Kamis, 01 November 2012

Upeti BUMN


Upeti BUMN
Naldy Nazar Haroen ;  Ketua BUMN Watch
SUARA KARYA, 30 Oktober 2012

  
Isu upeti BUMN yang belakangan ramai menghiasi pemberitaan mengingatkan kita kepada zaman kolonial Belanda: penjajah menarik pungutan atau mengutip cukai atas sesuatu dari rakyat. Tentu, upeti BUMN lain lagi. Itu adalah pungutan yang dilakukan oleh penguasa atau elite eksekutif dan legislatif. Itu pula yang membuat BUMN selama ini dikenal sebagai sapi perahan elite eksekutif dan legislatif untuk kepentingan mereka sendiri.
Nah, isu upeti BUMN yang dilontarkan Menteri BUMN harus dibuktikan. Isu itu harus didukung fakta atau barang bukti. Menteri BUMN harus berani membuktikan dan mengungkapkan bahwa memang telah terjadi praktik kotor yang menyebabkan BUMN menjadi sapi perahan elite politik.
Menteri BUMN patut diacungi jempol karena berani bicara, sehingga isu upeti BUMN terbuka lebar-lebar kepada publik. Kita katakan berani karena apabila nanti isu itu tidak bisa dibuktikan, Menteri BUMN berisiko menghadapi tuduhan melakukan pencemaran nama baik terhadap elite politik tertentu.
Secara lisan memang mudah dikatakan bahwa BUMN harus setor upeti, mengalami korupsi, dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa itu tidak mudah dibuktikan. Korupsi dapat dikatakan terjadi apabila terbukti keuangan negara dirugikan. Padahal banyak laporan kepada KPK soal indikasi korupsi di sejumlah BUMN, setelah ditindaklanjuti, ternyata tidak terbukti.
Itu berarti, mereka yang diduga terlibat dalam praktik upeti BUMN--penyetor ataupun penerima--tidak mudah dilacak sekaligus tidak mudah pula bisa dijerat hukum. Itu karena dalam pemeriksaan bisa saja disebutkan bahwa kerugian yang tertoreh dalam laporan keuangan BUMN lebih karena kegiatan operasional.
Sementara itu, Menteri BUMN sendiri merupakan jabatan politis. Itu membuat sejumlah kepentingan niscaya melekat. Karena itu, BUMN seharusnya bukan diurus oleh sebuah kementerian, melainkan dikelola oleh sebuah holding alias induk perusahaan. Dengan demikian, BUMN tidak lagi menjadi sapi perahan kalangan elite eksekutif maupun legislatif atas nama kepentingan mereka.
Dengan wadah pengelolaan berbentuk holding, siapa pun yang menjadi pimpinan unit usaha BUMN niscaya berani menolak tekanan kepentingan pihak lain. Dia berani menolak karena dia harus bertanggung jawab secara profesional. Jadi, dengan dikelola holding, tidak ada kepentingan yang berani mengintervensi BUMN. Di bawah holding, tuntutan terhadap BUMN begitu jelas: harus profesional dan berorientasi kepada keuntungan.
Gambaran seperti itu sudah dilakukan Malaysia dan Singapura. BUMN di kedua negeri itu dikelola holding yang benar-benar profesional dan sama sekali tidak bisa direcoki oleh elite kekuasaan sekalipun.
Kita sendiri pernah mewacanakan pembentukan holding BUMN. Tetapi, entah mengapa, wacana itu kemudian menguap begitu saja. Akibatnya, BUMN tetap dikelola oleh seorang menteri, bukan oleh presiden direktur.
Soal holding BUMN sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah. Tanpa keinginan politik mengubah paradigma pengelolaan BUMN menjadi benar-benar profesional dan murni berorientasi kepada keuntungan, BUMN niscaya senantiasa menjadi sapi perahan kalangan elite. Artinya, disukai ataupun tidak, terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, praktik BUMN setor upeti terus saja berlangsung. Terlebih lagi praktik itu acap merupakan simbiosis-mutualis antara pihak BUMN dan elite eksekutif ataupun legislatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar