Kemenangan
Semu dalam Pembubaran BP Migas
Ichsanuddin Noorsy ; Ekonom
|
SINDO,
22 November 2012
Pada
13 November lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan atas tuntutan
uji materi UU Nomor 22/2001 tentang Migas. Putusan
yang ramai menjadi pemberitaan adalah seputar pembubaran BP Migas
danpembentukan Satuan Kerja Sementara Kegiatan Hulu Migas di bawah
Kementerian ESDM,sesuai dengan anjuran MK. Dalam putusan itu MK menerjemahkan
makna yang dimaksud dengan hak negara menguasai sumber daya. Menurut MK, hak
negara menguasai itu terdiri atas hak menerbitkan kebijakan, hak mengatur,
hak mengurus, mengelola, dan hak mengawasi.
Dilaksanakannya perjanjian kontrak kerja sama bagi hasil atau kontrak dalam bentuk lain oleh BP Migas mengakibatkan negara kehilangan kedaulatan atas sumber daya yang dikontrakkan bahkan negara kehilangan asas diskresi.MK menegaskan, negara berpotensi merugi secara konstitusional. Haryono, hakim MK yang berpandangan berbeda atas putusan itu, menyatakan, semestinya putusan ini memberikan ukuran yang jelas dan menegaskan kerugian konstitusional apa yang diderita pemohon. Saya sendiri yang berperan sebagai salah seorang saksi ahli atas gugatan itu hadir saat MK membacakan putusan. Menurut saya, putusan MK atas permohonan uji materi UU Nomor 22/2001 mempunyai tujuh hal terabaikan. Pertama, walau 42 pemohon tidak memasalahkan ada di mana posisi BP Migas dalam struktur kekuasaan negara, sepatutnya sebagai lembaga peradilan konstitusional MK melakukan pembahasan secara mendalam tentang hal ini. Saya memasalahkan keberadaan komisi-komisi dan berbagai badan yang dilahirkan UU sejak reformasi hingga kini, ketika Gubernur BI Syahril Sabirin dan Menkeu Boediono mendiskusikan rencana kelahiran OJK. Sementara hakim Haryono melihat keberadaan BP Migas boleh-boleh saja. Suatu badan pemerintahan lahir baik karena ditentukan oleh konstitusi (disebut dengan organik) maupun disebabkan perintah undang-undang (disebut dengan nonorganik). Organik atau tidak, badanbadan atau komisi-komisi itu seharusnya jelas dulu ada di mana keberadaannya dalam struktur atau skema organisasi kekuasaan negara. Tanpa kejelasan hal ini, kasusnya akan seperti KPK vs Polri dalam sengketa kewenangan menyidik dan menyelidik kasus korupsi simulator mengemudi dan pengadaan pelat nomor kendaraan. Kedua, MK membenarkan berlakunya persaingan usaha di sektor energi dengan merujuk UU Nomor 5/1999 tentangPersaingan UsahadanAnti-Monopoli. Padahal jiwa permohonan menguji materi UU Migas adalah penolakan atas kebijakan liberalisasi sektor energi. MK menegaskan, putusan tersebut tetap merujuk putusan 21 Desember 2004 yang menyatakan bahwa Pasal 28 ayat (2) berbunyi harga (energi migas) ditetapkan pemerintah. MK bahkan membenarkan dipisahnya sektor hulu dengan sektor hilir (unbundling) sebagai penerapan bahwa BUMN tidak memonopoli. Apakah pada komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak layak diperlakukan mekanisme persaingan bebas? Ketiga, implikasi lebih lanjut adalah MK membenarkan kehadiran BPH Migas sebagai badan yang mengatur hilir migas dalam prinsip persaingan usaha yang sehat dan wajar. Padahal, di balik istilah persaingan usaha yang sehat dan wajar itu berarti telah terjadi pertarungan modal, teknologi, dan kemampuan memperbesar skala ekonomi guna memperkuat daya penetrasi pasar. Semakin kecil skala ekonomi baik karena modal maupun karena tidak terintegrasi (unbundling), semakin lemah daya penetrasi pasar. Saya gamang kenapa MK tidak melihat hal ini. Keempat, dengan memberlakukan prinsip persaingan usaha yang basis berpikirnya the winner takes all, maka BUMN sebagai alat bagi pemerintah untuk memenuhi tugas memakmurkan rakyat sebesarbesarnya menjadi bersaing dengan korporasi swasta. Jika penguasa menerjemahkan pelaksanaan kemakmuran rakyat dari pengelolaan dan pengurusan sumber daya diperoleh melalui mekanisme pasar bebas, maka hal itu sah-sah saja. Memang UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal— yang pernah ditolak jiwa uji materinya oleh MK pada 2007—minim membuat daftar negatif investasi asing.Nyaris semua sektor diliberalkan kalau kita mempelajari Perpres Nomor 77/2007. Jika demikian pemikirannya, apakah ini berarti MK setuju bahwa kemakmuran rakyat yang sebesarbesarnya bisa dicapai melalui persaingan usaha dan dilaksanakan melalui modal asing dan teknologi impor yang sudah menguasai sumber daya migas Indonesia? Kelima, MK terfokus pada penerjemahan hak negara menguasai SDA dalam hubungannya dengan lembaga BP Migas sebagai BHMN sehingga putusannya lebih mengenai subyek hukum konstitusi ketimbang obyek hukum konstitusi. Sementara obyek hukum konstitusi yang dimohonkan adalah membatalkan UU Migas. Memang permohonan pembatalan UU Migas hanya alternatif dari tuntutan pembatalan pasalpasal yang mengatur soal BP Migas dan kontrak kerja sama. Tapi MK sangat perlu mendengar suara nurani rakyat yang menghendaki dikembalikannya kedaulatan energi. Keenam, MK juga merujuk pendapat Mohammad Hatta bahwa selama pemerintah belum mampu, modal asing dan teknologi dari luar bersifat kondisional dan sementara. Maka,persolannya adalah,apa dan bagaimana syarat-syarat itu ditentukan oleh pemerintah dan bagaimana jika dengan berbagai strategi tertentu ternyata sifat sementara itu menjadi berkepanjangan seperti yang dialami sekarang? Tentu saja MK tidak mungkin masuk ke hal-hal teknis.Namun,membiarkan hal ini berjalan berdasarkan asas diskresi justru melahirkan akibat kedaulatan energi nasional tergadai. Ketujuh, sebagai saksi ahli di MK untuk berbagai undang-undang yang diintervensi pihak asing, dalam kesaksian untuk UU Migas pun saya menyampaikan bukti-bukti intervensi. Buktibukti ini tentu saja bisa diverifikasiuntuk otentisitas,relevansi, dan keniscayaannya. Sayangnya, putusan pada 13 November ini pun MK tidak menyinggung intervensi itu. Padahal, pihak yang mendonasi untuk kajian dan terbitnya UU Migas itu mengakui peranannya. Begitu juga dengan perjanjian-perjanjian utang luar negeri yang mensyaratkan agar sektor energi diliberalkan dengan berbagai alasan. Dari tujuh hal terabaikan itu, saya melihat putusan MK atas uji materi UU Migas adalah kemenangan semu.Bahkan bisa dikatakan bahwa itu adalah keputusan setengah hati karena akar masalahnya tidak terselesaikan. Lalu, masih adakah harapan kita berharkat martabat atas kedaulatan energi yang sudah tergadaikan ini? Mudahmudahan, saya selalu percaya akan datangnya kebaikan dan kebenaran pada saatnya nanti. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar