Rekonsiliasi
Tragedi 1965
Singgih Nugroho ; Peneliti dari Lembaga Percik Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 01 Oktober 2012
KOMNAS HAM
(periode 2007-2012) merilis hasil penyelidikan pelanggaran berat hak asasi
manusia (HAM) terkait dengan tragedi 30 September 1965. Mereka menyatakan
terdapat cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan
kemanusiaan yang bisa dikategorikan pelanggaran berat kemanusiaan.
Lembaga itu memerinci bentuk-bentuk kejahatan tersebut, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan secara paksa penduduk, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. (Kompas, 24/07/12 dan SM, 27/08/12).
Lembaga itu memerinci bentuk-bentuk kejahatan tersebut, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan secara paksa penduduk, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. (Kompas, 24/07/12 dan SM, 27/08/12).
Laporan itu juga
menyebutkan pelaku meliputi individu/para komandan militer pembuat kebijakan,
yakni Pangkopkamtib (periode 1965-1969 dan 19 September 1969-akhir 1978), serta
komandan yang memiliki kontrol efektif terhadap anak buah, yaitu para pangdam
(periode 1965-1969 dan 1969-1978).
Selain itu, individu, komandan, anggota kesatuan sebagai pelaku di lapangan, serta komandan dan aparatur di inrehab, tempat tahanan, tempat penyiksaan, dan rumah tahanan militer. Komnas merekomendasikan Kejakgung untuk menindaklanjuti temuan tersebut melalui mekanisme penyidikan (yudisial) dan nonyudisial, demi keterpenuhan rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
Hasil penyelidikan Komnas patut mendapat apresiasi sebagai upaya menjaga asa dalam meluruskan sejarah kelam. Meski peristiwa itu terjadi 47 tahun silam, sampai sekarang masih mewariskan kekaburan sejarah. Kekaburan, tepatnya pengaburan itu terutama berkaitan dengan siapa pelaku utama dan pelupaan dampak ikutan dari peristiwa tersebut.
Laporan Komnas HAM ini bisa dimaknai sebagai antitesis terhadap versi resmi rezim Orba yang menyatakan PKI sebagai dalang tunggal, dan menempatkan korban pembunuhan tersebut sebagai dampak dari konflik horizontal semata, dengan menghilangkan peran atau keterlibatan negara.
Wacana Antikomunis
Upaya meluruskan sejarah, dan juga menghormati martabat kemanusiaan, tidak mudah dilakukan terutama berkait masih kuatnya wacana antikomunisme. Salah satu indikasi itu terlihat dari polemik berbagai pihak dalam merespons hasil penyelidikan Komnas.
Respons kalangan penolak misalnya, terlihat dari pernyataan salah seorang Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yang meminta semua pihak tak lagi membuka sejarah kelam tersebut karena akan membuat berbagai peristiwa yang lain ikut dibuka.
Sebaliknya, kalangan korban dan pegiat HAM justru merespons positif temuan tersebut, dan berharap pemerintah, melalui Kejakgung, menindaklanjuti rekomendasi Komnas demi kepentingan pelurusan sejarah, pengakuan HAM (rehabilitasi) korban, dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban (Kompas, 25/07/12).
Sedikit harapan datang dari pemerintah, Presiden SBY merespons positif, bahkan menginstruksikan Kejakgung menindaklanjutinya karena pemerintah tak ingin berutang sejarah kepada rakyat, terlebih terkait pelanggaran berat HAM (kompas, 25/07/12). Dalam perkembangan baru, Kejagung menyatakan sudah membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti temuan Komnas (SM, 28/09/12).
Terkait tantangan, Syarikat Indonesia, NGO yang aktif mendorong rekonsiliasi antara pelaku dan korban di tingkat akar rumput, melalui rilisnya (31/7 dan 16/8) berpendapat, penyelesaian lewat jalur hukum terbentur ketiadaan regulasi yang memadai mengingat baru ada UU dan pengadilan HAM, serta model keadilan transisional yang memadukan pengadilan dan pengampunan seperti dalam KKR (UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan oleh MK pada 2006).
Komitmen Politik
Sebenarnya, penyelesaian lewat jalur nonyudisial atau politik, sangat mungkin dilakukan secara cepat tetapi memerlukan kemauan politik besar dari Presiden mengingat peristiwa 1965-1966 masih akan menimbulkan kontroversi, baik dari institusi negara, khususnya TNI, maupun kelompok masyarakat yang belum memahami perlunya penyelesaian masa lalu. Selain itu, keberadaan Tap MPRS XXV Tahun 1966 sebagai produk politik masa lalu, belum dihapus yang bisa dianggap sebagai tonggak dari keabsahan pelanggaran HAM tahun 1965-1966.
Dengan tantangan itu, Syarikat Indonesia mendorong SBY mencontoh sikap PM Australia yang membuat permohonan maaf di DPR terkait pelanggaran berat HAM bagi kaum Aborigin, setelah ada studi dari tim independen. Sejajar dengan situasi itu, kita berharap Presiden membuat pengakuan atas kejadian pelanggaran HAM itu, dilanjutkan dengan meminta maaf. Gagasan ini bisa terwujud jika ada komitmen kuat darinya.
Aswi Warman Adam pernah menyatakan yang perlu dipahami dalam tragedi 1965 itu adalah peristiwa itu sedemikian kompleks yang berakibat konflik horizontal dan menelan korban begitu besar. Artinya bukan sekadar peristiwa 30 September-1 Oktober saat terbunuhnya para jenderal dan perwira Angkatan Darat, melainkan juga serangkaian pembunuhan massal di Jateng dan Jatim, dengan lebih dari 0,5 juta korban.
Keberhasilan gugatan korban dan keluarga korban pembantaian Rawagede tahun 1947 terhadap pemerintah Kerajaan Belanda diharapkan bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah RI dalam menyikapi kekerasan tahun 1965. Tentu kita tidak berharap upaya penyelesaian pelanggaran HAM ini akan dilakukan oleh Mahkamah International. ●
Selain itu, individu, komandan, anggota kesatuan sebagai pelaku di lapangan, serta komandan dan aparatur di inrehab, tempat tahanan, tempat penyiksaan, dan rumah tahanan militer. Komnas merekomendasikan Kejakgung untuk menindaklanjuti temuan tersebut melalui mekanisme penyidikan (yudisial) dan nonyudisial, demi keterpenuhan rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
Hasil penyelidikan Komnas patut mendapat apresiasi sebagai upaya menjaga asa dalam meluruskan sejarah kelam. Meski peristiwa itu terjadi 47 tahun silam, sampai sekarang masih mewariskan kekaburan sejarah. Kekaburan, tepatnya pengaburan itu terutama berkaitan dengan siapa pelaku utama dan pelupaan dampak ikutan dari peristiwa tersebut.
Laporan Komnas HAM ini bisa dimaknai sebagai antitesis terhadap versi resmi rezim Orba yang menyatakan PKI sebagai dalang tunggal, dan menempatkan korban pembunuhan tersebut sebagai dampak dari konflik horizontal semata, dengan menghilangkan peran atau keterlibatan negara.
Wacana Antikomunis
Upaya meluruskan sejarah, dan juga menghormati martabat kemanusiaan, tidak mudah dilakukan terutama berkait masih kuatnya wacana antikomunisme. Salah satu indikasi itu terlihat dari polemik berbagai pihak dalam merespons hasil penyelidikan Komnas.
Respons kalangan penolak misalnya, terlihat dari pernyataan salah seorang Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yang meminta semua pihak tak lagi membuka sejarah kelam tersebut karena akan membuat berbagai peristiwa yang lain ikut dibuka.
Sebaliknya, kalangan korban dan pegiat HAM justru merespons positif temuan tersebut, dan berharap pemerintah, melalui Kejakgung, menindaklanjuti rekomendasi Komnas demi kepentingan pelurusan sejarah, pengakuan HAM (rehabilitasi) korban, dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban (Kompas, 25/07/12).
Sedikit harapan datang dari pemerintah, Presiden SBY merespons positif, bahkan menginstruksikan Kejakgung menindaklanjutinya karena pemerintah tak ingin berutang sejarah kepada rakyat, terlebih terkait pelanggaran berat HAM (kompas, 25/07/12). Dalam perkembangan baru, Kejagung menyatakan sudah membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti temuan Komnas (SM, 28/09/12).
Terkait tantangan, Syarikat Indonesia, NGO yang aktif mendorong rekonsiliasi antara pelaku dan korban di tingkat akar rumput, melalui rilisnya (31/7 dan 16/8) berpendapat, penyelesaian lewat jalur hukum terbentur ketiadaan regulasi yang memadai mengingat baru ada UU dan pengadilan HAM, serta model keadilan transisional yang memadukan pengadilan dan pengampunan seperti dalam KKR (UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan oleh MK pada 2006).
Komitmen Politik
Sebenarnya, penyelesaian lewat jalur nonyudisial atau politik, sangat mungkin dilakukan secara cepat tetapi memerlukan kemauan politik besar dari Presiden mengingat peristiwa 1965-1966 masih akan menimbulkan kontroversi, baik dari institusi negara, khususnya TNI, maupun kelompok masyarakat yang belum memahami perlunya penyelesaian masa lalu. Selain itu, keberadaan Tap MPRS XXV Tahun 1966 sebagai produk politik masa lalu, belum dihapus yang bisa dianggap sebagai tonggak dari keabsahan pelanggaran HAM tahun 1965-1966.
Dengan tantangan itu, Syarikat Indonesia mendorong SBY mencontoh sikap PM Australia yang membuat permohonan maaf di DPR terkait pelanggaran berat HAM bagi kaum Aborigin, setelah ada studi dari tim independen. Sejajar dengan situasi itu, kita berharap Presiden membuat pengakuan atas kejadian pelanggaran HAM itu, dilanjutkan dengan meminta maaf. Gagasan ini bisa terwujud jika ada komitmen kuat darinya.
Aswi Warman Adam pernah menyatakan yang perlu dipahami dalam tragedi 1965 itu adalah peristiwa itu sedemikian kompleks yang berakibat konflik horizontal dan menelan korban begitu besar. Artinya bukan sekadar peristiwa 30 September-1 Oktober saat terbunuhnya para jenderal dan perwira Angkatan Darat, melainkan juga serangkaian pembunuhan massal di Jateng dan Jatim, dengan lebih dari 0,5 juta korban.
Keberhasilan gugatan korban dan keluarga korban pembantaian Rawagede tahun 1947 terhadap pemerintah Kerajaan Belanda diharapkan bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah RI dalam menyikapi kekerasan tahun 1965. Tentu kita tidak berharap upaya penyelesaian pelanggaran HAM ini akan dilakukan oleh Mahkamah International. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar