Rabu, 03 Oktober 2012

Terjebak Impor Beras


Terjebak Impor Beras
M Husein Sawit  ;  Forum Komunikasi Profesor Riset Kementerian Pertanian
KOMPAS, 03 Oktober 2012


Akhirnya pemerintah mengumumkan akan mengimpor 1 juta ton beras (Kompas, 21 September 2012). Keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan stok akhir Bulog tahun ini rendah (hanya 1 juta ton) dan cadangan beras dinaikkan jadi 2 juta ton.

Niat impor beras telah lama dicanangkan pemerintah. Tidak lama setelah diangkat menjadi Menteri Perdagangan, Gita Irawan Wirjawan—pada Februari 2012—menyatakan bahwa Indonesia akan mengimpor 2 juta ton beras. Pernyataan itu dikutip oleh media dalam dan luar negeri.

Alasannya sederhana. Harga di pasar internasional lagi murah, hanya 400 dollar AS per ton untuk beras kualitas premium dan kebutuhan beras Indonesia terus meningkat. Lazimnya, pernyataan impor beras dihindari pada awal tahun karena—masih bulan Februari—baru mulai panen raya. Bulog pun sedang giat-giatnya menyerap beras dari produksi dalam negeri.

Stok akhir tahun Bulog adalah penjumlahan stok awal tahun, ditambah pengadaan dikurangi jumlah penyalurannya. Pengadaan dalam negeri ditargetkan tinggi, tetapi realisasinya selalu rendah karena laju pertumbuhan produksi gabah akhir-akhir ini kurang stabil. Penyebab utamanya: infrastruktur irigasi yang buruk, konversi lahan sawah yang sulit dibendung, serta perubahan iklim. Di pihak lain, tanpa mengindahkan hal itu, pemerintah memperbesar penyaluran beras Bulog. Hal ini sulit dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Beras Bulog dominan diperuntukkan buat program beras untuk orang miskin (raskin) dan penyaluran cadangan beras pemerintah, terutama untuk operasi pasar dan situasi darurat. Penyaluran beras untuk program raskin, sejak 2008, sangat besar. Rata-rata 3,2 juta ton per tahun. Padahal, efektivitas raskin dalam pengendalian harga beras relatif rendah bila dibandingkan dengan intervensi pasar beras kualitas premium/super.

Akan tetapi, karena jumlah raskin sangat besar (10-12 persen dari total konsumsi bulanan), secara tak langsung dapat meredam laju kenaikan harga beras. Namun, biayanya tinggi dan sering konflik dengan tujuan lain, khususnya diversifikasi pangan, target menurunkan tingkat konsumsi beras 1,5 persen per kapita per tahun.

Terjebak target raskin

Semakin besar volume raskin semakin tinggi kandungan beras impor dalam program raskin. Selama periode 2000-2011, misalnya, peran raskin terhadap pengadaan dalam negeri rata-rata 110 persen per tahun. Artinya, penyaluran raskin melebihi 10 persen per tahun, di atas kemampuan pengadaan dalam negeri. Pada 2011 malah mencapai 194 persen. Karena pengadaan dalam negeri sangat rendah dan pertumbuhan produksi negatif, impor beras pun mencapai 2,2 juta ton, tertinggi sejak 2004. Selain itu, banyak pemerintah daerah yang menolak beras impor yang disalurkan melalui program raskin. Kekisruhan ini akan terus bergulir sehingga akan menurunkan dukungan politik/publik terhadap program raskin.

Penyaluran cadangan beras pemerintah hanya sekitar 300.000 ton per tahun, tentu tak sebanding dengan volume raskin seperti yang telah disebutkan di atas. Kalau cadangan beras pemerintah diperbesar menjadi 2 juta ton dengan beras kualitas raskin, itu tidak akan efektif untuk intervensi pasar, apalagi untuk bantuan internasional dan mengisi cadangan beras darurat ASEAN. Agar efektif, pemerintah perlu mengimpor beras kualitas super/premium.

Kita telah terjebak dengan target memperbesar volume raskin dan meningkatkan CBP kualitas rendah (beras medium). Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang program raskin agar dikembalikan ke tujuan awal, yaitu menguatkan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Kalau itu dipilih, volume raskin perlu dikurangi hingga paling banyak 2 juta ton per tahun. Cadangan beras pemerintah pun perlu ditata ulang. Cadangan sebesar 2 juta ton haruslah diisi secara bertahap dengan beras kualitas premium/super yang berasal dari pengadaan dalam negeri. Tanpa kedua usaha itu, kita pasti terjebak dengan impor beras. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar