Senioritas dan
Budaya Bangsa
Mulyono D Prawiro ; Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat
Universitas Satyagama,
Jakarta
|
SUARA
KARYA, 04 Oktober 2012
Sebagai bangsa, kita memiliki nilai budaya Pancasila, yang menjadi
landasan kehidupan berbangsa dan sumber semangat kebersamaan berupa jiwa
gotong-royong. Budaya inilah yang ditanamkan oleh nenek moyang kita. Demokrasi
bukan hal yang paling ditonjolkan, tetapi yang lebih dipentingkan adalah bangsa
Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, hidup penuh kebersamaan di antara
sesama anak bangsa. Demokrasi bukan prioritas utama tetapi lebih pada upaya
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Prof Farid Elashmawi PhD, seorang direktur dan pendiri Global Succes di San Jose, AS, dan juga
seorang warga negara Mesir yang tinggal AS, agama, keluarga, hubungan,
konsensus, senioritas, dan kesetiaan merupakan nilai-nilai kunci bagi kehidupan
orang Indonesia. Bangsa ini selalu menjunjung tinggi hubungan kemitraan dan
menghindari adanya konflik sosial di antara warga bangsa serta menjaga
keharmonisan.
Untuk memperlihatkan adanya penghormatan, senioritas menjadi
sangat berarti dalam mencapai kesepakatan. Kerja sama dan saling melindungi
telah lama muncul bersama-sama dengan peradaban manusia, karena kerja sama
merupakan tata kehidupan sosial masyarakat atau kelompok-kelompok manusia dalam
rangka mempertahankan hidupnya.
Dalam menjalankan organisasi, baik itu
organisasi pemerintahan maupun organisasi swasta, pemimpin memegang peranan
yang sangat penting. Karena itu, pemimpin dinilai akan membawa orang lain
menuju gerbang yang dicita-citakan.
Seorang pemimpin diibaratkan sebagai petani bebek, dengan
tongkatnya yang panjang, mampu membawa bebek-bebek itu ke tempat yang
diinginkan. Seluruh bebek tekun dan ikhlas mengikuti instruksi sang petani
dengan baik, sebagai cerminan suatu tim yang kuat, bersatu, dan sangat patuh
kepada komandannya.
Untuk hal-hal tertentu, khususnya yang terkait dengan pengambilan
keputusan penting dan strategis, seorang pemimpin memerlukan adanya konsensus
dari sebuah tim, ketimbang sang pemimpin memutuskannya sendiri. Yang sampai
saat ini masih melekat pada budaya bangsa kita, antara lain menilai tinggi
keharmonisan, hubungan dan etika antar-pribadi dalam interaksi sosial, dan
menginginkan adanya rasa aman, serta menghidari adanya perilaku kekerasan,
konfrontasi, perilaku yang berlebihan, emosional yang semuanya dianggap arogan
serta menjaga sikap sopan dan menghargai orang lain.
Kebiasaan yang sampai saat ini masih terus berkembang, yaitu
menyerahkan semua keputusan penting dan strategis kepada sang pemimpin, dan
pemimpin dianggap sebagai figur seorang ayah dalam hubungan pengambilan
keputusan akhir. Harapan kepada sang pemimpin masih sangat tinggi. Itu berlaku
di semua tingkatan dalam organisasi, baik organisasi kecil maupun besar.
Demikian juga harapan rakyat kepada pemimpin juga sangat besar, sehingga di
alam demokrasi seperti sekarang ini, diperlukan adanya pemimpin yang memberikan
harapan besar kepada rakyatnya, bukan dengan janji-janji kosong, tetapi
janji-janji yang ditepati.
Dengan memperhatikan para pemimpin yang saat ini sedang menikmati
posisinya, yang tidak seluruhnya mampu mengendalikan rakyatnya sebagaimana sang
petani bebek, kita kembali diingatkan kepada (Alm) HM Soeharto, Presiden RI
Ke-2. Dengan gaya kepemimpinan yang sederhana, Pak Harto mampu membawa bangsa
ini ke arah yang lebih sejahtera. Sebagai seorang pemimpin yang mendapat
dukungan rakyat selama 32 tahun, beliau mampu membawa perubahan yang sangat
fundamental.
Persoalan utama yang dihadapi bangsa ini pada awal 1970-an adalah
kemiskinan dan keterbelakangan. Negara kita tergolong negara miskin dan
pendidikan rakyatnya relatif rendah. Merubah negara miskin menjadi negara
berkembang bukan hal yang mudah seperti memutar telapak tangan, tetapi
diperlukan pemimpin yang kredibel, mampu menggerakkan orang lain untuk
melakukan sesuatu, berwibawa dan seperti dikatakan para ahli kepemimpinan dan
manajemen, yakni kharismatik.
Dengan kepemimpinan yang berwibawa, disiplin, tegas, dan
kharismatik yang oleh sebagian orang dianggap diktator, ternyata mampu membawa
bangsa Indonesia keluar dari belenggu kemiskinan. Angka kemiskinan telah mampu
diturunkan, dari 69 persen pada 1970, menjadi sekitar 11 persen di 1998.
Demikian juga masalah pendidikan dan kesehatan, Indonesia terus mengalami
kenaikan yang signifikan.
Pak Harto adalah seorang pemimpin yang dekat dengan rakyat dan
selalu tersenyum di depan rakyatnya dan tidak pernah menunjukkan kemarahan atau
emosi di depan publik. Sehingga, dengan senyum khasnya, rakyat merasa dekat
dengan pemimpinnya, merasa diayomi dan harapan rakyat kepada sang pemimpin
benar-benar diwujudkan. Hubungan rakyat dengan sang pemimpin berjalan dengan
baik, kerukunan antar-umat beragama terjalin dengan sangat harmonis, cita-cita
leluhur untuk membuat rakyat semakin sejahtera mulai terlihat hasilnya.
Dengan muculnya era demokratisasi dan modernisasi, di beberapa
daerah, sifat gotong-royong mulai memudar, penghormatan kepada sang pemimpin
juga mulai berkurang. Banyak pemimpin kehilangan kewibawaan, tidak memiliki
kharisma, sehingga rakyat berjalan sendiri tanpa pengarahan, bagaikan anak
kehilangan figur bapaknya.
Namun, kita perlu bersyukur, Yayasan Damandiri yang dipimpin oleh
Prof Dr Haryono Suyono dan Dr (HC) Subiakto Tjakrawerdaja bekerja sama dengan
berbagai lembaga termasuk perguruan tinggi, pemda, lembaga keuangan dan
organisasi sosial kemasyarakatan telah sepakat menghidupkan kembali budaya
gotong-royong melalui pembentukan dan pengembangan pos pemberdayaan keluarga
(posdaya) di Tanah Air.
Lewat posdaya diharapkan sikap saling peduli,
tolong-menolong, menghormati dan kerja sama di antara anak bangsa dalam upaya
menggapai kesejahteraan bersama, kembali tumbuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar