Demokrasi Semu dan Perahu Retak Indonesia
Milto Seran, Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero, Flores, NTT
MEDIA
INDONESIA, 03 November 2012
DI tengah krisis finansial
yang melanda dunia, para ekonom dan pelaku bisnis berbicara tentang laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai negara yang sanggup menghadapi terjangan
krisis global, Indonesia mendapat perhatian dunia internasional. Yukitoshi
Funo, Executive Vice President pada
TMC (Toyota Motor Corporation), misalnya, menilai Indonesia terus bertumbuh secara
signifi kan dalam bidang ekonomi. Funo memandang Indonesia sebagai negara
penting bagi TMC. “Di Indonesia, target penjualan satu juta unit mobil per
tahun terasa belum cukup,” tegas Funo (Media Indonesia, 19/9).
Selain Yukitoshi Funo, terdapat Christine Lagarde. Direktur
Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) itu berpesan agar tak perlu ada yang
menepuk dada di Indonesia. Tinjauan IMF atas ekonomi Indonesia menunjukkan
ekonomi negara ini solid. Kebijakan fiskalnya penuh perhatian sehingga keuangan
publik terkendali. Lagarde, antara lain, menyebutkan agar ekonomi Indonesia
bertumbuh secara berkesinambungan dan lapangan pekerjaan terus tercipta (MI,
25/8).
Beberapa hari lalu, MI pun menurunkan berita tentang ekonomi
Indonesia di ta ngan SBY–Boediono selama tiga tahun belakangan. Data BPS,
misalnya, menunjukkan pada 2009 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih 4,5%.
Namun, pada 2011 itu melesat menjadi 6,5%. Secara statistik, angka kemiskinan
pun terus berkurang. Pada 2010, tingkat kemiskinan mencapai 13,33%. Namun, pada
Maret 2012 berkurang menjadi 11,69% atau 29,13 juta jiwa (MI, 22/10). Secara
akal sehat, data itu menghembuskan kegembiraan bagi publik Indonesia.
Demokrasi Semu
Ekonomi Indonesia memang cemerlang.
Akan tetapi, hukum Indonesia melorot. Jika benar saat ini sedang disetir kaum
oligarki, Indonesia berpotensi tercebur dalam ‘demokrasi semu’. Rusia merupakan
sebuah contoh. Pada 2000, bekas Soviet itu mengalami krisis politik. Kaum
oligarki Rusia saat itu mendapatkan kekayaan dengan kecurangankecurangan. Para
gubernur daerah sering merupakan para bos
lokal yang dengan nafsu besar melakukan korupsi. Seorang oligarki minor dengan reputasi
bersih akhirnya buka mulut. Ia menuturkan,
“Semua telah melanggar hukum atau yang lainnya. Anda tidak bisa melakukan
bisnis di Rusia tanpa melanggar hukum. Putin mengetahui hal itu. Jadi mengatakan
ia menegakkan hukum adalah omong kosong belaka. Ia secara selektif
menggunakannya (hukum) untuk tujuan-tujuan politik (Fareed Zakaria: 2004,
106-107).”
Wajah politik Indonesia
tampak tak jauh berbeda dari Rusia di 2000. Dalam penegakan hukum, Indonesia
terlihat belum cukup terbuka dan tulus mengabdi kebenaran. Tiap lembaga publik
masih memelihara klaim kebenaran sendiri-sendiri. Perseteruan antara Polri dan
KPK atau DPR dan KPK, beberapa waktu lalu, merupakan fakta yang tak diragukan
lagi.
Situasi konflik seperti itu pada saatnya turut membidani lahirnya
bentuk-bentuk ketidakadilan dalam penegakan hukum. Pejabat publik yang terjerat
hukum bisa bebas berkeliaran atau malah dipromosikan menjadi pejabat tinggi.
‘Omong kosong’ dalam ranah hukum akhirnya hal itu tampak terang saat praktik
vonis ringan atau malah vonis bebas. Jika hal itu dilegitimasi para petinggi
Republik ini, sadar atau tidak, hukum bakal kehilangan supremasi. Atau,
kalaupun ada legitimasi hukum, jangan-jangan legitimasi itu sebatas kekuasaan
yang didesain untuk mengaburkan apa yang sebenarnya merupakan pelanggaran.
Perahu Retak
Karena itu, tatkala menyaksikan praktik
penegakan hukum di Indonesia, saya teringat nyanyian (mendiang) Franky Sahilatua.
Kata dia, “Perahu negeriku jangan retak dindingmu.” Tapi kita tahu,
‘perahu negeri’ kita sedang retak, bahkan tingkat keretakannya makin parah.
Tiga masalah kunci yang menyumbang ‘keretakan’ itu ialah korupsi, terorisme, dan narkotik. Ketiga
problem tersebut ibarat trisula yang dilemparkan orang-orang tak dikenal,
tangan-tangan tersembunyi yang tak bertanggung jawab.
Celakanya, ketika problemproblem itu kian runyam, hukum Indonesia
dibikin tak bertaring. Padahal, aksi teroris, misalnya, sudah jelas-jelas
menyerang keamanan bangsa secara tragis. Selain rakyat jelata, mereka bahkan
menyerang dan mematikan aparat negara yang dilengkapi senjata seperti polisi.
Nah, pertanyaannya ialah mengapa ketika teroris tertangkap, kita masih
berdiskusi tentang hukuman dan kemanusiaan? Apakah kejahatan teroris masih
dapat diterima menurut rasionalitas kemanusiaan dan hukum? Kalau aksi-aksi
teroris ditempatkan dalam perspektif kemanusiaan, sesungguhnya tak ada alasan
untuk berdiskusi. Lebih dari musuh bangsa, terorisme sudah merupakan musuh
kemanusiaan.
Demikian halnya permasalahan narkotik dan korupsi. Bangsa ini
membutuhkan legitimasi hukum yang lebih pasti dan tegas mengenai peradilan
pengedar narkotik dan para koruptor. Tanpa legitimasi yang adekuat,
penyelesaian kasus-kasus tersebut terkesan `jalan di tempat'. Tak ada langkah
maju. Dengan demikian, jika salah, katakan salah. Secara moral, kasus
pengedaran narkotik, terorisme, dan korupsi merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Membiarkan kasus-kasus itu terus menggerogoti bangsa sama artinya
dengan menciptakan peluang bagi kejahatan terhadap umat manusia. Pasalnya,
teroris, pengedar teroris, pengeda narkotik, dan koruptor merupakan musuh
kolektif-global, bukan urusan eksklusif-lokal sebuah negara.
Butuh Sumpah
Dapat dipastikan, persoalan-persoalan klasik yang ruwet itu sudah
tak asing lagi bagi generasi muda. Masalahmasalah tersebut seharusnya
menginspirasi pemuda-pelajar untuk bersikap secara proporsional. Beberapa hari
belakangan kita membaca dan menyaksikan berita-berita tentang tawuran di kalangan
pelajar dan mahasiswa. Ada pula berbagai aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh.
Wajah bangsa kita kian tercoreng oleh aksi-aksi tersebut. Sambil
mempertimbangkan peran sentral generasi muda sebagai penerus bangsa serta
memperhi tungkan persoalan terorisme, narkotik, dan korupsi sebagai musuh
kolektif, `sumpah' dibutuhkan di sini. Tentu `sumpah' bukan sekadar janji. Ada
pesi misme bahwa janji dapat diobral secara murah meriah. Sudah banyak pejabat
publik mendahului karier dengan janji-janji atau sumpah jabatan, tetapi sering
janji atau sumpah itu tak lebih dari ‘omong kosong’ politik.
Atas alasan itu, ketika bangsa ini hendak merefleksikan peristiwa
Sumpah Pemuda yang berlangsung 84 tahun silam, para pemangku kepentingan di
lembaga-lembaga pendidikan (menengah dan tinggi) perlu menggagas ‘sumpah’,
janji yang dibangun di atas komitmen tulus untuk memerangi terorisme, narkotik,
dan korupsi. Niat yang tulus untuk memberantas ketiga persoalan itu tak bisa
dibina dengan pendekatan-pendekatan yang tak lepas dari muatanmuatan politis.
Komitmen itu mesti dibentuk secara dini melalui pendidikan karakter.
Akan tetapi, idealisme itu hanya mungkin terwujud jika arah
pendidikan kita mampu menciptakan ruang bagi peserta didik untuk berpikir
kritis terhadap diri sendiri, sesama, dan lingkungan sosialnya. Cita-cita itu
tak boleh kandas, misalnya oleh kultur klasik ‘asal bapak senang’ (ABS).
Jika budaya ABS masih terpelihara dengan baik di lembaga-lembaga
pendidikan kita, pendidikan nasional bakal menjadi ‘pabrik bayangan’ yang hanya
memproduksi figur-figur yang mudah terseret arus lantaran mereka tak punya
kendali hidup bernama ‘sikap kritis’. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar