Rabu, 03 Oktober 2012

Atas Nama Keamanan Nasional


Atas Nama Keamanan Nasional
Hendardi  ;  Ketua Setara Institute
KOMPAS, 03 Oktober 2012


Kontroversi Rancangan Undang- Undang Keamanan Nasional kembali memasuki arena parlemen. Otoritas legislasi ini akan membahas dan mengesahkannya menjadi UU, yang mengikat publik dan melekatkan sejumlah kewenangan pada otoritas negara untuk menjalankan mandat legal yang termaktub dalam UU itu.
RUU Keamanan Nasional (Kamnas) pada 2011 telah masuk ke parlemen. Karena mengidap banyak soal, DPR mengembalikannya kepada pemerintah dengan sejumlah catatan. Agustus 2012, pemerintah menyerahkan kembali RUU Kamnas tanpa perbaikan signifikan kepada DPR untuk diagendakan pembahasannya.
Pemerintah tampak begitu yakin DPR akan memuluskan rancangan itu meski tanpa perbaikan. Keyakinan ini bukan tidak berdasar. Kritisisme fraksi-fraksi di parlemen pada dasarnya hanyalah cara membuka ruang negosiasi dalam setiap proses perumusan UU atau kebijakan lain.
Tebar ancaman
Oleh para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia, RUU Kamnas dianggap instrumen baru untuk mengembalikan rezim keamanan di tengah proses demokratisasi Indonesia. RUU ini juga potensial menjadi instrumen legal berbagai tindakan represif negara atas warga negara. Rezim keamanan akan mengambil tindakan apa pun demi stabilitas keamanan nasional.
Dalam Pasal 1 angka 1 RUU Kamnas disebutkan, ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional. Sementara pada Pasal 17, RUU Kamnas menjaring berbagai tindakan di segala aspek kehidupan tanpa batas sebagai jenis ancaman, baik berjenis ancaman militer, bersenjata, maupun tak bersenjata.
Dengan rumusan definisi dan ruang lingkup keamanan yang begitu luas, RUU Kamnas sesungguhnya menebar ancaman bagi setiap warga negara dan komponen lainnya, yang sewaktu-waktu tindakannya dapat dikriminalisasi sebagai ancaman nasional. RUU Kamnas meletakkan elemen nasional sebagai sumber ancaman yang harus dideteksi dan diawasi, bukan sebagai subyek yang harus dilindungi. Apalagi definisi detail tentang ancaman nasional menjadi kewenangan tunggal Presiden (Pasal 17 Ayat 4).
Atas dasar kehendak untuk menebar ancaman dengan rumusan di atas, maka kriminalisasi tindakan legislasi oleh parlemen dapat dikategorikan sebagai ancaman nasional, jika oleh otoritas keamanan nasional dianggap mengalami diskonsepsi. Penjelasan Pasal 17 Ayat (2) Huruf c angka 19 ditegaskan, bentuk ancaman tak bersenjata merupakan ancaman terhadap keamanan publik dan keamanan insani, antara lain diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi. Rumusan semacam ini bukan hanya bertentangan dengan kewenangan konstitusional yang melekat pada DPR, melainkan juga bertentangan dengan prinsip check and balances yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menguji setiap UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
RUU Kamnas juga berpotensi mengancam sistem penegakan hukum di Indonesia. Melalui RUU ini dan atas nama keamanan nasional, TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) diberi kewenangan khusus melakukan penyadapan, pemeriksaan, dan penangkapan (penjelasan Pasal 54 Huruf e jo Pasal 20). Penyadapan, pemeriksaan, dan penangkapan oleh aparat negara yang bukan penegak hukum dan bukan untuk tujuan penegakan hukum merupakan bentuk kesewenang- wenangan negara.
Selain menebar ancaman kepada warga negara, kepada aktor negara lain, RUU Kamnas didesain sebagai RUU yang akan mengikis dan memangkas kewenangan Polri sebagai penyelenggara keamanan nasional. Materi muatan dalam RUU Kamnas meletakkan kembali TNI lebih supreme atas Polri. Bahkan dalam urusan keamanan dan penegakan hukum yang jadi domain Polri.
Khianati mandat reformasi
Argumen yang selalu dikemukakan terkait urgensi RUU Kamnas sama persis dengan argumen saat RUU Intelijen Negara akhirnya dibahas dan disahkan oleh otoritas legislasi. Dinamika keamanan nasional yang mengalami perubahan signifikan, spektrum keamanan yang semakin meluas, konsepsi (k)eamanan dalam arti sempit dan (k)eamanan dalam arti luas, serta Polri yang dianggap tidak mumpuni menangani berbagai ancaman keamanan mutakhir adalah sederet argumen yang dikembangkan untuk memupuk dukungan publik bagi kembalinya rezim keamanan dalam kehidupan bangsa dan penyelenggaraan negara.
Padahal, tak ada mandat konstitusional yang perlu diderivasi dalam bentuk UU, kecuali soal isu bagaimana sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta diselenggarakan. Pasal 30 UUD 1945 harus menjadi acuan bagi penyusunan RUU Kamnas agar tetap konsisten dengan ketentuan dasar tentang pertahanan dan keamanan negara.
Tak dimungkiri, penyelenggaraan keamanan oleh Polri belum menunjukkan prestasi gemilang. Namun, menjawab dinamika mutakhir dan semua kecemasan tentang kondisi keamanan nasional dengan RUU Kamnas bukan cara terbaik dalam konteks politik dan konstruksi ketatanegaraan Indonesia hari ini. Selain ada soal dan persinggungan dengan konstitusi, TAP MPR No VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No VII/ 2000 tentang Wewenang TNI dan Polri, RUU Kamnas juga mengembalikan unsur-unsur keamanan nasional ke panggung politik baru dengan otoritas berlebih demi dan atas nama keamanan nasional. Suatu pilihan politik yang mengkhianati mandat reformasi.
Menyimak proses pembentukan RUU Kamnas, termasuk beragam peristiwa yang menjadi latar kampanye urgensi pembahasan RUU, tergambar jelas betapa negeri ini tak memiliki arah politik hukum yang kokoh, yang secara konsisten dipedomani oleh otoritas legislasi dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar