Masih Adakah
Harapan?
S Sagala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Unpad
|
SINAR
HARAPAN, 31 Oktober 2012
Masih adakah harapan hidup di negeri ini? Bila ada, apa yang
masih bisa kita harapkan? Apa dasarnya kita berharap? Siapakah yang masih
bisa kita harapkan untuk memperbaiki negara ini? Berbagai peristiwa dan
realitas buruk di negeri ini dan fenomena jelek kita di luar negeri, membuat
kita sebagai bangsa nyaris putus asa alias bunuh diri.
Tak terhitung lagi jumlah aksi kekerasan
terhadap musuh yang dinilai berbeda dalam prinsip-prinsip kehidupan, terutama
agama, budaya, dan ras/suku bangsa.
Tragedi di Sampang, Madura, baru-baru ini
merupakan contoh teraktual. Perbedaan prinsip menimbulkan konflik, lalu ini
diselesaikan dengan main hakim sendiri. Biasanya yang—tampaknya—menang adalah
kelompok mayoritas. Jangan tanya, masih adakah Polri?
Dalam musim angkutan Lebaran baru-baru ini,
dalam tempo dua minggu saja, terjadi lebih 5.000 kecelakaan lalu lintas.
Hasilnya? Hampir 1.000 pemudik (sebagian besar pengguna sepeda motor) tewas
sia-sia, lebih 1.500 orang luka berat (mungkin sebagian akan cacat permanen),
dan lebih 5.000 orang luka ringan. Ini angka yang tercatat di kantor-kantor
Polri.
Kita tak tahu jumlah korban lalu lintas
yang tak terlaporkan ke kantor Polri. Angka korban lalu lintas selama musim
angkutan Lebaran tahun ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Bayangkan, andai kata jumlah korban yang
sangat besar itu terjadi gara-gara belasan pesawat terbang bertabrakan di
udara atau menabrak gunung-gunung dan gara-gara belasan kapal laut
bertabrakan lalu tenggelam.
Bayangkan, 5.000 orang tewas gara-gara flu
burung, misalnya. Selama berminggu-minggu tragedi itu pastilah menjadi berita
besar di semua negara dan pemerintah menyatakannya sebagai bencana nasional.
Lalu semua penduduk diperintahkan mengibarkan bendera hitam setengah tiang
selama dua minggu.
Oleh karena beribu-ribu orang itu tewas
secara cicilan setiap jam di berbagai tempat di jalan darat, terutama di
Pulau Jawa (umumnya mereka dari kelas bawah), maka pemerintah dan warga
masyarakat negeri ini tidak merasa terguncang keras dan berdukacita yang
mendalam. Tragedi demi tragedi di jalan raya dianggap sebagai hal yang
lumrah.
Memang ajal mereka itu telah tiba. Mereka
menganggapnya sebagai kehendak Allah. Jangan bertanya, masih adakah Polri dan
pemerintah (Kementerian dan Dinas Perhubungan)? Juga jangan tanya, ke mana
akal sehat para pemudik Lebaran tersebut?
Soal korupsi? Tiap hari kita dibuat muak
oleh berita-berita korupsi, terutama yang dilakukan oleh para pejabat yang
seharusnya memberantas korupsi.
Berita yang paling memuakkan kita pastilah
institusi negara penegak hukum (Polri) yang seharusnya memberantas korupsi,
justru sengaja melawan penegak hukum lainnya (Komisi Pemberantasan
Korupsi/KPK) untuk melindungi para pejabat tinggi Polri yang diduga korupsi
dalam proyek pengadaan simulator kemudi untuk ujian Surat Izin Mengemudi
senilai Rp 196,87 miliar. Jangan bertanya, di manakah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono?
Masih sangat hijau dalam ingatan kita
prestasi buruk para atlet Indonesia di Olimpiade London. Dengan biaya lebih
Rp 40 miliar, 22 atlet mewakili 240 juta penduduk republik ini, menempatkan
Indonesia di peringkat ke-63 (sama dengan Malaysia yang berpenduduk cuma 35
juta jiwa).
Hanya atlet angkat besi yang berhasil
meraih sekeping medali perak (oleh Triyatno) dan sekeping medali perunggu
(oleh Eko Yuli Irawan). Di Olimpiade Beijing (2008), Indonesia berada di
peringkat ke-42 berkat prestasi para atlet meraih satu medali emas, satu
medali perak, dan tiga medali perunggu.
Penderitaan Indonesia di Olimpiade London
disempurnakan oleh tindakan yang sangat memalukan (main sabun, sengaja
mengalah) pasangan bulu tangkis putri kita (Greysia Polii-Meiliana Jauhari)
sewaktu berhadapan dengan pasangan Korea Selatan, dengan alasan untuk
menghindari pasangan putri China (Wang Xiaoli-Yu Yang) di babak perempat
final.
Mungkin kita merasa sangat malu
memperbandingkan prestasi para atlet kita dengan prestasi para atlet Jamaika.
Negara sangat kecil, miskin (pendapatan per
kapitanya hanya US$ 4.750), dan berpenduduk kurang-lebih cuma 3 juta jiwa
itu, di Olimpiade London 2012 berhasil meraih empat medali emas, empat medali
perak, dan empat pula medali perunggu, sehingga mereka sanggup menduduki
peringkat ke-18.
Kita pun tak perlu bertanya apa dan mana
pertanggungjawaban Menteri Pemuda dan Olahraga serta para pejabat KOI, KONI,
dan persatuan cabang-cabang olahraga yang turut di Olimpiade London? Di
negeri ini tidak populer pertanggungjawaban para penanggung jawab.
Gara-gara ketamakan, bermiliar-miliar
rupiah jatah lebih 30 juta rakyat miskin telah dirampok oleh ribuan koruptor,
dari kelas teri hinga kelas hiu. Akibatnya, sepertiga atau sekitar 7,6 juta
anak di negeri ini tergolong kerdil (tinggi badan mereka di bawah ambang
batas normal yang terendah) (Koran Tempo, 15/8).
Kemiskinan
Akibat lainnya, meskipun telah 67 tahun
merdeka, ternyata lebih dari 30 juta (lebih dari 12 persen) penduduk
Indonesia masih miskin. Bila digunakan standar miskin buatan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), angka ini bisa lebih dua kali lipat.
Karena miskin, berjuta-juta anak buta
pengetahuan dasar, tak mampu bersekolah, terpaksa putus sekolah, dan tak
sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Karena miskin, mereka
tak bersekolah, sehingga mereka tetap bodoh.
Karena tak bersekolah, mereka tetap miskin,
bahkan semakin miskin dengan segala dampak buruk ikutannya. Ini lingkaran
setan yang tak pernah bisa dipatahkan oleh pemerintah. Bayangkan, sebuah
distrik yang memiliki 70
kampung di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, sama
sekali tidak memiliki sekolah dasar (Media Indonesia, 19/7).
Gara-gara kerakusan para koruptor,
Indonesia berada di peringkat kelima dunia dalam hal gizi buruk. Pada 2030,
sebagian besar penduduk negeri ini berusia produktif (20-55 tahun). Ini
disebut masa emas demografi yang biasanya terjadi hanya sekali dalam usia
sebuah bangsa.
Akan tetapi bagaimana mungkin mereka kelak
bisa sangat produktif (mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita) bila sewaktu
dalam rahim ibu hingga anak berusia di bawah lima tahun (balita) menderita
gizi buruk? Mungkinkah mereka yang sangat kekurangan gizi menjadi mesin
penggerak perekonomian nasional?
Di antara 23 juta penduduk berusia Balita
Indonesia terdapat delapan juta (35 persen) menderita gizi buruk kategori stunting (hampir separuh anak
berumur balita memiliki badan lebih pendek daripada standar tinggi badan anak
Balita seusia mereka alias ukuran badan normal anak balita).
Dari 23 juta anak berumur balita itu,
terdapat 900.000 bayi (3,91 persen) menderita gizi buruk. Tingkat kecerdasan
anak yang menderita gizi buruk berada 13-15 angka di bawah angka kecerdasan
normal ketika mereka memasuki usia sekolah (berumur sekitar enam tahun). Di
semua provinsi (33), sebanyak 10.000 ibu meninggal saat melahirkan setiap
tahun.
Sebanyak 150.000 anak berumur balita
meninggal pula setiap tahun. Sebanyak 5.000-10.000 kelahiran bayi di Tanah
Air per tahun menderita gangguan pendengaran gara-gara rendahnya pengetahuan
ibu tentang gizi (selama hamil mereka tak mengonsumsi makanan bergizi bagus).
Kemampuan membaca dan matematika anak yang
mengalami gangguan pendengaran lebih rendah 1-4 kelas dibandingkan dengan
anak berpendengaran normal. Akibatnya, tingkat kepandaian mereka pun mentok
di kelas 3-4 sekolah dasar (Tempo, 22 Juli 2012).
Sudah lama terbukti bahwa orang-orang bodoh
selalu menjadi makakan lezat orang-orang pintar. Orang-orang lemah senantiasa
menjadi korban eksploitasi orang-orang kuat.Orang-orang miskin menjadi
santapan orang-orang kaya.
Simaklah data ini. Dari kurang-lebih 230
juta penduduk negeri ini, 146 juta (63 persen) di antaranya tergolong perokok
aktif. Sebanyak 84,8 persen perokok aktif di negeri ini tergolong miskin atau
sangat miskin (berpenghasilan kurang dari Rp 20.000 per hari).
Sebanyak 429.948 kematian yang berkaitan
dengan rokok terjadi tiap tahun di Indonesia atau 1.172 perokok meninggal
setiap hari. Tak kurang dari Rp 1,5 triliun diraup oleh 10 perusahaan
televisi, 165 majalah, dan 103 koran dari iklan rokok.
Fakta lainnya: sebanyak 91,7 persen anak
berusia 13-15 tahun mulai merokok akibat pengaruh iklan rokok. Hampir semua
(99,7 persen) anak Indonesia pernah/sering sekali melihat iklan rokok di
layar televisi, dan 68 persen di antara mereka berkesan positif terhadap
rokok. Sebanyak 71 persen keluarga Indonesia memiliki satu perokok di dalam
setiap keluarga.
Sebesar 12,43 persen pengeluaran orang
Indonesia tersedot untuk belanja rokok. Bagi mereka merokok enam kali lipat
lebih penting daripada untuk keperluan pendidikan dan kesehatan. Sebanyak 66
perokok pasif di Indonesia adalah perempuan, padahal umumnya perempuan kawin
dan melahirkan anak (Tempo, 3 Juni 2012). Tak tersangkal, ini jelas merupakan
ancaman besar bagi masa depan Indonesia.
Kini Indonesia berada di peringkat ketiga
dunia dalam hal pemasaran narkoba. Negeri ini menjadi pasar subur, besar, dan
empuk bagi para pedagang narkoba internasional, padahal harganya naik puluhan
kali lipat dari negara asalnya.
Sebanyak 3,8 juta (2,2 persen) penduduk
negeri ini, sebagian di antaranya masih anak (di bawah 18 tahun), mengonsumsi
narkoba. Sebanyak 5,1 juta penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi
narkoba tahun ini.
Pada periode Januari-November 2011 saja,
tak kurang dari Rp 28 miliar dibelanjakan untuk narkoba. Sebanyak 90 persen
risiko penularan HIV dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik.
Pada 1997, tindak pidana narkoba di
Indonesia baru 602 kasus, sedangkan tahun lalu melonjak 4.000 persen menjadi
26.500 kasus. Sebanyak 52-75 persen penghuni penjara di Aceh terpidana
narkoba, sebagian di antaranya anak-anak (Tempo, 8 Juli 2012). Tak dapat
disangkal, ini merupakan ancaman besar bagi bangsa dan negara kita.
Kita kembali ke pertanyaan-pertanyaan di
awal tulisan ini. Masih adakah harapan hidup di negeri ini? Bila ada, apa
yang masih bisa kita harapkan? Apa dasarnya kita berharap? Siapakah yang
masih bisa kita harapkan untuk memperbaiki negara ini?
Jawabnya: kita (warga masyarakat) sendiri.
Jangan pernah berharap kepada pemerintah pusat dan daerah, DPR dan DPRD,
Parpol-parpol, para politikus, para rohaniwan, para aktivis LSM, serta
lainnya! SDM (selamatkan diri masing-masing) dengan bekerja keras, gigih,
dengan mengandalkan pertolongan Tuhan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar