Kamis, 04 Oktober 2012

Teladan di Muka Hukum


Teladan di Muka Hukum
Herie Purwanto  ;  Dosen Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 04 Oktober 2012


PENANGANAN kasus simulator SIM memberikan pelajaran kepada kita, khususnya penegak hukum, terkait perlunya keteladanan di muka hukum. Tanpa harus menelisik substansi proses penyidikan kasus tersebut, publik melihat jelas kemangkiran para pihak, dalam kapasitas sebagai saksi maupun tersangka, makin menenggelamkan citra institusi kepolisian.

Mengapa kepolisian? Pasalnya, pihak yang bertalian langsung dengan kasus itu adalah perwira-perwira aktif dan dengan jabatan strategis, bahkan dua di antaranya perwira tinggi. Di sisi lain publik tahu kemangkiran itu menyandarkan pada landasan hukum, semisal ada kesalahan penulisan nama atau pangkat, sampai pada alasan menunggu fatwa Mahkamah Agung tentang ''dualisme'' penyidikan.

Tapi menjadi pemandangan tidak elok bila petinggi dari lembaga penegak hukum, sangat kentara hendak berkelit dari proses hukum. Meskipun, keputusan itu tetap mengatasnamakan hak, dan guna memperjelas kedudukan kasus itu di muka hukum. Namun, sekali lagi publik memandangnya sebagai hal kontraproduktif ketika dihadapkan pada keharusan petinggi itu untuk memberi keteladanan.

Sebagai aparat penegak hukum, yang secara logika pasti memahami celah-celah hukum, ketika harus berhadapan dengan hukum semestinya ia tidak menunjukkan secara masif pengelakannya terhadap kewajiban hukum. Sebaliknya, ia harus bertindak normatif mendasarkan pada perilaku kepatuhan, sekaligus mendudukkan diri pada paradigma equality before the law.   

Sikap legawa dan mematuhi hukum sudah ditunjukan oleh Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Ia menyatakan kesiapannya untuk kooperatif seandainya dipanggil KPK terkait tanda tangannya selaku kuasa anggaran pada pengadaan simulator SIM. Bahkan terhadap anak buah yang tersangkut perkara itu, ia memerintahkan untuk memenuhi panggilan KPK. Bentuk keteladanan ini, bisa berdampak positif bagi proses penegakan hukum dan akan memberikan citra baik bagi institusi kepolisian.

Sebaliknya, bila ada sikap yang kontraproduktif, dengan mendalihkan adanya asas hukum ne bis in idem, sementara di satu sisi KPK sebagaimana ditulis harian ini (SM, 02/10/12) siap memanggil paksa siapa pun yang mangkir setelah ada pemanggilan yang sah menurut undang-undang, akan memunculkan suatu citra tentang masih melekatnya pendekatan kekuasaan ketimbang kesadaran terhadap hukum.

Semua bentuk upaya paksa dalam proses hukum, telah diatur sedemikian rupa. Ekses yang mungkin muncul apabila diberlakukan terhadap kelompok bawah atau kelompok marginal, tidak akan berdampak luas. Namun ketika upaya paksa ini ''harus'' diterapkan terhadap pejabat, lebih khusus lagi pejabat penegak hukum, akan menjadi preseden buruk bagi proses pembelajaran terhadap kepatuhan hukum bagi masyarakat.

Mengembalikan Kepercayaan

Tentu kita sepakat pada dalih bahwa proses upaya paksa seharusnya legal. KPK  sebagai lembaga penegak hukum, dan penyidiknya merupakan pendekar hukum, tentu tidak akan gegabah melakukan upaya paksa terhadap seseorang, lebih-lebih yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam konteks kasus simulator SIM, tidak ada asas atau aturan hukum yang dilanggar bila KPK ataupun kepolisian tetap menyidik dengan pembagian porsi masing-masing, yang sudah disepakati oleh pimpinan dua lembaga itu saat awal kemerebakan kasus tersebut. Opsi itu yakni KPK menyidik Irjen Djoko Susilo dan Mabes Polri kebagian menyidik pejabat level di bawahnya. Bila Djoko diperiksa oleh Mabes Polri, ia berstatus saksi mahkota atas tersangka lain yang sudah ditetapkan Mabes Polri. Jadi bukan sebagai ne bis in idem.

Publik bisa jadi menganggap keterlibatan beberapa petinggi Polri dalam kasus simulator SIM sebagai hal ''lumrah'' terkait kemerebakan kasus korupsi pada hampir semua lini di negeri ini. Namun, menjadi sangat tidak lumrah ketika menghadapi proses tersebut, para petinggi tersebut kurang atau tidak mau memberi keteladanan.

Sikap mangkir atas pemanggilan yang sah, sesuai dengan hukum acara, membawa konsekuensi hukum, yaitu bisa dibawa secara paksa. Tidak bisa dibayangkan betapa heboh bila ada pejabat tinggi lembaga penegak hukum, harus dibawa paksa oleh penyidik KPK, lebih-lebih bila sampai terjadi perlawanan. Ujung-ujungnya tetap kian menenggelamkan citra kepolisian.

Dalam kondisi demikian, sebagaimana harapan Jaksa Agung Basrief Arief; KPK dan Polri perlu terus berkoordinasi untuk menyelesaikan perkara korupsi simulator SIM. Hal ini diperlukan supaya perkara itu bisa cepat diselesaikan dengan baik. Semua bertujuan sama, yaitu menegakkan hukum, dan musuh pun hanya satu: korupsi (SM, 02/10/12).
Salah satu upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah memberantas korupsi adalah dengan memberikan keteladanan dari para pejabat saat berhadapan dengan hukum. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar