Membunuh KPK
Febri Diansyah ; Peneliti Hukum Indonesia Corruption
Watch
|
KOMPAS,
03 Oktober 2012
Sebuah poster berukuran dua
kali kertas kuarto, semuanya hitam. Hanya ada tiga kata warna putih dengan
bercak merah. Tertulis, ”KPK Harus Mati”.
Hari-hari ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terus diserang dari berbagai titik dan dengan
eskalasi yang terus meningkat. Siapa yang paling keras melawan suatu komisi
yang sedang memberantas korupsi?
Pasti
koruptor!
Upaya melemahkan institusi
pemberantasan korupsi bukan hal baru. Di sini, lembaga negara yang bertugas
melawan korupsi patah tumbuh hilang berganti. Tahun 1957 ada Panitia Retooling
Aparatur Negara (Paran) yang bertugas mendata kekayaan pejabat saat itu. Paran
kalah terhadap pembangkangan. Bahkan, orang- orang seperti AH Nasution, M
Yamin, dan Roeslan Abdulgani pun tidak cukup kuat menghadapi resistensi para
pejabat yang enggan melaporkan kekayaannya. Padahal, kewajaran kepemilikan
kekayaan dibandingkan dengan penghasilan yang sah adalah salah satu alat
mengukur korup atau tidaknya seorang pejabat negara.
Ada lagi Operasi Budhi tahun
1963, dipimpin AH Nasution. Dalam perjalanannya, fitnah terhadap personel
lembaga ini berkembang hingga akhirnya dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi). Meski Presiden Soekarno menjadi ketua dibantu
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani, upaya ini akhirnya stagnan juga.
Pada era Orde Baru, sejumlah
lembaga antikorupsi berdiri. Ada Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa
Agung, Komisi Empat, dan Operasi Tertib. Pada era Reformasi, kita masih ingat
nasib Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang bubar
ketika sedang mengusut dugaan suap sejumlah hakim agung. Sebuah putusan
judicial review di Mahkamah Agung mematikan lembaga ini.
Kabarnya pidato Gus Dur di
depan DPR dulu, terkait rencana penerbitan Perppu Pembuktian Terbalik, tidak
disambut baik. Ada juga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
yang kemudian dibubarkan dan dibentuklah KPK berdasarkan UU No 30/2002.
Revisi
UU KPK
Saat ini tengah bergulir
proses yang mungkin akan melumpuhkan KPK. Berselimut kewenangan legislasi, DPR
menyusun rancangan undang-undang inisiatif DPR untuk merevisi UU No 30/ 2002
tentang KPK.
Berdasarkan berkas yang
diperoleh Indonesia Corruption Watch (ICW) per Februari 2012, tersirat jelas
keinginan untuk melumpuhkan KPK. Memang, kelembagaan KPK tetap ada, tetapi
kewenangan penuntutan akan dipangkas dan proses penyadapan dipersulit.
ICW mencatat 19 pasal
kontroversial dalam draf rancangan itu, enam di antaranya mengancam
pemberantasan korupsi.
Pertama, mencabut kewenangan
penuntutan KPK. Terdapat 15 bagian pasal yang mengandung unsur ”penuntutan”
dihilangkan, mulai dari kewenangan KPK menuntut koruptor secara mandiri di
pengadilan hingga kewenangan untuk sekadar menyupervisi proses penuntutan di
kejaksaan.
Upaya memangkas kewenangan
penuntutan ini ternyata tidak hanya terjadi dalam proses penyusunan draf RUU
KPK. Sebelumnya, ketika RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibahas, ada politisi
menyisipkan pasal yang menghilangkan kewenangan KPK menuntut di pengadilan
tipikor.
Bersyukur saat itu publik
tidak tertipu dan ada ketegasan dari Presiden agar kewenangan penuntutan KPK
tetap. Hari ini, seharusnya sikap yang sama juga ditunjukkan jika kita masih
ingin mempunyai KPK yang kuat, dengan kewenangan yang integratif mulai dari
penyelidikan hingga penuntutan.
Selama ini, salah satu
faktor yang membuat penanganan kasus korupsi berjalan lamban adalah proses
bolak-balik perkara antara penyidik dan penuntut umum, bahkan terbuka peluang
mengintervensi kejaksaan hingga bisa menghentikan penuntutan.
Posisi kejaksaan yang berada
di bawah presiden akan membuat penanganan kasus korupsi rentan karena di bawah
kendali kepentingan politik. Koruptor dari partai penguasa akan sulit disentuh.
Upaya pemberantasan korupsi bahkan bisa menjadi alat membunuh lawan politik.
Kedua, di RUU KPK adalah
terbukanya peluang penghentian penuntutan kasus korupsi di kejaksaan. Hal ini
merupakan konsekuensi dari pemangkasan kewenangan penuntutan KPK.
Ketiga, penyadapan akan
lebih rumit. Padahal, kita tahu, selama ini penyadapan yang dilakukan KPK
berperan penting di balik sejumlah penangkapan pelaku suap, baik anggota DPR,
hakim, maupun jaksa. Kalaupun ada sejumlah pihak yang meragukan akuntabilitas
penyadapan selama ini, seharusnya yang dilakukan adalah audit penyadapan. Agar
lebih fair, audit harus dilakukan pada semua institusi penegak hukum dan
intelijen dengan kewenangan penyadapan.
Keempat, tampak upaya memutihkan
perkara korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk dengan menghilangkan Pasal
68 UU KPK. Padahal, ini menjadi dasar hukum untuk memproses kasus seperti
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus lain pada era Soeharto yang
penanganannya belum selesai saat KPK dibentuk. KPK pernah membentuk tim untuk
mengusut skandal BLBI yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tanpa Pasal
68, para koruptor BLBI akan diuntungkan.
Putusan
MK
Selain empat poin di atas,
poin kelima adalah draf ini melanggar putusan MK tentang tidak adanya
kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan konsep steger mechanism dalam
kepemimpinan KPK.
Keenam, dengan dalih KPK
harus diawasi, disisipkan pasal Dewan Pengawas KPK. Kita setuju semua kekuasaan
harus diawasi, tetapi melihat pasal ini tampak adanya upaya untuk memperbesar
kewenangan DPR memilih anggota Dewan Pengawas. Potensi intervensi politik
terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi semakin terbuka. Hal ini
terasa sangat paradoks di tengah sejumlah proses hukum yang menjerat para
petinggi partai politik dengan tuduhan korupsi.
Selain itu, argumentasi yang
menyesatkan dan ahistoris sering kali disampaikan sejumlah anggota DPR. Dengan
alasan KPK adalah lembaga ad hoc, dalam pengertian bersifat sementara waktu,
DPR menolak anggaran pembangunan gedung baru, perekrutan penyidik independen,
pembentukan kantor cabang, dan hal-hal lain untuk meningkatkan efektivitas
pemberantasan korupsi.
Padahal, jika diperhatikan,
dalam proses pembahasan UU No 30/2002 tentang KPK, hanya satu Fraksi Golkar
yang menyatakan bahwa KPK bukanlah lembaga permanen. Itu pun disampaikan pada
pendapat mini fraksi dan kemudian tidak ditemukan pada pendapat akhir fraksi.
Tampaklah bahwa argumentasi
hukum, sosial, dan politik yang mendukung penguatan KPK akan dikubur dan
dibuang jauh- jauh bagi koruptor dan konco-konconya, yang penting, KPK harus
mati!
Pada sebuah poster lain, di
bawahnya tertulis, ”Jika Sudah Begini, Apakah Anda Akan Diam Saja? Bangkit!
Lawan Korupsi!”
Para politisi bersih dan
masyarakat sepatutnya bergabung dalam perang melawan korupsi. Perang melawan
para vampir. ●
pak konsep steger mechanism itu apa y?mksh.
BalasHapus