Kamis, 22 November 2012

Tafsir Hamka dan TKI


Tafsir Hamka dan TKI
Fredrik YA Doeka ;  Dosen Islamologi dan Teologi Agama-Agama
Fakultas Teologi UKAW Kupang
SINAR HARAPAN, 21 November 2012


Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amirullah (1908-1981) yang lebih dikenal dengan nama Hamka adalah seorang sarjana muslim abad ke-20. Dia menerima pendidikan sekuler utamanya di Padang Panjang, Sumatera Barat.

Dia belajar menguasai Arab dan memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang agama-agama. Sebagai seorang ahli yang banyak mengarang buku agama, antara lain 30 seri tafsir al-Azhar, dia juga dikenal sebagai sastrawan yang antara lain mengarang novel Merantau ke Deli.

Dalam Al-Azhar IX:47, tafsirannya tentang surat 7:133, Hamka menyatakan tulah-tulah belum berhasil memaksa Firaun untuk mengizinkan bangsa Israel keluar sebagai orang merdeka. Hamka memahami bahwa tidak ada pilihan lain bagi Allah kecuali bertindak segera.

Dia kemudian mengirimkan lima tulah, yaitu badai, belalang, kutu, katak, dan darah (QS 7:133) untuk membuat Firaun mengakui kuasa-Nya. Hamka menerangkan, aneka tulah itu telah disebutkan dalam Keluaran 8; 9:18; 10:15.

Ayat-ayat Alkitab ini menceritakan Firaun yang menolak permohonan Musa untuk mengizinkan bangsa Israel keluar dari tempat perbudakan. Tetapi karena tulah-tulah itu maka pada akhirnya Firaun menjadi takut. Dia kemudian membiarkan orang-orang Israel pergi.

Sifat keras kepala Firaun untuk tetap memperbudak bangsa Israel disebabkan oleh upah gaji budak Ibrani yang sangat rendah. Keadaan upah ini tentu membuat Firaun mendapat manfaat ekonomi yang sangat besar. Hamka melihat keadaan ini mirip dengan kondisi para budak Negro di Amerika Serikat dan rendahnya status masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan karena politik Apartheid di era modern.

Para penguasa mengambil untung sebesar-besarnya atas pekerjaan dari masyarakat yang tertindas itu. Penderitaan Israel di bawah perbudakan Mesir juga setara dengan kuli kontrak Jawa di Sumatera pada abad ke-20. Hamka melukiskan pengalaman keras mereka dalam novelnya, Merantau ke Deli.

Poniem dan Suyono, dalam novel ini, yang memiliki upah sangat rendah sebagai kuli Belanda pada waktu itu, sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk meninggalkan kontrak kerja mereka. Poniem, yang menjadi “nyonya” mandor lokal dan menjadi wakil perempuan Jawa adalah salah satu korban perdagangan manusia pada 1920 yang dipekerjakan sebagai kuli dan pekerja seksual.

“TKI On Sale”

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan iklan “TKI on Sale” di Malaysia dan Singapura. Banyak analis yang menduga, ini adalah bagian dari sindikat perdagangan manusia. Bisnis perdagangan manusia Indonesia ternyata cukup menggiurkan bagi mereka. Karena itu para pedagang di dua negara jiran itu tidak segan-segan mengiklankannya demi meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Di Indonesia, praktik bisnis TKI secara terang-terangan diiklankan dari mulut ke mulut dan dari pintu ke pintu. Jika Anda ke pedalaman Timor, misalnya, Anda pasti berjumpa dengan banyak calo TKI yang keluar masuk kampung dengan janji-janji manis yang diiklankan kepada masyarakat setempat.

Orang-orang mau saja menjadi calo karena bisnis ini memberi keuntungan secara ekonomis bagi mereka. Kita pun bisa membayangkan berapa besar keuntungan yang diperoleh agen TKI, baik yang resmi maupun yang ilegal, di republik ini. Yang membuat hati kita miris ialah bahwa para TKI itu disebut Pahlawa Devisa. Tidakkah gelar ini jatuh sama dengan iklan di dua negeri jiran itu?

Andai saja Hamka masih hidup, kemungkinan besar dia mengkritik secara pedas bahwa para pebisnis TKI saat ini sama dengan Firaun, Belanda, dan rezim kulit putih di Afrika Selatan. Mereka bersama kaki tangannya tidak hanya menarik keuntungan sebesar-besarnya dari para TKI yang diupahi rendah, tetapi juga telah menghancurkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Kepada para sindikat TKI, masih menurut Hamka, tulah Mesir itu pasti datang untuk menyadarkan mereka. Tetapi, akankah mereka sadar? Lalu, siapakah yang yang harus menyadarkannya? Wallahu a’lam bi al sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar