Minggu, 14 Oktober 2012

Idola


Idola
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 14 Oktober 2012
  

Audria, cucu saya, punya idola. Seperti ABG cewek lain, idolanya adalah Justin Bieber atau JB. Kamarnya penuh poster JB dan sepatunya yang buat ke sekolah (kecuali hari Senin) adalah sepatu lukis yang bertuliskan judul-judul lagu JB.

Pokoknya, yang namanya idola, pasti bener semua. Kalau mau mengganggu dia, saya plesetkan JB menjadi Juragan Bebek atau Juara BAB (Buang Air Besar), waaah, marahnyaaa.... Tapi idola seperti itu tidak bertahan untuk selamanya. Dulu semasa ABG, istri saya mengidolakan James Dean (JD), bintang film Holywood yang guantengnya pol! Sayang JD mati muda karena kecelakaan moge (motor gede).

Kamar tidur istri saya konon juga pernah dipenuhi dengan poster-poster JD. Tapi sekarang tidak ada lagi poster JD di kamarnya karena sudah berganti dengan foto-foto saya atau kami berdua atau sekeluarga (ehm ...). Sama saja dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini semua sedang mengidolakan KPK. Semua yang dikatakan pimpinan atau Jubir KPK pasti benar dan kalau ada yang berani ngomong tidak sejalan dengan KPK, semua orang pasti marah, persis seperti Audria yang marah ketika saya ganggu. Tapi pengidolaan kepada KPK tidak berhenti pada tingkat individu seperti pengidolaan Audria kepada JB.

Lama-kelamaan pengidolaan terhadap KPK menjadi pendapat umum dan idolanya bergeser dari KPK ke idola publik atau massa itu sendiri. Saat ini kalau orang di pinggir jalan, bahkan anak-anak, ditanya mana yang benar, KPK atau polisi, 90% jawabannya pasti KPK, termasuk mereka yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Begitu dahsyatnya pengaruh idola pada pendapat publik ini sehingga pagi hari sebelum Presiden SBY menyampaikan perintah intervensinya dalam kasus KPK versus Polri, pada Senin malam tanggal 8 Oktober 2012 yang lalu saya sudah nge-tweet bahwa ”berani taruhan, arahan Presiden SBY pasti sama dengan pendapat publik” karena kalau tidak, Presiden sendiri akan menjadi sasaran kemarahan massa. Copernicus (1473–1543), seorang astronom Italia, adalah penemu teori heliosentris.

Matahari adalah pusat, bumi dan planet-planet lain mengelilingi matahari, bukan matahari yang mengelilingi bumi seperti kepercayaan publik waktu itu. Di zaman itu, Copernicus langsung dimusuhi rekan-rekan sendiri sesama ilmuwan yang mengatakan bahwa Copernicus membuat teori yang salah dan bohong (istilah salah kaprah zaman sekarang: kebohongan publik).

Penerusnya, astronom Italia pula, Gallileo Gallilei (1564–1642), yang juga mengeluarkan teori heliosentris, bahkan disidang oleh gereja, didakwa telah menyebarkan kebohongan kepada masyarakat yang masih percaya pada mitos bumi adalah sentral, lalu dikenai tahanan rumah seumur hidup dan dikucilkan oleh gereja selama 300 tahun. Padahal sekarang anak PAUD (pendidikan anak usia dini, dulu namanya taman kanak-kanak atau kelompok bermain) pun paham bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Orang yang berpendapat bahwa matahari mengelilingi bumi saat ini pasti akan ditertawakan masyarakat.

Peristiwa sejarah itu membuktikan bahwa idola-idola, walaupun bisa jadi benar, bisa salah juga. Karena itu, seorang filsuf Inggris bernama Sir Francis Bacon (1521–1626) mengatakan bahwa untuk mencapai kebenaran yang objektif, baik ilmuwan maupun awam harus menghindari pengidolaan terhadap apa pun. Ada empat macam idola sebagaimana dimaksud oleh Bacon. Dua di antaranya sudah disebutkan di atas, yaitu idola teatri dan idola fori. Idola teatri (dari kata teater, panggung) adalah mengidolakan tokoh tertentu seperti yang dilakukan Audria terhadap JB. Atau ketika PRT (pembantu rumah tangga) mengidolakan tokoh-tokoh sinetron di TV.

Kalau pada suatu hari si PRT itu kebetulan bertemu dengan pemain tokoh antagonis di mal, bisa jadi si PRT akan memaki tokoh antagonis itu (yang sedang jadi orang biasa) karena di sinetron dia sudah menyakiti tokoh protagonis yang diidolakan. Idola fori (dari kata ”forum”, sidang, jamaah) adalah mengidolakan apa yang dianggap benar oleh orang banyak, publik, atau massa. Ketika semua orang percaya bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi, maka itulah dia kebenaran yang sesungguhnya dan yang lain tidak benar.

Idola ketiga adalah idola specus, yaitu mengidolakan diri sendiri. Menganggap diri sendiri yang benar, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Kalau anggapan benar sendiri individual itu dinaikkan menjadi anggapan benar kelompok sendiri, maka namanya idola tribus (dari kata tribe, suku, kelompok etnik, golongan). Itulah yang terjadi pada kasus-kasus tawuran antarsekolah atau konflik antaragama atau antaretnik maupun tawuran pilkada. Masing-masing mau menang sendiri, maka tawuranlah mereka.

Pandangan Bacon itu kemudian membuka jendela ilmu pengetahuan yang semula sangat didominasi gereja Katolik, sangat tertutup, dan bercampur dengan mitos serta takhayul. Ilmu pengetahuan sekarang menjadi terbuka dan berkembang luar biasa pesat sejak abad pertengahan itu sehingga sekarang kita, misalnya, bisa naik mobil, naik kapal terbang, dan bekerja di ruang berpendingin udara (AC). Tapi kalau kita tidak mau melepaskan diri dari idola-idola itu, tidak berani tampil beda, mau main gampang atau amannya saja, kita akan terus-menerus dipermainkan oleh idola-idola itu dan zaman sekarang idola itu bisa direkayasa melalui teknologi media massa maupun media sosial.

Tentu saja bukan maksud saya untuk mengkritik pidato SBY dalam kaitan kasus KPK versus Polri. Sangat boleh jadi beliau benar, saya pun cenderung mengatakan bahwa keputusan-keputusan beliau sejauh ini sudah sesuai dengan apa yang saya ketahui walaupun pengetahuan saya pun hanya bersumber pada media massa (idola fori). Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita semua, khususnya para ilmuwan, pemimpin masyarakat, termasuk para pemuka agama, harus tetap kritis terhadap apa pun.

Karena kekritisan itulah, dalam ilmu fisika, Einstein bisa memperbaiki teori Newton dan Kapra memperbaiki teori Einstein. Dengan begitu sekarang kita tahu bahwa benda-benda tidak terdiri atas molekul-molekul yang masif (teori Newton), melainkan di dalam molekul itu masih ada atom dan di dalam atom ada energi yang dinamis (teori fisika kuantum dari Kapra). Energi itu bisa dipecah-pecah dan dipadatkan begitu rupa sehingga kita bisa memperkecil benda sampai sepersekian puluh ribu kalinya.

Itulah sebabnya hari ini kita bisa menelepon, memotret, membuat film, mengirim teks, mencatat agenda, dan menghitung via kalkulator hanya dengan alat supermungil yang namanya HP. Jadi marilah sejak sekarang kita serukan, ”Say NO to idola.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar