Tafsir Hamka
dan TKI
Fredrik YA Doeka ; Dosen
Islamologi dan Teologi Agama-Agama
Fakultas Teologi UKAW
Kupang
|
SINAR
HARAPAN, 21 November 2012
Haji Abdul Malik
Bin Abdul Karim Amirullah (1908-1981) yang lebih dikenal dengan nama Hamka
adalah seorang sarjana muslim abad ke-20. Dia menerima pendidikan sekuler
utamanya di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Dia belajar menguasai Arab dan memiliki pengetahuan yang
mendalam dalam bidang agama-agama. Sebagai seorang ahli yang banyak mengarang
buku agama, antara lain 30 seri tafsir al-Azhar, dia juga dikenal sebagai
sastrawan yang antara lain mengarang novel Merantau ke Deli.
Dalam Al-Azhar IX:47, tafsirannya tentang surat 7:133, Hamka
menyatakan tulah-tulah belum berhasil memaksa Firaun untuk mengizinkan bangsa
Israel keluar sebagai orang merdeka. Hamka memahami bahwa tidak ada pilihan
lain bagi Allah kecuali bertindak segera.
Dia kemudian mengirimkan lima tulah, yaitu badai, belalang, kutu,
katak, dan darah (QS 7:133) untuk membuat Firaun mengakui kuasa-Nya. Hamka
menerangkan, aneka tulah itu telah disebutkan dalam Keluaran 8; 9:18; 10:15.
Ayat-ayat Alkitab ini menceritakan Firaun yang menolak
permohonan Musa untuk mengizinkan bangsa Israel keluar dari tempat
perbudakan. Tetapi karena tulah-tulah itu maka pada akhirnya Firaun menjadi
takut. Dia kemudian membiarkan orang-orang Israel pergi.
Sifat keras kepala Firaun untuk tetap memperbudak bangsa Israel
disebabkan oleh upah gaji budak Ibrani yang sangat rendah. Keadaan upah ini
tentu membuat Firaun mendapat manfaat ekonomi yang sangat besar. Hamka
melihat keadaan ini mirip dengan kondisi para budak Negro di Amerika Serikat
dan rendahnya status masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan karena politik
Apartheid di era modern.
Para penguasa mengambil untung sebesar-besarnya atas pekerjaan
dari masyarakat yang tertindas itu. Penderitaan Israel di bawah perbudakan
Mesir juga setara dengan kuli kontrak Jawa di Sumatera pada abad ke-20. Hamka
melukiskan pengalaman keras mereka dalam novelnya, Merantau ke Deli.
Poniem dan Suyono, dalam novel ini, yang memiliki upah sangat
rendah sebagai kuli Belanda pada waktu itu, sama sekali tidak memiliki
kebebasan untuk meninggalkan kontrak kerja mereka. Poniem, yang menjadi
“nyonya” mandor lokal dan menjadi wakil perempuan Jawa adalah salah satu
korban perdagangan manusia pada 1920 yang dipekerjakan sebagai kuli dan
pekerja seksual.
“TKI On Sale”
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan iklan “TKI on Sale” di
Malaysia dan Singapura. Banyak analis yang menduga, ini adalah bagian dari
sindikat perdagangan manusia. Bisnis perdagangan manusia Indonesia ternyata
cukup menggiurkan bagi mereka. Karena itu para pedagang di dua negara jiran
itu tidak segan-segan mengiklankannya demi meraup keuntungan
sebesar-besarnya.
Di Indonesia, praktik bisnis TKI secara terang-terangan
diiklankan dari mulut ke mulut dan dari pintu ke pintu. Jika Anda ke
pedalaman Timor, misalnya, Anda pasti berjumpa dengan banyak calo TKI yang
keluar masuk kampung dengan janji-janji manis yang diiklankan kepada
masyarakat setempat.
Orang-orang mau saja menjadi calo karena bisnis ini memberi
keuntungan secara ekonomis bagi mereka. Kita pun bisa membayangkan berapa
besar keuntungan yang diperoleh agen TKI, baik yang resmi maupun yang ilegal,
di republik ini. Yang membuat hati kita miris ialah bahwa para TKI itu
disebut Pahlawa Devisa. Tidakkah gelar ini jatuh sama dengan iklan di dua
negeri jiran itu?
Andai saja Hamka masih hidup, kemungkinan besar dia mengkritik
secara pedas bahwa para pebisnis TKI saat ini sama dengan Firaun, Belanda,
dan rezim kulit putih di Afrika Selatan. Mereka bersama kaki tangannya tidak
hanya menarik keuntungan sebesar-besarnya dari para TKI yang diupahi rendah,
tetapi juga telah menghancurkan martabat kemanusiaan itu sendiri.
Kepada para sindikat TKI, masih menurut Hamka, tulah Mesir itu
pasti datang untuk menyadarkan mereka. Tetapi, akankah mereka sadar? Lalu,
siapakah yang yang harus menyadarkannya? Wallahu
a’lam bi al sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar