Minggu, 07 Oktober 2012

Tentara Upacara


Tentara Upacara
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 07 Oktober 2012


Semasa mahasiswa, seminggu sekali saya berlatih basket di asrama tentara di Jalan Yogya (yang tembusnya ke halaman Taman Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat). Entah sekarang jadi apa, tetapi dulu di situ ada asrama tentara dan lapangan basketnya cukup baik sehingga kami berlatih di situ.

Namun yang menyeramkan adalah serdadu yang selalu siap dengan bayonet di pos jaga. Kalau lewat di depannya kami harus turun dari sepeda dan walaupun di zaman itu (Orde Lama) belum ada teroris, kacamata harus dibuka. Maksudnya tentu kacamata hitam. Tapi sesekali ada saja penjaga yang menyuruh saya buka kacamata, padahal kacamata saya kacamata minus biasa. Untung saya masih bisa melihat tanpa kacamata sehingga tidak sampai menabrak penjaga itu.

Di tahun 1978, ketika saya mengurusi mahasiswa sebagai pjs pembantu dekan III, tentara masuk Kampus Universitas Indonesia (UI) Rawamangun menyusul demo-demo mahasiswa yang gencar saat itu. Di Fakultas Psikologi UI tidak terjadi apa-apa, tetapi mahasiswa panik dan berhamburan entah ke mana. Untung tidak terjadi apa-apa. Entah di fakultas lain. Selebihnya kita tahu bagaimana peran ABRI ketika itu dalam mengendalikan negara, termasuk dwifungsi ABRI, Kopkamtib, dan Operasi Mawar.

Pengalaman-pengalaman traumatik seperti itulah yang berlangsung terus sampai akhir era Orde Baru, yang menyebabkan masyarakat tidak senang kepada ABRI, yang tecermin dalam aksi-aksi demo reformasi dan belum surut sepenuhnya sampai hari ini. Di sisi lain, tanpa dukungan RPKAD dan Korps Siliwangi di tahun 1965–1966, tidak mungkin aksi-aksi mahasiswa yang mengusung Tritura (Tri Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Ritul Kabinet Dwikora) akan berhasil melahirkan Orde Baru.

Bahkan semasa Orde Baru saya menjadi salah satu anggota Lembaga Studi Strategis dari Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (LSS Wanhankamnas) yang bermarkas di Jalan Merdeka Barat. Selain itu, karena keahlian saya menulis, saya juga pernah membantu Jenderal TNI Sumitro (alm), mantan Pangkopkamtib, sebagai redaksi sebuah majalah berjudul TSM (Teknologi Strategi Militer).

Tugas saya tentu saja menulis hal-hal yang terkait dengan isu sosial, politik, budaya dan tidak ada kaitannya dengan senjata, kapal terbang atau kapal laut (ada orang lain yang membuat tulisan-tulisan itu). Dengan perkataan lain, saya ingin menggambarkan bahwa di masa Orde Baru, ABRI tidak hanya menakut-nakuti rakyat dengan menyuruh melepas kacamata putih seperti yang saya alami, tetapi juga mengelola negara ini secara serius, dengan kajian-kajian ilmiah yang berkelanjutan.

Renstra (rencana strategis) jangka pendek, menengah, dan panjang selalu dikaji oleh Lemhanas yang masih eksis sampai hari ini, dan Wanhankamnas mengkaji serta menguji draf GBHN setiap hari selama 5 tahun sebelum diajukan ke MPR. Dalam proses pengkajian dan pengujian itu dilibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk para cerdik pandai, partai politik, perguruan tinggi, pemuka agama, dan sebagainya (LSM belum eksis).

Jadi tidak terlalu benar bahwa anggota DPR/MPR ketika itu hanya 3 D (duduk, diam, dengar) dan “Setujuuuuu ....”. Jauh sebelumnya penggalangan opini dan lobi-lobi politik sudah dilakukan. Hasilnya adalah negara yang stabil selama lebih dari 30 tahun yang memberi kesempatan kepada bangsa ini untuk membangun sarana dan prasarana seperti yang kita rasakan hari ini (Jakarta Metropolitan, Jagorawi, Bandara Soetta, ekspor beras, SD inpres, bebas malaria, melek huruf, dan sejuta contoh lain).

Tapi semua itu harus dibayar dengan rasa takut dan tertekan, ketidakadilan dan kedongkolan karena maraknya KKN. Kemudian datanglah George Soros yang menyebabkan krisis moneter dan itulah yang memicu Reformasi 1998 dan menjatuhkan Orde Baru. Sesudah Orde Baru tumbang, Polri dikeluarkan dari ABRI dan TNI diminta untuk mengurusi soal-soal pertahanan saja. Soal-soal Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) jadi urusannya polisi.

Kalau diperlukan barulah Polri minta bantuan TNI dan memang selama ini yang berlaku adalah seperti itu. Dalam pengamanan demo buruh nasional tanggal 3 Oktober 2012 misalnya, TNI membantu Polri dengan menempatkan anggota-anggotanya di BKO (Bawah Komando) Polri. Selebihnya TNI kita lihat dalam upacara-upacara seperti dalam penyambutan tamu-tamu resmi negara dan HUT ABRI setiap tanggal 5 Oktober.

Tapi TNI bukan tentara upacara seperti serdadu-serdadu pengawal Kerajaan Inggris yang berseragam merah-hitam. Anggota-anggota TNI siaga selama 24 jam mengawal pulau-pulau terluar dan garis batas antarnegara di Pulau Kalimantan, Papua, dan Timor. Baru-baru ini TNI AU dengan peralatan radar yang masih sederhana berhasil mendaratkan pesawat liar yang terbang memasuki wilayah kedaulatan RI.

TNI juga berperan besar dalam setiap penanggulangan bencana alam (mereka yang pertama hadir di lapangan dalam bencana tsunami di Aceh) dan masih banyak yang lain. Menurut saya, TNI sekarang ibaratnya petugas PLN yang tidak pernah kita tahu, apalagi kita kenal, tetapi kita rasakan hasil kerjanya dengan listrik yang terus-menerus menyala di rumah kita. Kita baru repot menelepon PLN kalau listrik tiba-tiba mati.

TV mati, anak-anak tidak bisa belajar, kipas angin mati, kepanasan, pompa air mati, nggak bisa buang air (airnya saja nggak ada, apa yang bisa dibuang). Begitu juga mestinya kalau sudah ada ancaman ketidakamanan nasional, apalagi yang mengancam kesatuan dan persatuan NKRI, orang akan mencari TNI. Tapi kapan itu? Sekarang ini terorisme masih berlangsung terus. Konflik sosial makin sering dan makin seru.

Bukan hanya antaragama atau antaretnik dan antarpartai politik, tetapi juga antarpendukung calon pilkada, antarkampung, bahkan antarsekolah. UU Antiteror dan UU PKS (Penanganan Konflik Sosial) sudah ada, tetapi bukannya mereda, ancaman-ancaman itu makin menjadi-jadi. Itulah rupanya yang membuat jajaran Kemenhan dan Mabes TNI gemas sehingga pada 2007 Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono merasa perlu melontarkan draf RUU Kamnas.

Draf ini ternyata menjadi bola panas. Pakar-pakar hukum tidak setuju karena RUU ini menabrak banyak UU lain. Pers, LSM, dan tomas (tokoh masyarakat) menentang karena menilai RUU itu bisa mengancam demokrasi dan bertentangan dengan HAM. Di DPR pun banyak kontroversi sehingga pada bulan Mei 2012 RUU ini dikembalikan ke pemerintah untuk diperbaiki, tetapi pada bulan Mei 2012 pemerintah mengembalikan lagi ke DPR tanpa perbaikan.

Tentu saja reaksi masyarakat lebih keras lagi. Begitu juga reaksi para anggota DPR yang menentang RUU ini (pemerintah tidak mengerjakan PR-nya). Selain dianggap berlebihan (jaminan kamnas cukup dengan perangkat UU yang sudah ada), RUU ini dianggap bisa mengembalikan arogansi TNI seperti di zaman saya (mahasiswa tingkat V, yang harus membuka kacamata atas perintah seorang prajurit II).

Apalagi para aktivis Kontras. Wah buat mereka UU Kamnas berarti akan terjadi lagi orang-orang hilang yang nggak jelas ke mana rimbanya. Karena itu, memaksakan RUU Kamnas lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Saya bukan pakar hukum, tetapi saya percaya bahwa kesatuan dan persatuan NKRI tidak hanya bisa dikendalikan dengan hukum, melainkan dan malah lebih baik kalau dilakukan melalui jalur pendidikan, dialog lintas agama, lintas golongan, dan lintas suku, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemberantasan korupsi yang bebas politik.

Belum berhasilnya pemerintah dalam bidang-bidang tersebut bukan karena kesalahan TNI, melainkan karena kementerian-kementerian dan pemda-pemda terkait belum melaksanakan tugasnya secara optimal.

Kalau mau, TNI bisa melakukan advokasi (penjelasan) kepada para pejabat kementerian-kementerian dan pemda terkait tentang betapa gawatnya negara ini kalau kementerian dan pemda tidak bekerja dengan baik. Dirgahayu TNI.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar