Menyatukan
Pikiran Direksi
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM Universitas Indonesia
|
SINDO,
22 November 2012
Beberapa waktu belakangan ini saya banyak diminta menyatukan
pikiran para eksekutif puncak. Meski prinsip one team-one spirit mulai banyak diterapkan, mungkin saja
ditemukan disfungsi leadership.
Timnya bagus, tetapi ada luka batin yang membuatnya tidak bekerja secara efektif, bahkan sangat mungkin sudah ada benih-benih kerusakan sedari awal. Alih-alih memilih superteam, yang terpilih justru superman yang bekerja sendiri-sendiri. Anda mungkin masih ingat dengan Real Madrid yang skuadnya bertaburan bintang (Zinedine Zidane, Ronaldo, Luis Figo, Roberto Carlos, Raul Gonzalez, David Beckham, dan lain-lain), tapi sejak musim 2003/2004 hingga 2005/2006 gagal mendapatkan satu pun piala. Demikianlah kerja sebuah tim. Kalau tidak dikelola dengan baik sedari awal, ibarat tidur di atas satu ranjang, banyak direksi perusahaan dan komisaris yang mimpinya tidak sama. Yang satu ingin memeluk, yang lain menendang. Sejalan dengan waktu, ranjang pengantin dapat berubah menjadi ranjang konflik. Kalau leadership saja sudah disfungsi, bisa dibayangkan bagaimana kinerjanya. Disfungsional organisasi ini biasanya ditandai dengan banyak pembiaran. Peluang dibiarkan berlalu, komplain tidak ditanggapi, klien pergi dibiarkan, orang bagus pergi dibiarkan, sabotase oleh preman dibiarkan, korupsi diabaikan, penindasan apalagi. Maka memilih superteam harus dimulai dari awal. Namun, katakanlah Anda tak mendapatkan superteam, itu bukanlah akhir dari sebuah penyesalan. Sama seperti leader yang tidak dilahirkan, superteam yang kokoh juga harus dibentuk. Gagasan One Team Anda tentu pernah mendengar gagasan Dahlan Iskan tentang one team one spirit. Berbeda dengan fit and proper test yang dipilih sendiri-sendiri, Dahlan menginginkan tim yang solid, sehingga cukup mengangkat satu orang saja, CEO. CEO terpilih lalu ditugaskan memilih sendiri timnya. Gagasan ini sebenarnya sudah dimulai oleh menteri BUMN di era Habibie, Tanri Abeng, saat dia memberi wewenang kepada Robby Djohan dan Abdul Gani untuk masing-masing membentuk tim direksi di Bank Mandiri dan Garuda Indonesia. Jim Collins dalam buku klasiknya Good to Great menyebutkan, tugas utama seorang pemilik dan CEO adalah mencari orang yang terbaik dan menempatkannya pada kursi yang tepat. Jadi kalau Anda berhasil mendapatkannya, dunia ini akan menjadi milik Anda. Namun dalam praktiknya, banyak pemilik perusahaan dan pemimpin yang kesulitan memilih tim. Bahkan, membiarkan seseorang memilih timnya sendiri saja tetap berisiko. Sama seperti sebuah perkawinan suci yang didasarkan cinta mati, tak seorang pun yang bisa menjamin akan kekal abadi. Demikianlah one team yang dibentuk sendiri harus terus dibangun. Itu saja ada yang tak mampu mempertahankan masa kerja yang hanya 4–5 tahun. Ini berlaku bagi siapa saja, perusahaan publik maupun swasta, baik yang bermotif keuntungan maupun yang nirlaba. Menurut pengamatan saya, saat ini ada ribuan perusahaan keluarga Indonesia yang tengah struggle menghadapi ketidakharmonisan tim direksi. Demi keharmonisan keluarga, mereka mengabaikan satu dua anggota yang tidak perform, bahkan mengganggu, untuk tetap berada dalam posisinya. Bahkan, tidak jarang dua-tiga anggota keluarga menjalankan peran yang sama sehingga membingungkan karyawan di bawahnya dan menimbulkan gejala disfungsional. Pembenahan yang dilakukan dengan sistem berbasiskan IT sekali pun tak mampu mengatasi masalah, sepanjang mereka tidak disatupi-kirankan Di banyak lembaga publik sudah sering kita temui gejala ini. Anda lihat sendiri, hampir semua gubernur dan bupati berseberangan dengan wakilnya. Kalau bupati atau gubernurnya sudah tidak ”one team” bagaimana kepala-kepala dinasnya? Mereka bermitra dengan pikiran yang tidak disatupikirankan. Di Mahkamah Agung saja beberapa bulan terakhir ini tampak jelas ketidakhar-monisan itu. Belum lagi di antara para komisioner yang dibentuk parlemen. Bahkan, di perserikatan olahraga seperti PSSI saja kisruh. Di kalangan aparat penegak hukum, gejala jalan sendiri sangat jelas terlihat. Antarmenteri dalam kabinet yang sama pun terjadi. Mereka bukan saling melengkapi, malah beberapa berseberangan. Yang satu membuka pintu, yang lain menutupnya. Di dalam kementerian sendiri hubungan antara menteri dan wamennya tidak mustahil saling berseberangan, demikian pula sesama pejabat eselon satu. Banyak bank milik pemerintah daerah yang tidak bisa berkinerja optimal bukan karena kurang modal, melainkan timnya tidak solid. Mereka masih mempertentangkan antara putra daerah dan pendatang, antara orangnya bupati, pilihan gubernur, dengan kalangan profesional dan seterusnya. Di atas ranjang yang sama itu, mimpi mereka tidak sama. Menyatukan pikiran pimpinan di level atas bukanlah hal yang sederhana, namun juga bukan tidak mungkin. Yang jelas, Anda tidak bisa mendapatkannya secara cuma-cuma. Tim yang baik adalah hasil dari sebuah pembentukan dan di balik tim yang kuat selalu ditemui coach yang kuat. Orang-orang yang terpilih dalam sebuah tim bisa saja bukanlah terdiri atas orang yang hebat, namun apa pun hasilnya, sebuah tim yang baik sekalipun bisa ber-evolusi menjadi buruk dan mengalami disfungsional kalau tidak berada dalam ”tangan”yang baik. Demikian juga sebaliknya, tim yang buruk, di tangan yang baik bisa berubah menjadi great performer. Di dalam perjalanannya tim yang bagus pun tidak selamanya perform, di tengah jalan selalu terdapat ujian dan pergantian secara alamiah. Orang datang dan pergi silih berganti membawa luka batin yang saling ditularkan. Kadang saya menemui CEO yang beruntung seperti Hasnul Suhaimi yang diberi wewenang penuh tim memilih direksi oleh komisarisnya di Axiata. Orang-orang yang beruntung ini mampu menghasilkan kinerja yang baik. Semua orang fokus bekerja mengarahkan tindakan pada pikiran yang sama. Mereka mampu mencegah perselingkuhan masing-masing orang dengan pihak luar. Seperti itu pulalah yang kemarin saya sampaikan kepada enam orang pimpinan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Sabang yang dititipkan kepada saya dan seorang tokoh Aceh terkemuka, Adnan Ganto. Mereka adalah putra-putra terbaik Aceh yang kami pilih melalui fit and proper test secara profesional. Namun begitu jadi, proses pembentukan segera dimulai. Gubernur Aceh Zaini Abdullah sangat serius menerapkan merit system, demi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Kalau sempat membaca buku Cracking Zone, Anda tentu menemukan Model leardership ”X” yang membuat pemimpin kokoh. Seperti huruf ”X”, kepemimpinan ini bertemu pada satu titik di tengah yang mempertemukan dua garis yang menyilang. Titik itulah yang mempertemukan seorang kepala eksekutif dengan pimpinan yang mewakili pemegang saham (komisaris atau dewan pengawas). Anggota dewan dilarang berhubungan langsung ke bawah agar tak terjadi ”perselingkuhan” eksekutif (disenfranchised execution). Demikian juga sebaliknya. Semua anggota direksi bertemu di satu titik pada direktur utama, dan semua komisaris bertemu pada komisaris utama. Lalu mengapa mereka bisa saling berselingkuh, dan mengapa diperlukan coaching? Komplementaritas, Bukan Kompetitas Membentuk one team-one spirit dimulai dengan kesadaran bahwa mereka adalah tim yang saling melengkapi, bukan saling bersaing. Anda pertama-tama memilih orang yang berkomitmen untuk bekerja sama, bukan superstar yang arogan. Complementarity mindset kemudian dibangun dengan berbagai pendekatan: bahasa, simbol, program, sampai strategic planning yang saling bersinergi. Orang-orang yang bersinergi bukanlah orang yang datang dengan luka batin. Ibarat orang sakit gigi, luka batin yang tak terobati akan menimbulkan gejolak. Sebelum giginya dicabut atau saraf sakitnya dimatikan, dia akan tetap terasa sakit. Gigi yang berlubang tak dapat ditambal tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Alih-alih mendapatkan tim yang kuat, Anda hanya mendapatkan orang-orang yang memimpin dengan blocking kuat. Dapat Anda bayangkan bila semua energi hanya dihabiskan untuk membangun blocking. Belum lagi mereka menghadapi tekanan-tekanan dari luar. Orang yang mampu bersinergi adalah orang yang mampu berbahasa saling melengkapi. Ia tak pernah merasa berkekurangan, makanya ia mau memberi. Namun,ia juga tidak boleh merasa amat berkelebihan sehingga mau ”meminta” bantuan. Orang bermental kompetisi harus diarahkan energinya untuk membangun competitiveness perusahaan atau lembaganya, jangan bersaing ke dalam. Competition mindset selalu diawali oleh rasa takut kalah, takut kehilangan, karena terjadi kelangkaan. Ini bagus kalau Anda bisa membangun dalam bingkai yang tepat. A solid team is not taken for granted. It is well created. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar