Upeti BUMN
Naldy Nazar Haroen ; Ketua BUMN Watch
|
SUARA
KARYA, 30 Oktober 2012
Isu
upeti BUMN yang belakangan ramai menghiasi pemberitaan mengingatkan kita
kepada zaman kolonial Belanda: penjajah menarik pungutan atau mengutip cukai
atas sesuatu dari rakyat. Tentu, upeti BUMN lain lagi. Itu adalah pungutan
yang dilakukan oleh penguasa atau elite eksekutif dan legislatif. Itu pula
yang membuat BUMN selama ini dikenal sebagai sapi perahan elite eksekutif dan
legislatif untuk kepentingan mereka sendiri.
Nah,
isu upeti BUMN yang dilontarkan Menteri BUMN harus dibuktikan. Isu itu harus
didukung fakta atau barang bukti. Menteri BUMN harus berani membuktikan dan
mengungkapkan bahwa memang telah terjadi praktik kotor yang menyebabkan BUMN
menjadi sapi perahan elite politik.
Menteri
BUMN patut diacungi jempol karena berani bicara, sehingga isu upeti BUMN
terbuka lebar-lebar kepada publik. Kita katakan berani karena apabila nanti
isu itu tidak bisa dibuktikan, Menteri BUMN berisiko menghadapi tuduhan
melakukan pencemaran nama baik terhadap elite politik tertentu.
Secara
lisan memang mudah dikatakan bahwa BUMN harus setor upeti, mengalami korupsi,
dan sebagainya. Namun perlu diingat bahwa itu tidak mudah dibuktikan. Korupsi
dapat dikatakan terjadi apabila terbukti keuangan negara dirugikan. Padahal
banyak laporan kepada KPK soal indikasi korupsi di sejumlah BUMN, setelah
ditindaklanjuti, ternyata tidak terbukti.
Itu
berarti, mereka yang diduga terlibat dalam praktik upeti BUMN--penyetor
ataupun penerima--tidak mudah dilacak sekaligus tidak mudah pula bisa dijerat
hukum. Itu karena dalam pemeriksaan bisa saja disebutkan bahwa kerugian yang
tertoreh dalam laporan keuangan BUMN lebih karena kegiatan operasional.
Sementara
itu, Menteri BUMN sendiri merupakan jabatan politis. Itu membuat sejumlah
kepentingan niscaya melekat. Karena itu, BUMN seharusnya bukan diurus oleh
sebuah kementerian, melainkan dikelola oleh sebuah holding alias induk
perusahaan. Dengan demikian, BUMN tidak lagi menjadi sapi perahan kalangan
elite eksekutif maupun legislatif atas nama kepentingan mereka.
Dengan
wadah pengelolaan berbentuk holding, siapa pun yang menjadi pimpinan unit
usaha BUMN niscaya berani menolak tekanan kepentingan pihak lain. Dia berani
menolak karena dia harus bertanggung jawab secara profesional. Jadi, dengan
dikelola holding, tidak ada kepentingan yang berani mengintervensi BUMN. Di
bawah holding, tuntutan terhadap BUMN begitu jelas: harus profesional dan
berorientasi kepada keuntungan.
Gambaran
seperti itu sudah dilakukan Malaysia dan Singapura. BUMN di kedua negeri itu
dikelola holding yang benar-benar profesional dan sama sekali tidak bisa
direcoki oleh elite kekuasaan sekalipun.
Kita
sendiri pernah mewacanakan pembentukan holding BUMN. Tetapi, entah mengapa,
wacana itu kemudian menguap begitu saja. Akibatnya, BUMN tetap dikelola oleh
seorang menteri, bukan oleh presiden direktur.
Soal holding BUMN sangat bergantung pada kemauan politik
pemerintah. Tanpa keinginan politik mengubah paradigma pengelolaan BUMN
menjadi benar-benar profesional dan murni berorientasi kepada keuntungan,
BUMN niscaya senantiasa menjadi sapi perahan kalangan elite. Artinya, disukai
ataupun tidak, terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, praktik BUMN setor
upeti terus saja berlangsung. Terlebih lagi praktik itu acap merupakan
simbiosis-mutualis antara pihak BUMN dan elite eksekutif ataupun legislatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar