Sosok Jurnalis
di Layar Kaca
Ignatius Haryanto ; Pemerhati Media
|
KOMPAS,
30 September 2012
Bagaimana wajah jurnalis
sebagaimana ditampilkan di layar kaca? Apakah ia menjadi sosok yang dipuja atau
dicaci oleh mereka yang kerap bersentuhan dengannya? Jurnalis dicaci oleh
mereka yang menjadi koruptor, politisi, dan para artis yang dibuntuti paparazi. Sebaliknya, jurnalis dipuja
oleh mereka yang mencari kebenaran dan keadilan serta mereka yang ingin
mengetahui sesuatu yang disembunyikan dari publik.
Brian
McNair, Guru Besar Jurnalistik Universitas Strathclyde, Inggris, belum lama ini
menulis buku Journalists in Film: Heroes
and Villains (2010). Dalam buku ini, McNair menggambarkan bagaimana sosok
jurnalis dari 72 film yang diproduksi tahun 1997-2008. McNair mengatakan,
secara umum ada dua karakter yang sangat bertolak belakang dari film-film yang
menggambarkan para wartawan tersebut: wartawan sebagai pahlawan (hero), atau wartawan sebagai penjahat (villain).
Wartawan sebagai Pahlawan
Sebagai
pahlawan, ada empat tipologi lebih jauh terhadap diri wartawan, yaitu dalam
rupa sebagai ’anjing penjaga’ (watchdog),
sebagai saksi peristiwa (witness),
sebagai sosok pemberani dalam masyarakat, dan sebagai tokoh dalam masyarakat.
Tipologi
wartawan sebagai pengontrol kekuasaan umumnya menunjuk pada karya wartawan yang
kemudian menjatuhkan kekuasaan korup dan membongkar kecurangan yang
tersembunyi. Film dalam tipe ini adalah All
The President’s Men, The Insider, dan Good
Night and Good Luck.
Film
klasik All the President’s Men mengambil kisah nyata perjuangan dua wartawan
The Washington Post yang menemukan keterlibatan Presiden Nixon dalam penyadapan
terhadap kantor Partai Demokrat. Film The
Insider menggambarkan perjuangan produser televisi CBS, Lowell Bergman,
untuk bisa menghadirkan wawancara dengan Jeff Wygan, bekas kepala penelitian
dari perusahaan rokok Brown & Brown. Wawancara bisa dilakukan, tetapi
menayangkan utuh hasil wawancara tersebut adalah perjuangan tersendiri, di
bawah bayang-bayang tuntutan dari perusahaan rokok tempat Wygan pernah bekerja.
Sementara
itu film Good Night and Good Luck menggambarkan bagaimana tokoh masyhur dalam
dunia pertelevisian di Amerika Serikat, Edward R Murrow, harus berhadapan
dengan senator McCarthy yang pada dekade 1950-an dikenal sebagai senator yang
gemar memburu orang-orang yang dituduh komunis.
Sosok
wartawan sebagai saksi menunjukkan bagaimana kegigihan wartawan untuk menjadi
pewarta tentang satu peristiwa atau tragedi di suatu tempat ke dunia luar.
Umumnya mereka adalah para koresponden di luar negeri atau koresponden perang.
Film-film dengan tema ini misalnya Salvador,
Welcome to Sarajevo, The Hunting Party, dan A Mighty Heart.
Wartawan
sebagai sosok pemberani hadir dalam sejumlah film seperti Veronica Guerin, Lions for Lamb, dan The Life of David Gale. Veronica
Guerin mengambil kisah nyata wartawati asal Irlandia yang gigih menggempur
kekuasaan kartel narkoba. Namun, keberanian yang ia miliki ini harus ditebus
dengan kematiannya.
Sementara
wartawan yang digambarkan sebagai tokoh dalam masyarakat dan menjurus menjadi
selebritas tergambar dalam film Capote
dan Infamous. Kedua film ini
menggambarkan sosok Truman Capote, jurnalis, bersama dengan Tom Wolfe dikenal
sebagai jurnalis yang merintis cara penulisan jurnalistik dengan gaya baru (new journalism).
Wartawan
sebagai Penjahat
Di
luar segala puja-puji tersebut, sosok wartawan di layar kaca juga dilihat dari
kacamata negatif, terutama ketika wartawan tersebut menyalahgunakan fungsi dan
kekuasaan yang mereka miliki. Perilaku negatif ini muncul dalam rupa mereka
yang menurunkan kualitas jurnalisme, berbohong, dan membesar-besarkan fakta
serta mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat (king maker).
Representasi
negatif juga bisa dilihat pada film Paparazzi yang dibuat oleh Mel Gibson.
Paparazzi dibuat dalam suasana ketika media tengah meratapi ataupun diam-diam
merasa bersalah karena kematian Putri Diana ataupun pengadilan OJ Simpon di
Amerika Serikat.
Wartawan
yang penipu atau manipulator bisa dilihat pada film Shattered Glass. Film ini diambil dari kisah nyata Stephen Glass,
wartawan muda dari New Republic yang membuat laporan bohong atas sejumlah
laporannya.
Sebuah
film klasik berjudul Citizen Kane
menggambarkan sosok wartawan sebagai king maker, yaitu wartawan yang memiliki
pengaruh kuat dalam masyarakat hingga dapat memengaruhi politik yang ada dalam
masyarakat. Sosok Charles Foster Kane dalam film itu adalah sosok fiktif,
tetapi sejumlah pihak mengasosiasikan diri Kane dengan William Randolph Hearst,
seorang pionir penerbitan tabloid di Amerika Serikat.
Refleksi
Diri
Film-film
di Indonesia masih sedikit membahas masalah wartawan atau memasukkan unsur
wartawan. Meskipun demikian, dari buku yang ditulis Brian McNair ini, kita akan
melihat betapa banyak problem dalam dunia kewartawanan yang telah dipotret
(hingga problem aktual: media cetak vs media online) dalam puluhan hingga
ratusan film yang telah dibuat di Barat.
Karya
McNair ini bisa menjadi cermin diri para wartawan di mana pun atas problem yang
mereka rasakan dan hidupi: apakah wartawan masih merupakan saksi yang baik
untuk masyarakat? Apakah wartawan zaman sekarang tidak kerap memanipulasi
fakta? Apakah wartawan tidak terlalu dekat dengan dunia politik sehingga
kehilangan kekritisan? Ataukah para wartawan memang adalah sosok arogan yang
kerap jatuh dalam kesalahan saat menjalani profesinya?
Salah
satu film terakhir yang menunjukkan problem dunia kewartawanan adalah film
Contagion (tak disebut dalam daftar McNair) yang menggambarkan bagaimana dilema
penyebaran informasi dalam era internet sekarang: seorang blogger yang menulis
soal merebaknya virus satu penyakit telah menghasilkan kepanikan luar biasa
dalam masyarakat. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, di mana fungsi wartawan
dalam situasi ”informasi” cepat dihasilkan dan dikonsumsikan, tetapi isinya
terkadang perlu dipertanyakan.
Lepas
dari keasyikan menyusuri aneka film yang menggambarkan profesi kewartawanan,
kita diajak terus merefleksikan diri: apakah profesi kewartawanan masih relevan
untuk masyarakat zaman sekarang? Mengapa dan bagaimana relevansi masih bisa
terjadi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar