Kegagalan
Transformasi Bisnis PT KAI?
Firdaus ; Alumnus
Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP-UI
|
SINDO,
22 November 2012
Manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan anak perusahaannya,
PT Kereta Api Commuter Jabodetabek (KCJ), mengusung slogan “Anda Adalah Prioritas Kami”. Pada awalnya mereka bertujuan
memberikan pelayanan, keselamatan, cepat dan aman yang optimal sampai di
tujuan, baik untuk penumpang KA luar kota maupun penumpang KRL Commuter Line,
khususnya di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Namun, strategi
perubahan yang diawali dengan pemberlakuan sistem loop line yang menitikberatkan program kapasitas penumpang dapat
terangkut lebih banyak dan perjalanan kereta dibuat berurutan antara satu dan
lainnya untuk semua rute, memang berhasil untuk saat ini.
Sistem perjalanan KRL loop line menjadi tonggak perubahan kepemimpinan manajemen lama ke manajemen baru di bawah “Komando” Dirut PT KAI Ignatius Jonan. Sayangnya, dalam teknis perubahan kultur manajemen kurang didukung perangkat pendukung lain seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM), strategi komunikasi dan mekanisme pengawasan dalam masa transisi perubahan di masa lalu. Alhasil, sekarang terlihat ada banyak faktor baik internal maupun eksternal yang berkontribusi pada kegagalan manajemen perubahan. Perubahan organisasi merupakan proyek yang sangat besar, bahkan beberapa pengabaian kecil hingga beberapa tingkatan kemungkinan akan mengarah pada kegagalan strategi manajemen perubahan. Adanya resistensi sebagian besar penumpang terhadap rencana kenaikan tarif KRL CL belakangan ini menunjukkan indikasi manajemen PT KAI/KCJ gagal mengusung perubahan dengan tagline tersebut. Konsumen mungkin secara ekonomis mampu memenuhi kenaikan tarif sebesar Rp2.000 dari tarif sebelumnya untuk semua rute, hanya yang dikeluhkan selama ini adalah tidak adanya perubahan layanan yang secara signifikan di lapangan. Artinya, manajemen PTKAI/KCJ gagal menerjemahkan slogan “Anda Adalah Prioritas Kami”. Tidak hanya itu. Manajemen PT KAI maupun PT KCJ juga tidak memperhatikan masalah teknis yang bersifat klasik yang terjadi setiap musim hujan tiba seperti kerusakan sistem persinyalan di Stasiun Manggarai. Faktanya sampai sekarang masih sering terjadi, sehingga menyebabkan kerugian di pihak pengguna jasa KRL maupun KA antarkota. Perjalanan kereta akhirnya menjadi sangat terlambat tiba di tujuan. Konsep memberikan layanan yang terbaik bagi konsumen merupakan cerminan dari strategi perusahaan yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Tingginya aspirasi pelanggan jasa transportasi kereta menghendaki tingkat pelayanan yang optimal seperti rasa nyaman, rasa aman, cepat dan tepat sampai di tujuan. Jika semua ini terpenuhi, maka berapa pun harga tiket kereta tidak menjadi masalah. Contoh model pelayanan ini pernah diterapkan saat manajemen lama PT KAI mengoperasikan KRL “Bekasi Ekspres” dan KRL “Pakuan”. Keduanya sudah terbukti memuaskan sebagian besar konsumen. Pelanggan relatif tidak pernah komplain dan harga tiket berapa pun dijual konsumen tetap membelinya. Jelas ini merupakan keuntungan bagi kedua pihak (win-win solution) antara PTKAI dan penumpang di sisi lain. Prasyarat Perubahan Dalam mengantar perubahan budaya organisasi di internal PT KAI/KCJ, pemimpin manajemen baru sejatinya perlu memperhatikan struktur, SDM, teknologi, dan lingkungan agar mudah beradaptasi mendukung perubahan gaya kepemimpinan ke depan. Karena menurut Schein, semakin dalam tingkat kepercayaan dan asumsi dasar yang dimiliki bersama oleh anggota organisasi, yang beroperasi secara tidak sadar dan didefinisikan dengan gaya “tidak acuh” mendasar sebagai pandangan organisasi tentang dirinya dan lingkungannya. Gaya manajemen baru PT KAI juga lebih cenderung mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) yang sangat berlawanan dengan pendekatan kebutuhan pasar. Ini terlihat dari sistem tapping (pemeriksaan karcis) yang sampai tiga lapis, yaitu saat penumpang masuk peron, di atas kereta dan saat penumpang keluar stasiun. Berbeda dengan pendekatan pasar, yang umumnya memperhatikan kebutuhan konsumen setiap saat. Kondisi ini persis seperti yang terjadi dalam perubahan transformasi di layanan masyarakat Inggris di masa lalu di tengah inisiatif perubahan besar, yang telah diterapkan dari atas ke bawah, telah difrustrasikan oleh infrastruktur budaya yang kuat,tangguh,namun “tidak relevan” yang diterapkan di tingkat akar rumput organisasi (Hamlin, 2001). Ketidaktahuan akan organisasi nonformal akan menjadi kelemahan yang fatal bagi para pimpinan PT KAI level manajer. Mereka harus berusaha memahami bagaimana segala sesuatu diselesaikan, siapa yang mengendalikan pengelompokan ini sebagai pemimpin inti, dan apa budaya mereka dalam organisasi nonformal, melihat apakah sasaran organisasi nonformal sesuai dengan organisasi formal. Bagaimanapun, kegagalan melakukan hal ini membuat sesuatu yang biasanya mudah dan jelas menjadi sulit, terutama dalam proses perubahan organisasi. Orang-orang di berbagai organisasi nonformal berbeda akan memandangnya sebagai ancaman besar dan menyebabkan perlawanan dari orang-orang ini terhadap perubahan organisasi. Adanya resistensi konsumen menolak kenaikan tarif yang demikian besar menunjukkan kegagalan manajemen PT KAI meyakinkan publik secara struktur organisasi melalui slogan “Anda Adalah Prioritas Kami” tidak mencapai sasarannya secara efektif. Slogan itu hanya sebatas merupakan cita-cita manajemen PT KAI/KCJ yang tidak tahu kapan bisa terealisasikan secara terukur. Selain mengapresiasi pentingnya masalah internal SDM PT KAI dalam perubahan organisasi, setiap lini organisasi seharusnya memiliki kapasitas untuk beradaptasi pada perubahan lingkungan eksternal dengan cepat. Hal ini karena setiap organisasi memiliki lingkungan spesifik yang unik di mana di dalamnya ia beroperasi. Manajemen perubahan yang berhasil harus memiliki adaptasi yang cepat dan tepat terhadap karakteristik lingkungan tersebut. Sebuah lingkungan perusahaan terdiri atas lima dimensi yang mencakup nilainilai budaya dan sosial,kondisi politik dan hukum, lingkungan teknologi, lingkungan manusia, dan kondisi ekonomi. Ini yang membuat lingkungan organisasi kian menjadi tidak stabil, terkadang bergejolak. Penyebabnya, karena kegagalan para manajer beradaptasi pada perubahan lingkungan eksternal yang akhirnya mengarah pada kegagalan strategi manajemen perubahan yang dijalankan selama ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar