Desentralisasi
dan Wacana Etnisitas
M Romandhon MK ; Peneliti Central for Civilization and Cultural
Studies,
Fakultas Adab dan Ilmu
Budaya, UIN Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 03 November 2012
Jauh sebelum megaproyek desentralisasi digerakkan setelah 1999
atau yang biasa disebut dengan istilah reformasi, gagasan besar tentang
desentralisasi telah berlangsung puluhan tahun lamanya dalam sejarah
perjalanan Indonesia.
Sebelum kemerdekaan lahir, era pemerintahan
kolonial Belanda telah mengangkat isu tentang disentralisasi sebagai salah
satu pemecahan masalah di Indonesia. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van
Klinken (1998) menjelaskan bagaimana dinamika perjalanan wacana desentralisasi
telah mewarnai dinamika sejarah politik elite lokal di Indonesia.
Perjalanan Desentralisasi
Tahun 1903 wacana desentralisasi telah
digarap, di mana para elite urban Eropa di Hindia-Belanda misalnya, diberi
pemerintahan sendiri. Meski dalam praksisnya dalam undang-undang tersebut
sama sekali tak menyinggung masalah yang berkaitan tentang nilai-nilai
otonomi. Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya gagasan desentralisasi
terus dikembangkan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dari situlah kemudian lahir UU
desentralisasi tahun 1922 yang menciptkan provinsi-provinsi baru. Pada dekade
ini, setiap wilayah sudah mempunyai otonomi administratif yang lumayan besar.
Proses pemberdayaan provinsi yang
selanjutnya berkembang menjadi keresidenan menunjukkan bagaimana gagasan
tentang desentralisasi di Indonesia pra-kemerdekaan bersemai, meskipun tak
pro terhadap kepentingan orang-orang pribumi.
Sebagai contoh, di Jawa apa yang disebut
tentang politik etis atau pembebasan dari perwalian merupakan bentuk nyata
tentang gerakan desentralisasi. Selanjutnya terbentuklah para dewan-dewan di
masing-masing kabupaten dan menjelma menjadi wahana baru bagi permainan para
elite-elite lokal.
Lagi-lagi proses desentralisasi ini sengaja
dibangun untuk meng-counter atau menangkal gerakan-gerakan nasionalisme
pribumi. Ini artinya desentralisasi didirikan bukan dijadikan sebagai alat
untuk memajukan masyarakat, melainkan sebagai strategi untuk mengempaskan
gerakan propaganda grassroots (masyarakat akar rumput).
Selama revolusi Indonesia, pemerintahan
Belanda mendorong terbentuknya pemerintahan regional oleh bangsawan-bangsawan
lokal, tujuannya untuk menandingi para nasionalis revolusioner.
Sejarah perjalanan gagasan desentralisasi
tidak hanya selesai di situ. Usaha untuk melepaskan diri dari bayang-bayang
pascakolonial telah melahirkan gagasan baru yang terejawantahkan melalui
Undang-undang No 1/1957 tentang Desentralisasi Provinsi dan Daerah.
Berangkat dari perangkat UU No 1/1957
itulah terjadi peningkatan jumlah provinsi dari sebelum 1950 hanya 12
provinsi, lalu meningkat menjadi 20 provinsi pada 1958.
Hal ini sesuai dengan keterangan Henk
Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dalam pendahuluan buku berjudul
Politik Lokal di Indonesia. Selanjutnya UU Tahun 1974 disempurnakan dengan UU
No 5/1979 mengenai pemerintahan desa yang menyeragamkan pemerintahan desa di
seluruh Indonesia.
Dengan demikian, semakin tampak nyata
cengkeraman tentang paradigma sentralis. Puncaknya lahir struktur negara
paralel yang dikomandani langsung oleh militer. Hal ini terbukti pada 1970,
sebanyak 20 dari 26 gubernur provinsi diisi oleh militer. Demikianlah sejarah
panjang perjalanan tentang gagasan desentralisasi di Indonesia sebelum
reformasi bergulir yang terkesan sangat semu.
Masyarakat Lokal dan Etnisitas
Mengacu pada penjelasan di atas, pada
dasarnya desentralisasi hanya berubah dalam bentuk bungkusnya saja, tetapi
muatan dan kandungan di dalamnya tetap mengacu pada model sentralistis. Ini
artinya desentralisasi sebelum era reformasi hanya sebatas legal formal, tapi
dalam pelaksanaannya penuh intervensi dan dikotomi.
Meskipun dalam perkembangannya,
desentralisasi di era Orde Baru membawa harapan baru tentang nation building, tapi tetap saja
desentralisasi di era Orde Baru tak mampu menjawab tantangan di masyarakat
sipil.
Inilah salah satu poin penting yang
membedakan antara gagasan desentralisasi pra dan pasca-Orde Baru. Di mana
kampanye tentang pemerataan justru tak diimbangi dengan penguatan di tataran
masyarakat sipil. Hal ini cenderung membentuk satu sentral koloni yang
akhirnya justru hanya akan melahirkan otoritarianisme.
Hal ini kemudian berbanding terbalik dengan
era pasca-Orde Baru, di mana telah terjadi desentralisasi besar-besaran.
Otonomi daerah sepenuhnya dipegang oleh masing-masing kabupaten. Perbedaan
paling mencolok adalah nilai-nilai sentralis terpangkas.
Namun demikian, ini justru melahirkan
kecemasan-kecemasan. Dengan diberlakukannya desentralisasi melalui sistem
otonomi daerah telah menghasilkan produk baru berupa sensitivitas etnis serta
keleluasan para elite lokal yang kian sulit terkontrol. Hasilnya, berbagai
praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) menjamur di kalangan elite
lokal.
Penulis menyadari betapa keberagaman di
Indonesia satu sisi menjadi kekayaan, tapi sisi lain menjadi “ancaman”, yakni
rawan terjadinya konflik horizontal dan kondisi ini pun telah terjadi puluhan
kali. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken mampu membongkar narasi
tentang desentralisasi yang mengaitkan tentang etnisitas dan identitas.
Semaraknya isu otonomi daerah serta
pemekaran menjadi sebuah ikatan patron klien yang menghubungkan sebuah relasi
baru bagaimana pengaruh etnisitas atau identitas pasca-Orde Baru menjadi
wabah.
Meskipun, seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa desentralisasi dewasa ini merupakan sebuah ejawantah dari
kelangsungan desentralisasi era kolonial maupun setelah kemerdekaan.
Namun yang menjadi sisi paling menarik
bahwa otonomi daerah tidak serta-merta membawa dampak positif terhadap
pengembangan masyarakat, melainkan erat pula kaitannya dengan status
identitas etnis. Inilah yang kerap kali menimbulkan berbagai persoalan di
tataran akar rumput bergejolak.
Dinamika masyarakat lokal menjadi satu
perangkat lunak dalam proses pengakomodiran politik para elite lokal.
Desentralisasi menjelma sebagai arena bertarung di tataran pelaku-pelaku
politik lokal.
Tak berlebihan jika kemudian jumlah
kabupaten meningkat secara besar-besaran, yang sebelumnya 300 pada 1999, naik
menjadi 440 pada 2004. Kondisi tersebut tak lepas dari masalah identitas dan
keberadaan masyarakat lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar