Membangun Ekonomi Hijau di Heart of Borneo
Sri Setiawati, Asisten Deputi Jaringan Penyedia Kemenristek,
Mahasiswa Program
Doktor Studi SDA dan Lingkungan IPB
MEDIA
INDONESIA, 03 November 2012
PERTEMUAN Rio+20 yang
telah dilaksanakan pada tahun ini telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan
global yang salah satunya ialah komitmen untuk membangun ekonomi hijau.
Pembangunan hijau menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam menghadapi
permasalahan lingkungan dan pemanasan global. Ekonomi hijau menekankan
keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan
tetap mengurangi risiko-risiko kerusakan lingkungan dan ekologi.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011-2025 membagi NKRI menjadi 6 koridor pembangunan ekonomi dan 22
produk unggulan. MP3EI terbagi dalam tiga pilar yang meliputi infrastruktur,
konektivitas, serta SDM dan iptek melalui pendekatan ‘business not as usual’. Koridor Kalimantan punya komoditas unggulan
berupa minyak dan gas, batu bara, kelapa sawit, besi baja, bauksit, dan
perkayuan, serta merupakan lumbung energi nasional.
Sementara itu, UU No 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara mengatur pada 2014 ekspor bahan baku
tidak diperbolehkan lagi sehingga diperlukan pengolahan bahan baku dengan
memberikan nilai tambah pada tiap komoditas.
Di sisi lain, Perpres No 3 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau
Kalimantan mengisyaratkan sedikitnya 45% dari Pulau Kalimantan harus digunakan
sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan kawasan hutan lindung
bervegetasi basah. Hal itu merupakan upaya mewujudkan komitmen Indonesia untuk
menurunkan gas rumah kaca secara sukarela sebesar 26% pada 2020 serta
kesepakatan antara pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Brunei untuk menjadikan
Kalimantan sebagai Heart of Borneo.
Peluang dan Tantangan
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan
pembangunan berkelanjutan membawa konsekuensi terhadap upaya-upaya pembangunan
nasional. Tidaklah mudah untuk menyinergikan kepentingan pembangunan ekonomi
yang tentunya memerlukan lahan dalam meningkatkan investasi, sementara dalam
waktu yang sama langkah-langkah konservasi dilakukan.
Kerja cerdas dan cermat penentu kebijakan diperlukan dalam
mengimplementasikan hal tersebut. Itu haruslah dilakukan secara sinergis antara
pemerintah pusat dan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, agar program
yang dicanangkan dapat memberikan manfaat yang luas serta berkeadilan bagi
kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan kebijakan yang telah ditetapkan pe merintah pusat,
pemerintah dae rah di Kalimantan telah pula menyusun peta jalan pembangunan
wilayah yang berorien tasi pada pembangunan ekonomi hijau. Kalimantan Timur
pada 2009 telah menyusun strategi ekonomi hijau yang meliputi empat tujuan,
yakni meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengurangi ancaman dari kerusakan
lingkungan dan perubahan iklim seperti banjir dan kebakaran, mengurangi polusi
dan kerusakan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat. Strategi itu
akan dilakukan pada lima sektor prioritas, meliputi minyak, gas, batu bara,
kelapa sawit, dan pertanian.
Inisiatif tersebut diharapkan dapat menghasilkan ekonomi rendah
karbon dan meningkatkan nilai tambah tiap produk. Sementara itu, Kalimantan
merupakan wilayah yang dipilih menjadi lokasi implementasi REDD+.
Adapun Provinsi Kalsel dan Kalbar sedang mempersiapkan peta jalan
dimaksud. Hal itu mencerminkan kesiapan setiap daerah untuk memulai pembangunan
dengan pendekatan ekonomi hijau.
Memadukan dua kepentingan pembangunan hijau antara pembangunan
ekonomi dan kelestarian lingkungan memerlukan perubahan paradigma dan perilaku
serta komitmen yang kuat, strategi yang cerdas dan cermat dari berbagai
pemangku kepentingan baik unsur pemerintah, akademisi, bisnis, maupun
masyarakat. Tanpa kesadaran bersama dari para pemangku kepentingan untuk
membangun ekonomi hijau di Kalimantan, konsep-konsep yang dikembangkan hanya
menjadi bahan bacaan, padahal kerusak an lingkungan berlangsung semakin parah. Pendekatan
business not as usual yang digunakan
dalam mewujudkan MP3EI seharusnya diikuti dengan strategi dan upaya-upaya untuk
mewujudkan pembangunan dengan ekonomi hijau sebagai motor penggerak pembangunan
berkelanjutan. Investasi yang dikembangkan di Kalimantan haruslah investasi
yang mampu mengembangkan ekonomi hijau dalam setiap tahapan produksinya dan
penggunaan teknologi yang ramah lingkungan.
Peran SDM dan Iptek
Ekonomi hijau dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai inovasi
teknologi hijau. Selain rendah karbon, itu juga hemat energi. Menjadikan SDM
dan iptek sebagai salah satu pilar dalam MP3EI merupakan konsep yang cerdas
sekaligus menjadi titik kritis dalam u paya mewujudkan ekonomi hijau di
Indonesia, khususnya di Pulau Kalimantan.
Oleh karena itu, penguasaan iptek hijau oleh SDM Indonesia mutlak
diperlukan apabila kita tidak mau terjebak pada ketergantungan teknologi hijau
yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh negara maju. Untuk itu, diperlukan
upayaupaya strategis dan komitmen yang tinggi baik dari aspek penyediaan dana,
saranaprasarana, maupun regulasi untuk menjadikan pilar SDM dan iptek sebagai
motor penggerak MP3EI.
Dalam konteks regional Kalimantan, kuantitas dan kualitas SDM dan
iptek di wilayah tersebut belum cukup memadai untuk dapat mengimplementasikan
MP3EI khususnya pada produk unggulan Kalimantan. Perguruan tinggi dan lembaga
litbang yang memiliki kompetensi untuk dapat melakukan inovasi teknologi produk
unggulan di Kalimantan masih sangat terbatas. Untuk menjadikan sumber daya
manusia dan iptek di Pulau Kalimantan sebagai subjek atau tuan rumah dalam
pembangunan wilayahnya, upaya penguatan SDM dan iptek lokal menjadi sangat
mendesak dan memiliki tantangan tersendiri.
Langkah yang dapat ditempuh untuk dapat memberdayakan SDM di
Kalimantan yaitu rencana-rencana penguatan SDM dan iptek seperti pembangunan
sarana pendidikan baik menengah maupun tinggi. Secara bersama, pembangunan ja
ringan ilmu pengetahuan dan teknologi antara perguruan tinggi dan lembaga
litbang di Kalimantan dengan di luar Kalimantan diupayakan. Sebagai contoh,
insentif penelitian dalam bentuk konsorsium antara para peneliti iptek di
Kalimantan dan di luar Kalimantan dapat mempercepat knowledge transfer di
antara pelaku iptek.
Selain itu, dapat terwujud penggunaan fasilitas laboratorium
bersama yang selama ini menjadi masalah bagi para peneliti di wilayah
Kalimantan khususnya. Dengan demikian, pilar SDM dan iptek untuk mengembangkan
teknologi yang mampu meningkatkan nilai tambah produk dan rendah karbon akan
dapat mewujudkan ekonomi hijau di Pulau Kalimantan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar