Tawuran nan
tidak Kunjung Padam
Khoiruddin Bashori ; Psikolog
Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2012
TERBAYANG bagaimana hancur hati Ibu SYT, 57 tahun. Ibu tunggal
yang sudah lama ditinggal wafat suami sejak DY masih dalam kandungan,
mengetahui anak semata wayangnya tewas, menjadi korban tawuran. Pada kasus
sebelumnya, AY juga meninggal. Malah lewat cerita Mendikbud, pembunuhnya merasa
`puas' setelah menewaskan lawan. Banyak media melaporkan, keterangan
saksi-saksi membuat kita semakin terperangah. Setelah menyabet AY, FR
disebut-sebut masih ingin mengejar korban lainnya. FR seakan-akan masih ingin
mencari lebih banyak korban dari pihak lawan.
Jika menyaksikan tragedi tersebut, menyeruak dalam benak kita:
bodoh, disorientasi, egoisme kebablasan, kebanggaan semu, heroisme salah
kaprah, kemiskinan model, pemimpin abai, sekolah cuma mengurus otak, wafatnya
empati, balas dendam, kaderisasi berandal, pendidikan setengah hati, frustrasi
sosial dan seterusnya. Sebenarnya tawuran antarpelajar bukan monopoli DKI.
Berbagai media lokal di sejumlah daerah juga sering memberitakan tindak
kekerasan antarpelajar. Meski tidak semua terekspos, pemberitaan cenderung
hanya mengungkapkan peristiwa yang membawa korban meninggal atau dalam skala
yang cukup besar, sesungguhnya fenomena ini seperti gunung es.
Tampak sedikit di permukaan, namun besar sekali intensitas di bawahnya.
Memang, kekerasan kini merupakan masalah serius dan menjadi
penyebab utama morbiditas dan kematian di kalangan remaja seluruh dunia,
utamanya dalam dua dekade terakhir. Kekerasan yang berhubungan dengan perilaku
seperti tawuran dan membawa senjata dapat menyebabkan konsekuensi serius, baik
fisik maupun psikososial remaja.
Pickett dkk (2005) melaporkan bahwa keterlibatan remaja dalam
perkelahian di Amerika Utara dan Eropa bervariasi antarnegara. Mulai dari 37%
sampai 69% untuk anak laki-laki dan 13% sampai 32% untuk anak perempuan. Yavuz
dkk (2003) melaporkan bahwa prevalensi menjadi sasaran kekerasan pada pelajar
SMA di Istanbul berkisar 23,4% untuk laki-laki dan 10,1% untuk anak perempuan.
Dalam studi lain, dilaporkan bahwa paparan kekerasan fisik dan penggunaan
kekerasan fisik dalam setahun terakhir 2,8 kali lebih tinggi pada perokok dan
semua pengguna narkoba (Inandi dkk. 2009).
Faktor Risiko
Langkah pertama dalam mencegah kekerasan antarpelajar adalah
dengan memahami tingkat dan sifat dari masalah. Memahami besarnya masalah
dilakukan dengan menganalisis data seperti jumlah kekerasan yang terkait
perilaku, cedera, dan kematian. Data dapat menunjukkan frekuensi kekerasan di
sekolah, di mana itu terjadi, dan tren.
Apa yang
sebenarnya terjadi? Diperlukan kajian serius untuk dapat memahaminya secara
lebih komprehensif. Para pemangku kepentingan pendidikan harus mengumpulkan dan
menganalisis data dari berbagai sumber untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
lengkap soal kekerasan ini.
Penelitian tentang kekerasan remaja dapat meningkatkan pemahaman
kita tentang faktor-faktor yang membuat beberapa orang lebih cenderung
melakukan tindak kekerasan. Mengetahui faktor risiko ini juga penting untuk
menganti sipasi kemungkinan terjadinya tawuran antarpelajar. Meskipun
faktor-faktor tersebut tidak selalu merupakan penyebab langsung dari kekerasan
remaja. Menurut kajian The Centers for
Disease Control and Prevention (CDC), Departemen Pendidikan Amerika (2010),
faktor risiko dimaksud meliputi individual
risk factors, relationship risk factors, dan community/societal risk factors.
Termasuk faktor risiko individual kekerasan remaja adalah korban
tindak kekerasan, kurang perhatian, hiperaktif, gangguan belajar, riwayat
perilaku agresif sebelumnya, berkawan dengan rekan-rekan nakal, keterlibatan
dalam geng, pengguna obat-obatan, alkohol, atau tembakau, IQ rendah, prestasi
akademik buruk, rendahnya komitmen terhadap sekolah, kontrol perilaku kurang,
defisit kemampuan sosial, kognitif, atau pengolahan informasi, tingginya
tekanan emosional, keyakinan dan sikap antisosial, penolakan sosial oleh teman
sebaya, paparan kekerasan dan konflik dalam keluarga, serta kurangnya
keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan konstruktif.
Adapun kelompok faktor risiko hubungan antara lain pelecehan,
kendur atau tidak konsistennya praktik pendisi plinan, keterlibatan orang tua
rendah, minimnya ikatan emosional ke orangtua atau pengasuh, pendidikan dan
pendapatan orangtua rendah, penyalahgunaan obat atau kriminalitas orangtua,
buruknya fungsi keluarga (misalnya komunikasi), serta kurangnya pemantauan dan
pengawasan anak. Adapun faktor risiko sosialnya adalah hilangnya peluang
ekonomi, tingginya konsentrasi penduduk miskin, urbanisasi tinggi, banyak
gangguan keluarga, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, dan lingkungan
sosial yang kurang terorganisasi.
Penanganan Sepenuh Hati
Berkaitan dengan itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pada
level individual, untuk mengurangi kekerasan antarpelajar. Program ini dapat
diperuntukkan bagi semua siswa di sekolah, seperti pengendalian emosi,
kesadaran diri, harga diri, keterampilan sosial yang positif, pemecahan masalah
sosial, resolusi konflik nir-kekerasan, dan kerja sama tim. Banyak dari
programprogram semacam ini dapat membantu siswa belajar keterampilan sosial,
dengan meminta mereka mengamati dan berinteraksi dengan orang lain yang
berbeda.
Melalui model pembelajaran yang menarik, keteladanan yang jelas,
dan role-playing, siswa dilatih untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial,
dibiasakan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan diperkuat keyakinan akan
indahnya persahabatan.
Perlu pula dirancang intervensi berbasis orangtua/ keluarga, guna
meningkatkan kualitas hubungan dalam relasi berkeluarga. Belakangan semakin
banyak bukti menunjukkan, intervensi terhadap keluarga, terutama yang dimulai
lebih dini, sangat berperan penting dan memiliki efek jangka panjang dalam
mengurangi perilaku kekerasan. Pemangku kepentingan pendidikan dapat pula
menggunakan mentoring. Mentor adalah relawan yang dipasangkan dengan siswa.
Mereka dapat bertindak sebagai model, menempatkan diri sebagai peran pendukung
yang tidak menghakimi. Penelitian menunjukkan, ketika mentoring diimplementasikan
dengan benar dapat mengurangi perilaku kekerasan secara signifikan, menurunkan
kemungkinan penggunaan narkoba, dan meningkatkan kualitas hubungan dengan
orangtua.
Pada level komunitas, kata Dahlberg dan Butchart (2005), perlu dilakukan
modifikasi karakteristik masyarakat, termasuk pengaturan sekolah agar dapat
menghambat perkembangan perilaku kekerasan. Sekolah hendaknya melakukan
berbagai upaya menyeluruh untuk memperbaiki lingkungan dan mengurangi hasil
negatif, seperti kekerasan. Ini termasuk praktik pengelolaan kelas yang lebih
baik, mengembangkan teknik pembelajaran kooperatif, pemantauan perkembangan
siswa secara lebih dekat, dan mengurangi perilaku bullyling dengan melibatkan
orangtua.
Selain lingkungan sosial sekolah, penelitian juga menunjukkan
bahwa desain lingkungan yang tepat dapat mengurangi kejahatan dan ketakutan.
Lingkungan yang dirancang dengan baik dapat meningkatkan kualitas hidup secara
keseluruhan. Diperlukan pula strategi baru untuk mengubah lingkungan masyarakat
yang lebih luas, seperti meningkatkan partisipasi masyarakat, memberikan
kegiatan lebih bagi kaum muda melalui program afterschool, kesempatan rekreasi, mengurangi akses remaja terhadap
alkohol dan obat-obatan, serta meningkatkan pendapatan, perumahan, dan
kesempatan kerja di daerah-daerah miskin.
Kabar Gembira
Dari DKI tersiar kabar, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI sepakat akan membentuk tim khusus
untuk menangani permasalahan tersebut. DPRD akan membentuk tim khusus yang
terdiri dari beberapa perwakilan Komisi E dengan instansi terkait, termasuk
pihak eksekutif. Meski masih ad hoc, setidaknya ini menunjukkan niatan yang
lebih serius dalam menyelesaikan masalah tawuran nan tak kunjung padam.
Dalam skala yang lebih luas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Mohammad Nuh yakin fenomena tawuran antarpelajar dapat dihentikan
dengan dukungan semua pihak, termasuk di dalamnya peran serta masyarakat.
Nuh mengaku akan menggunakan segala cara untuk menghentikan tawuran. Tak peduli
siapa yang menghadang, dan berapa pun biaya yang diperlukan, intinya tawuran
harus dapat dihentikan. Keyakinan ini patut diapresiasi. Namun, yakin saja
tentu tidak cukup, diperlukan semacam reformasi pendidikan nasional secara
lebih sistemik dan radikal. Apa yang terjadi belakangan ini, bagi yang memiliki
kepekaan nurani, sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan gagalnya pendidikan
nasional mengembangkan budi siswa yang welas-asih
dan peduli. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar