretis Slavoj sangatlah luas. Slavoj melakukan kajian terhadap beragam obyek, seperti karya-karya filsafat, film, sastra, iklan, perang, wacana, syair lagu, dan video klip. Konsep dasar yang digunakan Slavoj untuk mengkaji beragam obyek tadi adalah konsep subyek dan tindakannya.
Sebagai seorang marxis, Slavoj percaya bahwa subyek masih ada, yakni subyek yang mengubah struktur dan menjalankan sejarah dengan tindakannya. Namun, seperti halnya Jacques Lacan, subyek bagi Slavoj tidak pernah utuh, selalu terbelah dalam hubungannya dengan Yang Riil, Yang Imajiner, dan Yang Simbolik. Subyek terdiri atas atau tidak bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut. Yang Simbolik adalah apa yang dikenal sebagai realitas yang (telah) terbahasakan. Secara konkret, Yang Simbolik mewujud pada seluruh arena, wacana, institusi, ataupun gagasan yang ada dalam sebuah masyarakat.
Yang Riil secara sederhana dipahami sebagai dunia sebelum ditangkap oleh bahasa atau arena yang masih belum terbahasakan. Yang Riil tidak mungkin menampakkan diri kecuali aspek-aspek atau gejalanya melalui apa yang bernama Yang Imajiner, yakni ruang di mana terdapat sisa kegagalan dalam menerjemahkan Yang Riil.
Ketidakmampuan menggapai Yang Riil atau tembok yang selalu diciptakan Yang Simbolik membuat subyek selalu bergerak demi mencapai keutuhan. Tindakan selalu bergerak inilah yang mampu mengubah struktur (Yang Simbolik) sejauh ia bersifat radikal.
Bagi Slavoj, tindakan dibedakan dengan hanya sekadar aksi. Tindakan harus radikal. Seorang subyek yang bertindak radikal adalah yang mampu melepaskan diri dari segala yang melekat di dirinya, melepaskan diri, menjaga jarak atau sekadar mengacaukan tatanan Yang Simbolik. Subyek yang terus- menerus bergerak itu berpotensi menjadi subyek yang bebas dan otentik.
Sastrawan Sebagai Subyek
Sastrawan sebagai subyek juga mampu menunjukkan kualitas tindakannya yang radikal menuju keotentisan. Tindakan itu bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-harinya dan terutama dalam menulis karya sastra. Seperti subyek lainnya, sastrawan mempunyai keterbelahan dalam tiga aspek Yang Riil, Yang Simbolik, dan Yang Imajiner.
Yang Riil dalam diri sastrawan tecermin melalui keinginannya atau harapannya untuk bebas, melepaskan diri, bahkan dalam penolakannya terhadap berbagai ideologi atau aturan Yang Simbolik. Yang Riil ini muncul pada momen-momen traumatik dan mendeotomatisasi hidup pengarang itu sendiri sehingga ia tidak pernah stagnan atau berada dalam kondisi totalitas tertentu. Proses tersebut bisa terlihat ketika kita mengamati perjalanan pemikiran seorang sastrawan ataupun pergeseran karakter karya-karyanya.
Sementara itu, Yang Imajiner merupakan ruang di mana trauma muncul. Trauma itu tidak hanya yang bersifat psikis, tetapi juga ideologis. Artinya, ketika pengarang hidup dalam kungkungan ideologi tertentu, ketika ideologi mulai melakukan totalisasi, maka lack dari ideologi itu akan muncul dan potensi trauma menjadi semakin besar. Yang Imajiner ini juga menyediakan ruang-ruang fantasi yang kemudian oleh pengarang ”dikonkretkan” dengan dan dalam karya sastra. Misalnya, seorang Pramoedya dalam banyak novelnya menolak feodalisme dengan menawarkan sosialisme atau humanisme, untuk kemudian meninggalkan dan menawarkan hal lain lagi.
Yang Simbolik di dalam analisis-analisis Slavoj terhadap sastra serta dalam kaitannya dengan pengarang sebagai subyek dimaksudkan untuk menyebut masyarakat pada umumnya dengan gagasan dan pandangan yang eksis di dalamnya. Yang Simbolik bisa terlembaga dalam bentuk institusi-institusi kesastraan ataupun kepercayaan umum yang lingkupnya lebih sempit.
Karya Sastra Sebagai Tindakan
Berdasarkan cara Slavoj memperlakukan karya sastra dan hubungannya dengan pengarang, maka karya sastra dapat disebut sebagai tindakan. Konsep tindakan ini diartikan sebagai upaya pengarang dengan karya sastranya melakukan radikalisasi terhadap Yang Simbolik. Karya sastra sebagai tindakan dibedakan dengan karya sastra sebagai cermin atau alat. Konsep karya sastra sebagai cermin/gambaran/dan lain-lain yang sifatnya reflektif berarti mengukuhkan karya sastra itu sendiri sebagai bagian dari Yang Simbolik. Sementara sebagai alat, berarti memisahkan entitas karya sastra itu dari diri pengarangnya. Sementara sebuah tindakan dipahami dalam satu kesatuan dengan subyek.
Karena karya sastra mengandung tindakan pengarang, maka di dalamnya ada satu kegiatan yang aktif dari seorang pengarang. Slavoj menemukan aktivitas tersebut dalam bentuk pergerakan sudut pandang. Yang menentukan sudut pandang ini adalah pengarang. Pada karya sastra, pengarang bisa menjadi narator atau orang di luar cerita yang menggunakan matanya untuk melihat peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Ia adalah pelaku semua pekerjaan membangun cerita. Penceritalah yang mengemukakan prinsip-prinsip dasar penilaian, dialah yang menyembunyikan atau mengutarakan pikiran para tokoh. Dialah yang memilih antara ujaran langsung dan ujaran yang disesuaikan, antara urutan peristiwa secara kronologis atau pemutarbalikan waktu peristiwa. Pendek kata, pengarang sangat menentukan pergerakan di dalam karyanya.
Dari tindakannya dalam menentukan sudut pandang itu akan terlihat sejauh mana karakter radikal seorang pengarang. Jikalau tokoh-tokoh di dalam karya sastra dianggap menjadi bagian dari Yang Simbolik tertentu, bagaimana pengarang menempatkan, menceritakan, mendekati atau menjauhinya, memasuki atau menghindari akan menunjukkan sejauh mana karakter radikal dari pengarang tersebut.
Bagaimana Pramoedya bersikap sebagai narator dalam salah satu novelnya, misal Perburuan, dapat menjadi contoh yang baik dalam menerangkan determinasi pergerakan sudut pandang tadi. Sebagai narator, Pramoedya suatu ketika masuk ke dalam tubuh Hardo (sebab Pram bisa mengetahui suara hati tokoh Hardo). Pram adalah Hardo yang mengelak seluruh keluarganya, meninggalkan rumahnya yang nyaman, melepaskan kedudukannya sebagai shodanco dan tunangannya yang cantik untuk memberontak serta hidup dalam pelarian. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan diri dari totalisasi Yang Simbolik feodalisme, kolonialisme, nasionalisme sempit dan bahkan familialisme (kekeluargaan).
Subyek harus selalu bergerak menghindari totalisasi untuk bisa semakin dekat dengan Yang Riil. Dengan bergerak pula, struktur akan berubah dan relasi hierarkis ataupun yang otoritatif akan terhindarkan. Keterkaitan antara Yang Simbolik di dalam novel dengan yang ada dalam kehidupan nyata seorang Pram kemudian dicermati bentuk-bentuknya, apakah menunjukkan kesejajaran, keterbalikan atau bentuk yang lain yang spesifik sesuai konteks sosiologis dan historis seorang Pramoedya.
Konsep-konsep dari Slavoj dan contoh penerapannya di atas memiliki peluang besar bukan hanya sebagai bagian dari perkembangan kajian atas karya sastra dan sastrawan di Indonesia pada umumnya, melainkan menjadi sebuah keniscayaan ketika kita sadari begitu banyak sastrawan Indonesia yang menunjukkan karakter dan potensi menjadi subyek yang bebas dan otentis. Terpenting lagi, alih-alih dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, teori sastra Slavoj memberikan peluang kepada tindakan radikal sebuah pemahaman yang lebih produktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar