“Language is the loaded weapon” Bolinger 1987 (1980)
Bagaimana kita memahami bahasa
politik dewasa ini? Kata Orwell, politikus memakai bahasa untuk
’mempertahankan apa yang tidak dapat dipertahankan’ (George, 1962
[1946]).
Publik dan analis komunikasi
politik seperti Effendi Gazali dan Hanta Yudha menilai pidato pengunduran
diri Anas dari Ketua Umum Partai Demokrat sebagai pidato politik terbaik.
Di manakah letak kehebatannya?
Mengembangkan ide Orwell dan
Bolinger, pidato ini adalah senjata politik yang berpeluru dialogisme.
Struktur Pidato
Untuk memahami ciri dialogisme
dalam bahasa politik pada era demokrasi, mari kita lihat struktur pidato
itu sendiri. Seperti diketahui, intinya ialah pengunduran diri Anas. Ia
ditata dalam dimensi ruang dan waktu. Dari segi ruang, bagian inti
terletak di tengah, diapit dua bagian lain, yang mendahului dan yang
mengikuti inti teks.
Dari segi waktu, ketiga bagian
ini juga tertata rapi. Bagian yang mendahului inti adalah teks penyebab
pengunduran dirinya. Inilah causa
efficiencis Aristoteles, mirip hukum Boyle, atau yang Schutz sebut
’motivasi karena (because motive)’
yang terdiri atas tuturan tentang peristiwa-peristiwa politik dan hukum yang
mendahului peristiwa pengunduran diri. Inti teks kemudian diikuti bagian
tentang rasional pengunduran diri. Inilah causa finalis Aristoteles, teleologis, atau ’motivasi-tujuan
Schultz (in order to motive)’
yang terdiri atas tuturan tentang langkah-langkah politik dan hukum ke
depan.
Anas membandingkan kedua bagian
teks itu dengan memakai tingkat perbandingan bahasa seperti biasa, lebih,
dan paling seperti tampak dalam frasa ’Di atas segalanya’. Inilah yang
Goffman sebut framing, suatu
arahan kepada pendengar bagaimana menginterpretasi teks yang mengikutinya
(Goffman, 1974). Interpretasi itu ialah bahwa gerakan politiknya ke
depan, ’membuka halaman-halaman berikutnya’ jauh lebih penting daripada
apa yang ia katakan sebelumnya.
Ciri khas ketiga bagian teks di
atas adalah dialogisme. Konsep ’dialogisme’ dibedakan dari dialog. Jika
dialog berarti hubungan percakapan interaktif antara dua orang,
dialogisme adalah dinamika internal tuturan seorang pembicara, di mana
sebuah tuturan sudah selalu berhubungan dengan tuturan lain, entah itu
suatu jawaban, persetujuan, perjuangan atau bahkan perlawanan (Bakhtin
1981 [1935]).
Bagian pertama, penyebab
pengunduran diri berkaitan dengan masalah politik dan hukum. Secara
dialogis, bagian ini merupakan jawaban terhadap dua macam teks, yaitu
teks-teks internal dan eksternal partai. Teks internal, seperti teks
Nazaruddin, teks Anas tentang Monas, teks sejumlah kelompok kawan-lawan
seperti Ruhut Sitompul, teks pidato SBY tentang tindakan penyelamatan
partai. Adapun teks pihak eksternal adalah teks KPK dan sejumlah teks
tentang mobil Harrier dan kasus Hambalang.
Dengan teks eksternal partai,
bagian ini ’menerima’ teks KPK yang menetapkan statusnya sebagai
tersangka. Ditegaskan, ia akan mengikuti proses hukum. Bahkan, lewat
proses hukum yang obyektif dan transparan ia akan memperoleh keadilan.
Pengakuannya yang tak tahu-menahu tentang Hambalang menyuarakan teks
sebelumnya untuk digantung di Monas bila ada satu rupiah pun dia ambil.
Saat yang sama, teks ini membantah, misalnya, teks Nazaruddin walaupun
tanpa menyebut nama.
Yang paling menarik ialah bagian
teks yang menjawab teks pihak internal partai, khususnya teks pidato SBY.
Ciri khas dialogisme ditemukan di sini, yaitu mengutip kata-kata lawan
yang dipakai untuk menyerangnya kembali. Suara SBY tentang masalah hukumnya
seperti ’fokuskan diri pada masalah hukum’, KPK dimohon memperjelas
status hukum Anas ’kalau benar katakan benar kalau salah katakan salah’,
adalah senjata SBY untuk ’menyerang’ Anas. Kata-kata ini diambil jadi
kata-kata Anas dan dijadikan senjata untuk kembali menyerang SBY hanya
dengan mengubah pola dan intonasinya. Suatu penyerangan dengan memakai
senjata lawan.
Penyerangan ditujukan pada
dialogisme SBY dengan KPK. Kelihatannya, sementara SBY hanya ’bermohon’,
KPK menginterpretasinya sebagai ’perintah urgen’ untuk penetapan status
tersangka setelah sekian lama terdengar lagu Nazaruddin. Anas pun
menangkapnya sebagai ’desakan’.
Walaupun SBY sudah membantah hal
ini sebelum bertolak ke Jerman, kegiatan politik SBY dalam teks pidato
penyelamatan tidak bisa dipungkiri punya efek pada teks KPK yang
menetapkan Anas sebagai tersangka, sengaja atau tak sengaja.
Yang dipersoalkan Anas dalam
bagian pertama adalah rentetan implikasi SBY, seperti tindakan
penyelamatan yang berimplikasi ’ada yang menghancurkan partai’, anjuran
agar fokus pada hukum berimplikasi ’Anas koruptor’. Semua itu muncul
malah sebelum KPK menetapkannya, yang selanjutnya berimplikasi ’yang
menghancurkan partai harus lengser’, suatu momen penting politik untuk
meruntuhkan kekuasaan bayi yang tidak diharapkan. Inilah sadisme politik
penyebab pengunduran diri.
Bagian terakhir pidato Anas jauh
lebih penting, berisi halaman-halaman kosong yang akan ditulisi. Ciri
khas dialogisme di sini terjadi pada tingkat metode. Memakai metode lawan
untuk mengaktualisasikan serangan balik. Sama dengan SBY, sudah dapat
diramalkan bahwa kalau dia konsisten dia akan menulisi halaman-halamannya
dengan manuver politik dan, dengan itu, dia memakai hukum untuk tujuan
politik, yaitu menjadikan lawan ’status tersangka’. Sudah ada tanda-tanda
ke arah itu, misalnya isu keterlibatan Ibas dan bangkitnya kembali
masalah Century. Seberapa jauh efek teks ini ke KPK?
Teks inti pengunduran diri juga
dicirikan oleh dialogisme. Tuturan politiknya tidak saja pasif merekam
apa yang terjadi. Tuturan politiknya juga memakai aspek kreativitas
bahasa untuk mengonstruksi obyek halaman-halaman berikutnya.
Dengan kata lain, dialogisme
memperlihatkan dirinya sebagai sosok manusia yang menerima keterlemparan
sebuah sejarah gerakan politik. Namun, tak berhenti di situ. Ia punya
kehendak bebas untuk mengonstruksi realitas politik ke depan. Inilah kode
etiknya, seorang homo politicus merdeka, ikon masyarakat demokratis.
Transaksional Bahasa
Dari kemelut ini dapat dilihat
hubungan antara korupsi, politik, dan hukum. Aspek transaksional bahasa
memperlihatkan suatu realitas politik yang menjawab pertanyaan apa
sebenarnya yang terjadi.
Yang terjadi adalah kontestasi
pada dua tingkat. Pada tingkat hukum, dialogisme mengindeks penggiringan
lawan ke ’status tersangka’. Pada tingkat politik, dialogisme mengindeks
pencapaian ’status terkemuka’, politikus tidak hilang muka, bersih,
cerdas, dan santun. Politikus yang terlibat sama-sama memakai dialogisme
menggiring lawan ke status tersangka untuk menghancurkan status
terkemukanya. Ciri khas sadisme politik demokratis?
Sementara manuver-manuver
politik ini berkontribusi pada penanganan korupsi, pemberantasan korupsi
itu sendiri dipertanyakan: apakah ia tujuan atau sekadar alat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar