Urgensi
Ketahanan Pangan
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Ketua Umum
Masyarakat Akuakultur Indonesia
|
REPUBLIKA,
12 Oktober 2012
Meroketnya harga minyak dan semangat mondial untuk
menjinakkan pemanasan global telah meningkatkan permintaan dunia terhadap
CPO, jagung, gandum, tebu, dan bahan pangan lainnya untuk produksi biofuel.
Pada saat yang sama, seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan pangan
dunia pun terus membengkak.
Padahal, stoknya dalam dasawarsa terakhir terus menurun.
Bila pada 1999 persediaan pangan dapat memenuhi 120 hari kebutuhan dunia,
pada 2010 hanya cukup untuk 50 hari. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang
kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus
melambung.
Kenaikan harga pangan global bukan hanya mengakibatkan
jumlah warga dunia yang kelaparan meningkat, melainkan juga menyebabkan
instabilitas ekonomi dan politik. Gelombang demonstrasi secara massif
menentang kenaikan harga bahan pangan pada 2008 di berbagai belahan dunia,
bahkan memicu pelengseran presiden di sejumlah negara, seperti Haiti,
Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia.
Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk di
suatu negara hanya akan meninggalkan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan
kurang produktif. Karena itu, wajar bila Presiden SBY menekankan agar bangsa
ini membangun kedaulatan pangan di berbagai acara kenegaraan.
Bahkan, Presiden RI pertama Bung
Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di
Bogor pada 1952 membuat pernyataan prophetic
bahwa pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa.
Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi
produksi yang tinggi, seharusnya Indonesia bisa menikmati berkah ekonomi (windfall profit) dari melonjaknya
permintaan dan harga sejumlah komoditas pangan secara fenomenal itu.
Kerugian yang ditimbulkan akibat kebergantungan kita pada
bahan pangan impor pun bukan alang kepalang. Telah terjadi penghamburan
devisa, penyengsaraan petani, sampai meman dulkan sektor pertanian juga
kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa.
Belum terwujudnya kedaulatan pangan di Nusantara yang
subur bak “zamrud di khatulistiwa“ ini diduga karena “salah urus“. Pasalnya,
potensi produksi berbagai komoditas pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air
sejatinya lebih besar ketimbang total kebutuhan nasional.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan
sekaligus menjadikan sektor pertanian, kehutanan, serta kelautan dan
perikanan (ekonomi SDA hayati) sebagai keunggulan kompetitif dan mesin
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan. Pada tataran
teknis, kita harus meningkatkan produksi semua pangan yang bisa dihasilkan di
dalam negeri secara produktif, efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pada saat yang sama, lahan-lahan pertanian, perkebunan,
dan perikanan yang subur serta produktif (kelas-I) tidak boleh lagi dikonversi
menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya.
Sebaliknya, harus dijadikan lumbung pangan nasional.
Pola Ekspor
Tidak seperti Malaysia, Thailand, dan negara-negara maju,
selama ini kita mengekspor komoditas pertanian sebagian besar dalam keadaan
mentah. Mulai sekarang, kita harus memperkuat dan mengembangkan industri
hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan
perikanan agar memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan
multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.
Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas para petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan,
melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (diklatluh) secara
sistemis dan berkesinambungan. Pemerintah juga harus menyediakan seluruh
sarana produksi perrtanian dan perikanan dengan harga relatif murah dan dalam
jumlah yang mencukupi di seluruh wilayah Nusantara.
Infrastruktur pertanian dan perikanan serta infrastruktur
dasar harus diperbaiki dan dibangun di setiap kawasan produksi SDA hayati
sesuai kebutuhan. Dengan begitu, transportasi komoditas dan produk pangan
dari kawasan produsen ke kawasan konsumen lebih efisien, cepat, murah, dan
terpercaya.
Demikian pula dalam mendatangkan sejumlah sarana produksi
dari daerah pabrik/industri ke kawasan-kawasan produsen SDA hayati. Industri
peralat an dan mesin pertanian dan perikanan (alsintan) harus diperkuat dan
dikembangkan di seluruh wilayah Nusantara.
Politik-Ekonomi
Sederet jurus teknikal di
atas akan berhasil jika dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang
kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor-sektor
ekonomi SDA hayati.
Sedikitnya, ada sembilan kebijakan politik-ekonomi
paling krusial untuk
direalisasikan.
Pertama, menghentikan
impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di
tanah air, baik secara
langsung maupun bertahap. Kedua, memperbesar porsi
anggaran negara untuk
perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian
dan daerah pedesaan,
produksi benih unggul, pupuk organik dan anorganik,
dan pakan berkualitas.
Ketiga, produksi gas alam
harus diprioritaskan untuk produksi pupuk ketimbang diekspor mentah seperti sekarang.
Keempat, penyediaan permodalan khusus untuk sektor-sektor ekonomi SDA hayati.
Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok
dan harga sejumlah bahan pangan pokok.
Keenam, pemerintah harus
memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku
usaha yang berinvestasi di sektor pertanian, terutama pada usaha industri
hulu dan industri hilir. Pencermaran lingkungan
juga harus dikendalikan
secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.
Ketujuh, mengembangkan dan
mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global.
Kedelapan, penciptaan iklim usaha
yang atraktif dan
kondusif. Terakhir adalah kebijakan moneter yang berpihak kepada ekonomi SDA
hayati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar