Presiden Kaum
Muda 2014
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 30 Oktober 2012
Dengan semakin
dekatnya pemilu 2014, masalah kepemimpinan Republik semakin gencar
diwacanakan. Beriringan dengan itu, wacana tentang perlu tampilnya kaum muda
untuk memimpin Republik digelontorkan, bahkan kerap berubah menjadi desakan.
Bahwa
tampilnya “kaum muda”, mewakili Zeitgeist (jiwa zaman), baru telah memiliki
titik urgensi untuk memimpin Republik ini. Mengingat dunia baru-zaman baru
dengan kompleksitas baru niscaya membutuhkan pengalaman baru dan harapan baru
dengan terobosan-terobosan baru.
Wacana tentang
perlu tampilnya kaum muda ini juga dilatarbelakangi oleh situasi politik di
seputar pemilu di era modern yang senantiasa berlangsung dalam jiwa zaman
baru, di mana di dalamnya selalu ada aneka perubahan radikal dan transformasi
besar dan memengaruhi iklim politik.
Zeitgeist baru
ini diwarnai perkembangan abad teknologi-digital, masyarakat jaringan sosial
dan teknologi, virtualitas politik, dan arus percepatan tempo kehidupan yang
terus berubah, yang membutuhkan derap langkah budaya politik, ekonomi, dan
hukum baru.
Pro-Kontra
Setiap kali
muncul wacana tentang perlu tampilnya pemimpin Republik dari kalangan kaum
muda, selalu muncul pula selentingan pro dan kontra.
Dari kalangan
kaum tua, misalnya, jika ditanya, apakah perlu Republik ini dipimpin kaum
muda, jawaban yang diperoleh umumnya berupa sindiran bahwa kaum muda belum
saatnya tampil memimpin Republik ini. Alasan klise dan standar bahwa kaum
muda belum berpengalaman dalam pemerintahan.
Sebaliknya,
jika pertanyaan yang sama diajukan kepada kaum muda, umumnya jawaban yang
diperoleh adalah bahwa pengalaman merupakan sesuatu yang relatif. Pengalaman
tidak mungkin diperoleh jika tidak pernah diberikan kesempatan untuk memimpin
dan menimba pengalaman.
Lagi pula,
dalam memimpin parpol saja kaum muda jarang sekali diberi kesempatan untuk
memimpin. Jika dicermati, Republik ini pun didirikan oleh para tokoh yang
sebagian besar relatif masih muda usia. Bung Karno diangkat menjadi presiden
pada usia 46 tahun. Bung Hatta diangkat menjadi wakil presiden saat masih
berusia 43 tahun. Pak Harto juga menjadi presiden berusia 44 tahun.
Pertanyaan
kita adalah kenapa kaum muda diharapkan tampil memimpin Republik? Jawabannya,
kalau pun kepemimpinan Republik pasca-2014 akan kembali ditampilkan kaum tua,
apalagi seperti yang sudah muncul ke permukaan: Megawati, Jusuf Kalla,
Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie, jelas kemampuan mereka tidak akan berbeda
dengan kondisi sekarang.
Arah
perjalanan bangsa ini pun sudah bisa ditebak mau dibawa ke mana. Perubahan
bangsa yang diharapkan pun dapat diyakini tidak dapat berjalan semestinya dan
secara signifikan sesuai dengan harapan publik.
Persoalannya,
hakikat dasar kekuasaan itu begitu nikmat dan menggiurkan—seperti kata filsuf
Friederich Nietzsche—sehingga selalu menggoda siapa pun untuk mengejar,
meraih, dan merengkuhnya.
Mereka yang
sudah berkuasa pun bisa lupa diri untuk terus berkuasa alias tidak mau turun
dari kekuasaannya. Itu bisa kita lihat betapa sulitnya Bung Karno dan Pak
Harto turun dari kursi kekuasaan, lantaran begitu menikmatinya.
Lalu, apakah
dengan demikian kaum tua rela membiarkan kursi kekuasaan itu direbut dan
digenggam oleh kaum muda? Dari perspektif itu, tentu saja kekuasaan itu tidak
akan diizinkan oleh kaum tua untuk diperebutkan dan digenggam kaum muda.
Jika kaum muda
ingin mendapatkan kursi kekuasaan sebagai pemimpin Republik, itu harus
diperjuangkannya, bukan mengharapkan diberikan begitu saja apalagi sebagai
hadiah. Ingat, sejarah kekuasaan juga mengisahkan bahwa kekuasaan itu hadir
karena diperebutkan, baik secara halus lewat pemilu yang demokratis, maupun
lewat revolusi yang berdarah-darah.
Dalam situasi
politik bangsa yang berjalan normal seperti sekarang ini, kita tentu tidak
membutuhkan jalan revolusi untuk menemukan hadirnya seorang pemimpin yang
dapat menggerakkan roda pergerakan bangsa.
Lagi pula,
perebutan kekuasaan lewat jalan kekerasan atau jalan revolusi, bukan zamannya
lagi. Ini karena jalan tersebut cermin bebalisme dan barbarisme dan kepicikan
alias irasionalitas. Maka, yang dibutuhkan adalah rekayasa politik demokratik
yang memungkinkan dapat tampilnya pemimpin dari kalangan kaum muda.
Misalnya, parpol
harus membuka peluang bagi tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik.
Parpol harus menciptakan regenerasi kepemimpinan kebangsaan yang baik.
Mengapa
parpol? Karena regulasi konstitusi UUD 1945 Pasal 6A Ayat 2, “Pasangan calon
presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Hingga kini belum ada amendemen (atau judicial review) di Mahkamah Konstitusi
agar calon independen dapat bertarung di jalan perebutan kekuasaan pemimpin
Republik.
Dengan
pemberian peluang seperti itu, rakyat diberi kesempatan memilih pemimpin dari
kaum nama pun, bukannya dipaksa atau diarahkan hanya untuk memilih kaum tua.
Pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk tampil memimpin Republik oleh
parpol tidak lain sebagai bentuk kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan
parpol.
Ingat, sulit
tampilnya kaum muda di pentas kepemimpinan nasional karena kegagalan parpol
dalam melakukan kaderisasi. Kegagalan parpol itu karena tradisi kepartaian di
Indonesia masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional.
Tradisi tersebut memang lekat dengan kuatnya politik figur dan minimnya upaya
mentransformasikan politik figur.
Peluang Kaum Muda
Karena
kekuasaan itu harus “diperjuangkan” alias “diperebutkan” maka kaum muda harus
memperjuangkannya untuk mendapatkannya. Karena perebutan kekuasaan itu ibarat
menghadapi tembok tebal, usaha pertama adalah merobohkan tembol tebal itu.
Kalau lewat
parpol, kaum muda harus berjuang agar kebiasaan mendahulukan ketua umum
menjadi capres yang umumnya dari kaum tua harus dihilangkan. Kaum muda harus
membangun citra politik dalam parpol agar mereka dapat mengajukan dirinya
untuk menjadi capres.
Kedua, jika
halangannya di dalam konstitusi, perjuangan kaum muda adalah mendesak agar
segera diamendemen konstitusi agar calon independen dapat diberikan
kesempatan untuk bertarung.
Karena itu,
kaum muda pun bebas mencalonkan diri lewat jalur independen. Sayang bahwa ini
tidak mungkin dilakukan sekarang ini, alias pintu sudah tertutup bagi calon
independen mengingat pemilu 2014 sudah tidak lama lagi.
Jika itu tidak
diperjuangkan, kita akan kembali menghadapi masalah yang sama setiap kali
ketika mewacanakan tentang perlu tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik.
Untuk
menggapai harapan itu, wacana tentang perlu tampilnya kaum muda ini perlu
terus-menerus digelontorkan, dan ditambah sejumlah langkah progresif yang
dibangun kaum muda sendiri, dengan dukungan agenda-agenda yang visioner demi
menarik simpatik publik untuk ikut berjuang menempatkan kaum muda di garis
terdepan kepemimpinan Republik.
Tentu saja
peran pers menjadi sangat penting dibutuhkan untuk mendorong lahirnya
pemimpin-pemimpin dari kaum muda. Karena zaman baru dengan Zeitgeist yang
terus berubah cepat, kita sangat membutuhkan pemimpin yang lebih “terbuka”,
“lentur”, “dinamis”, “adaptif”, “lincah”, dan “kreatif”, yang memang lebih
menjadi sifat dasar dan jiwa kaum muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar