Persoalan Muka
di Asia Timur
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
07 Oktober 2012
Inter
arma enim silent leges. Ini ucapan filsuf Romawi terkenal
Marcus Tullius Cicero yang menyebutkan bahwa dalam situasi perang, hukum akan berdiam diri. Perang memang akan
membungkam semua norma hukum, baik itu hukum nasional maupun internasional.
Situasi yang terus memanas antara Jepang dan
China memperebutkan Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China Timur
mengkhawatirkan banyak pihak. Saling balas tudingan, boikot pertemuan, serta
unjuk rasa nasionalisme di Jepang dan China, jika tak terkendali, bisa membawa
kawasan Asia Timur ke konflik terbuka.
Di daratan China, unjuk rasa anti-Jepang
menyebabkan perusahaan-perusahaan multinasional Jepang sempat menghentikan
produksi. Sentimen anti-Jepang mengancam produk Jepang yang memiliki pasar luas
di China.
Di Laut China Timur, kapal Penjaga Pantai
Jepang dan China berkeliaran menjaga hak kedaulatan yang mereka klaim. Kapal
Penjaga Pantai Jepang juga sempat terlibat insiden saling sembur meriam air
dengan konvoi kapal nelayan dan Penjaga Pantai Taiwan.
Sengketa wilayah ini, diperkirakan banyak
pengamat, menyangkut persoalan keamanan energi yang sama-sama dibutuhkan kedua
pihak. Di sekitar kepulauan, yang dinamakan Senkaku oleh Jepang atau Diaoyu
oleh China, klaim ini sekilas menyangkut juga persoalan keamanan pangan,
khususnya ikan sebagai diet penting bangsa Asia. Konflik ini akar masalahnya
mundur jauh ke belakang hingga masa dinasti Yuan (1271-1368).
Menyelamatkan Muka
Isu ini bukan hanya soal hak kedaulatan
ataupun hak mineral. Kegeraman dan kedengkian kedua bangsa besar Asia ini
mundur paling tidak sampai pada masa berkuasanya Kubilai Khan melalui dua kali
serangan ke Jepang pada tahun 1274 dan 1281.
Perilaku lingkaran konsentris sistem vasal
China sebagai ”Negara Tengah” (lihat Kompas, 5/10), yang sudah berlangsung
berabad-abad, menjadi semacam eksperimen kekuasaan dengan ambisi menjadikan
negara-negara di sekitar sebagai vasal (negara bawahan). Di tanah Jawa utusan
Kubilai Khan dipotong kupingnya, di Jepang utusan Mongol ini dipenggal
kepalanya.
Dalam konteks itu, pertikaian di
Senkaku/Diaoyu adalah persoalan mianzi
(muka). Menyelamatkan muka alias harga diri adalah bagian penting dalam politik
tradisional Asia.
Bagi para penguasa China yang memegang mandat
Negara Tengah, bahkan sampai penguasa komunis sekarang, adalah kewajiban
seluruh dunia mengakui tempat alami China di tengah sebagai prasyarat penting
tatanan ketertiban.
Dalam bahasa Dewi Fortuna Anwar, pengamat
hubungan internasional dari Habibie Center, konflik-konflik teritorial yang ada
selama ini sebagai ”tes kejantanan.”
Menurut Riefqi Muna, peneliti Pusat Studi
Politik LIPI, konsekuensi peningkatan kekuatan militer China adalah bagaimana
negara-negara di kawasan mau menerima China sebagai faktor dominan. ”Dibutuhkan upaya untuk merangkul China ke
dalam tatanan arsitektur keamanan regional,” katanya.
Simulasi Strategis
Dalam konteks sejarah modern dan politik
globalisasi, konflik di Kepulauan Senkaku/Diaoyu yang bersamaan dengan
kebangkitan China memang menakutkan semua pihak. Kekuatan militer China (lihat
tabel) sudah menggetarkan negara-negara Asia jika harus terjadi konflik
terbuka.
Banyak pihak memang meragukan akan terjadi
konflik terbuka di Laut China Timur. Namun, bahkan sebelum perang terjadi pun,
kerusakan yang ditimbulkan sudah cukup besar melalui berbagai unjuk rasa
anti-Jepang di China.
Kebangkitan kekuatan militer China, khususnya
angkatan laut, ditambah dengan makin panasnya konflik Senkaku/Diaoyu, merupakan
bagian dari strategi simulasi proksi China untuk berhadapan dengan AS secara
tidak langsung.
Sejak krisis Selat Taiwan tahun 1996, ketika
AS menempatkan kapal-kapal induk di kedua ujung Selat Taiwan, para petinggi
militer China dikejutkan dengan kemampuan pengerahan AL AS yang cepat dan
efektif.
Sejak itu para ahli strategi China
mengembangkan apa yang disebut sebagai fan
jieru quyu fengsuo (antiakses wilayah penolakan) yang di kalangan militer
AS dikenal sebagai A2/AD (antiaccess/area
denial). Strategi pertahanan aktif ini merupakan terobosan penting ketika
kekuatan militer China tak bisa menghadapi proyeksi kekuatan AS seperti insiden
Selat Taiwan itu.
Dalam menghadapi konflik Senkaku/Diaoyu saat
ini, China kemungkinan sedang melakukan kalkulasi strategis menghadapi militer
AS yang masih memiliki pangkalan di Jepang dan Korea Selatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar