Percayakan
kepada Pelajar
Menyelesaikan
Masalahnya Sendiri
Utomo Dananjaya ; Direktur Institute for Education
Reform Universitas Paramadina
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2012
DALAM pemberitaan tentang tawuran pelajar belakangan ini tergambar
bahwa pemecahan masalah terhadap kejadian tawuran itu didekati sebagai
peristiwa `kejahatan' yang harus mendapat hukuman yang setimpal sebagai upaya
menegakkan hukum. Dalam hal ini, baik Menteri Pendidikan maupun para pakar
pendidikan cenderung menanggapi tawuran sama dengan polisi menanggapi tawuran.
Polisi sebagaimana tugasnya mengatasi masalah kriminal ialah
dengan menginvestigasi, menggugat, dan kemudian menyerahkan ke pengadilan.
Sejalan dengan itu, Menteri Pendidikan dan pakar pendidikan juga berpandangan
agar pelaku ditindak tegas atas kesalahannya. Sementara itu, anggota DPR
menambahkan daftar yang dituntut untuk turut bertanggung jawab, yaitu kepala
sekolah, kepala dinas pendidikan, dan guru. Tampaknya, banyak pihak sudah lupa
bahwa pendekatan keamanan dan pendekatan pendidikan adalah dua hal yang
berbeda.
Tugas polisi menurut UUD `45 Pasal 30 ayat 4 berbunyi `Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum'. Adapun, Pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2005 menya
takan bahwa `Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan
dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual ke agamaan, penguasaan diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia. dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara'.
Dua kutipan pasal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan keamanan
berbeda dengan pendekatan pendidikan. Sayangnya, ketika menanggapi tawuran yang
berurutan terjadi di Jakarta akhir-akhir ini, Menteri Pendidikan malah berlaku
sebagai polisi, ikut menginterogasi pelaku di kantor polisi. DPR juga
mengomentari bahwa yang salah dalam peristiwa ini bukan hanya polisi atau
intelijen, melainkan juga guru, kepala sekolah, dan kepala dinas pendidikan
yang tidak berbuat apa apa, bahkan dipandang sama lalainya atau tidak pedulinya
dengan intelijen kepolisian.
Sebagaimana dilaporkan oleh Kompas (27 September 2012), Mendikbud
ikut `berbincang' dengan pelaku di Kantor Polres Jakarta Selatan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaan dijawab oleh pelaku bahwa
dirinya merasa puas telah membunuh korban. Hal itu menimbulkan keterkejutan Pak
Menteri sehingga beliau mengajukan pertanyaan penegasan apakah memang hanya
kepuasan yang dirasakan oleh pelaku. Lalu, pelaku menambahkan bahwa dia juga
menyesal. Pada kesempatan tersebut, Mendikbud menyimpulkan bahwa sanksi hukum
bagi anak-anak yang terlibat kriminal, termasuk tawuran, harus ditegakkan.
Selanjutnya, Mendikbud menyatakan, “Sekolah perlu dibantu karena
menerima beban luar biasa tidak hanya mendidik, tapi juga mengubah perilaku sosial
siswa yang berat“. Bantuan seperti apa? Mendikbud hanya menyatakan bahwa
dirinya `sedang berupaya memikirkan solusi untuk mengatasinya'.
Dari jawaban Mendikbud itu, kita mendapat kesan bahwa skenario
pemecahan masalah yang paling jelas hanyalah dengan pendekatan keamanan. Adapun
pendekatan pendidikan seolah-olah tidak memiliki skenario yang jelas sehingga
Mendikbud pun mengatakan baru akan memikirkannya. Padahal, pengertian
pendidikan menurut undang-undang di atas telah memberi petunjuk umum bahwa
peserta didik harus difasilitasi untuk mengembangkan potensinya sendiri melalui
suasana belajar dan proses pembelajaran. Jadi, peserta didiklah yang harus
memproses pemecahan masalah melalui proses pembelajaran dan suasana
pembelajaran yang difasilitasi oleh pendidik/guru.
Skenario Pemecahan Masalah
Agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya sendiri, PP 19
Tahun 2005 Pasal 19 tentang standar proses telah mengatur sebagai berikut,
`Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik'.
Standar proses itulah yang seharusnya menjadi skenario pemecahan
masalah dari segi pendekatan pendidikan. Jadi, biarkan polisi menyelesaikan masalah
tawuran ini sesuai dengan skenarionya dalam pendekatan keamanan. Adapun, bagi
Mendikbud sendiri, jika ingin membantu sekolah dalam memecahkan masalah itu,
fasilitasilah sekolah untuk dapat menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan
skenario standar proses ini. Proses tersebut mengutamakan perlunya ditumbuhkan
dan dihormatinya prakarsa murid sehingga timbul keyakinan dari peserta didik
bahwa dia dipercaya untuk memecahkan masalah.
Anak yang diberi kepercayaan oleh orang-orang di sekitarnya (guru,
orangtua, dan orang dewasa lain) akan merasa berbahagia dalam berkembang.
Kebahagiaan dalam belajar ini akan mendorong mereka untuk mandiri dan percaya
pada kemampuan dirinya karena mereka yakin bahwa apa pun yang mereka prakarsai
akan didukung oleh orang-orang penting di sekitar mereka. Hal itu sejalan
dengan prinsip reformasi pendidikan bahwa untuk menumbuhkan individu sebagai
pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya, maka peserta didik perlu
dibantu untuk bisa terintegrasi dengan lingkungan sosial kulturalnya.
Untuk mencapai itu perlu dilakukan proses penahapan aktualisasi
intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu,
mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal sampai tahapan yang
paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan
lingkungan kulturalnya.
Jadi, dasar skenario pemecahan masalah dengan pendekatan
pendidikan ialah (1) peserta didik harus menjadi subjek yang dicintai sehingga
menimbulkan rasa bahagia pada anak-anak, (2) peserta didik harus menjadi subjek
yang diberi kepercayaan sehingga menimbulkan kemandirian pada anak, dan (3)
peserta didik harus menjadi subjek yang diberi kesempatan bekerja sendiri
sehingga menimbulkan prakarsa dalam memecahkan masalah sendiri dan bertanggung
jawab.
Kalau saja guru diberi kesempatan dan ditingkatkan kemampuannya
untuk dapat melakukan tiga hal di atas dan kepala sekolah, birokrasi
pendidikan, Menteri Pendidikan, dan DPR dapat memahami skenario di atas, maka
kita tidak perlu lagi memikirkan solusi dengan pendekatan keamanan, seperti
membentuk satgas. Satgas tidak akan memecahkan masalah, tetapi hanya akan
menimbulkan masalah baru.
Pembentukan satgas yang direncanakan pemerintah pada dasarnya
bertentangan dengan wujud dari pelaksanaan skenario di atas, yaitu pemberian
kepercayaan kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah tawuran itu
sendiri dengan difasilitasi oleh guru.
Kini saatnya kita memberikan kesempatan kepada para peserta didik
menciptakan prakarsa untuk memecahkan persoalan tersebut. Sebagai contoh,
mereka dapat memprakarsai kegiatan diskusi, penelitian, lomba debat, dan
sebagainya yang diselenggarakan dari murid, oleh murid, dan untuk murid.
Pembinaan Kompetensi Guru
Dengan uraian tersebut, menjadi jelas pula arah untuk membina
kompetensi guru, yaitu kompetensi mencintai anak, memercayai anak, dan memberi
kesempatan kepada anak. Tiga kompetensi itu menjadi senjata utama bagi
reformasi pendidikan dengan mendahulukan proses pembelajaran yang menciptakan
manusia sebagai subjek yang berbudaya dan memperbarui pandangan terhadap anak.
Pesan-pesan dari atas harus selalu mengandung tiga hal tersebut. Apabila
diperlukan, satu lagi yang pokok ialah peserta didik harus dikembangkan sebagai
subjek yang berpikir logis, sistematis, kritis, dan kreatif.
Apabila pesan-pesan yang diterima oleh guru seperti itu, dengan
sendirinya mereka dapat membedakan pendekatan pendidikan dengan pendekatan
keamanan. Pendidik tidak akan pernah ingin menghukum dan tidak terlibat dengan
proses menghukum yang dilakukan oleh polisi. Itulah yang disebut dengan
menghargai atau memahami hak asasi anak-anak.
Pembinaan guru pun menjadi lebih sederhana, yaitu pengembangan
kompetensi mencintai (bukan menghukum), kompetensi memberi kepercayaan (bukan
menggurui), kompetensi memberi kesempatan (bukan mematikan prakarsa). Hal
itulah yang seharusnya juga disadari oleh para kepala sekolah, birokrat
pendidikan, dan Menteri Pendidikan.
Seharusnya tiga atau empat skenario tersebut sudah dimulai sejak
UU Sisdiknas yang baru diundangkan. Tapi, kita tahu bahwa kebijakan pendidikan
yang dijalankan oleh penanggung jawab pengelola pendidikan (Mendikbud) sering
kali mengandung pesan yang tidak konsisten dengan skenario pendidikan menurut
UU Sisdiknas No 20/2005.
Kebijakan yang dirumuskan di luar undang-undang, seperti peraturan
pemerintah dan permendiknas, masih mengandung unsur-unsur yang dianggap tidak
relevan dengan pembaruan. Permendiknas No 22 tentang Standar Isi, misalnya,
masih berorientasi pada materi pendidikan atau mata pelajaran.
Menurut Kepala Badan Litbang Depdikbud pada 1999 dalam pengantar
hasil penelitian potret kurikulum 1994, kurikulum harus berorientasi pada basic competencies. Kurikulum 1994 yang
berorientasi pada materi pendidikan sudah harus ditinggalkan karena telah
terjadi perubahan fundamental dalam kurikulum setelah terjadi reformasi dalam
masyarakat Indonesia. Jadi, peristiwa tawuran yang sangat meresahkan kita semua saat ini
mudah-mudahan menjadi pengingat bagi kita untuk menghidupkan kembali semangat
reformasi pendidikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar