Idealisme:
Kuburan Massal Kaum Jurnalis
(Catatan
untuk Ignatius Haryanto)
Edy A Effendi ; Penulis
Puisi dan Pewarta Bergiat di Padepokan Thaha
|
KOMPAS,
07 Oktober 2012
Idealisme selalu saja jadi tameng kaum
jurnalis. Seolah-olah dengan mengusung idealisme, ia bisa bicara apa saja soal
kabar dunia. Tapi benarkah dalam arus hidup yang penuh gejolak saat ini,
idealisme masih dipegang teguh kaum jurnalis?
Idealisme bersandar pada ide, dunia di dalam
jiwa. Pikiran ini meletakkan hal-hal yang bersifat ide dan menempatkan
pernik-pernik yang bersifat materi, fisik, ke dalam kasta terendah. Idealisme
menganggap semua realitas yang terdiri dari ruh, jiwa, ide, pikiran-pikiran,
menjadi konstanta yang agung dalam orkestra hidup manusia. Sebagai konstanta,
sebuah ketetapan yang tetap, di dalamnya dibingkai satu nilai yang bernama
moralitas. Seluruh gerak jurnalis sebagai pewarta harusnya berpijak pada
tataran ini. Tataran moralitas.
Pikiran ini mengandaikan bahwa jurnalis harus
bertumpu pada kehendak kalbu, kehendak yang melihat fakta sebagai sebuah
berita. Maknanya, berita yang dilansir ke publik melalui layar kaca bernama
televisi atau media cetak itu menyandarkan diri pada kaidah-kaidah moralitas. Moralitas
selalu saja menguar sisi baik dan sisi kebenaran, bukan sisi rekayasa.
Sayangnya, dalam arus pergerakan berita,
jurnalis tak berdiri sendiri. Ia ditopang satu instrumen yang bernama institusi
media. Institusi media ini memiliki akar kepentingan beraneka ragam dan aneka
ragam kepentingan itu terkait erat dalam bisnis media. Institusi media sudah
jadi industri, di mana kepentingan pemilik modal bisa mengerangkeng idealisme
jurnalis. Pada titik ini, idealisme menjadi kuburan massal kaum jurnalis.
Peran Kenabian
Ketika idealisme menjadi kuburan massal kaum
jurnalis, maka pertanyaan Ignatius Haryanto, Sosok Jurnalis di Layar Kaca
(Kompas, 30/9), apakah profesi kewartawanan masih relevan untuk masyarakat
zaman sekarang, menjadi pertanyaan urgen untuk dijawab.
Kaum jurnalis, pewarta, sebenarnya memerankan
peran kenabian. Para nabi dan para santo selalu membawa kabar berita berisi
soal fakta-fakta hidup yang dibingkai aura kebenaran. Kabar berita para nabi
dan santo itu bukan saja menjadi magnet publik, melainkan sekaligus menjadi
panutan warga dalam menjalani laku hidup sehari-hari.
Dalam pusaran hidup para nabi dan orang suci
yang disebut santo itu tak ubahnya menjalankan peran sebagai pewarta. Mereka
menyuplai beberapa fakta hidup agar ada perubahan mendasar dalam konstelasi
kehidupan masyarakat.
Kaum jurnalis atau pewarta sejatinya
memerankan lakon kenabian, di mana fakta-fakta obyektif di lapangan diungkap,
dibedah, dan diberdayakan untuk konsumsi publik. Publik sebagai konsumen berhak
menerima fakta-fakta obyektif itu sebagai menu kehidupan. Maka, ketika Ignatius
menyitir perilaku negatif pewarta yang menyalahgunakan fungsi dan kekuasaan
yang mereka miliki, klaim dan stigma jurnalis sebagai penjahat tak bisa
dihindari.
Jurnalis dengan kekuasaannya mampu mendikte,
membentuk opini dan menggiring publik masuk dalam perangkap berita yang
disebar. Dan jika berita yang disebar penuh kebohongan dan rekayasa, publik pun
akan hanyut dalam perangkap berita sang jurnalis itu.
Sayangnya, contoh yang kurang baik ini diperagakan
banyak kaum jurnalis dalam berbagai segmen berita di layar kaca. Dengan
kekuasaannya, ia mampu mendikte acara-acara talkshow, dialog soal hukum dan
politik, berbincang soal peradaban. Sebuah dialog atau talkshow yang sudah dibangun dan didesain sedemikian rupa untuk
membentuk opini publik.
Dengan demikian, pertanyaan Ignatius
menemukan jawabannya, profesi kewartawanan tak lagi menjadi relevan dalam
konteks zaman sekarang jika di dalamnya bertebaran berita rekayasa. Berita yang
direkayasa hanya untuk mencari sensasi, menebar berita eksklusif semu. Kita
sudah mendengar, melihat, dan membaca berita penculikan yang direkayasa hanya
untuk menaikkan pamor stasiun televisi terkait. Kita juga sudah bisa melihat
fakta gambar penyerbuan teroris yang ”dimainkan” dan publik juga tak bodoh
melihat fakta sebuah acara dialog yang dikemas atas permintaan partai politik
tertentu.
Partai politik sudah mengerangkeng begitu
jauh program televisi. Inilah risiko jika para pemodal, pemilik stasiun
televisi sekaligus menjadi kamerad partai politik. Televisi menjadi banal
karena berbagai kepentingan masuk di dalamnya. Kepentingan yang tak punya tali
temali dengan segmen berita.
Maka, jangan berharap bisa menemukan kembali
para pewarta melakukan peran kenabian dan peran para santo. Kita merindukan
sosok santo seperti Ignatius yang hidup di zaman Kaisar Trajan. Santo Ignatius
dihukum mati karena dianggap memprovokasi warga untuk melawan penguasa Trajan.
Tetapi, sejatinya, pamor Santo Ignatius sudah membuat kecut para elite penguasa
waktu itu. Sebagai Uskup Antiokia selama 40 tahun, dapat dipastikan bahwa pada
masa akhir hidupnya, Santo Ignatius telah menjalankan peran sebagai pewarta
dengan baik. Peran yang seharusnya diambil alih para pewarta dalam mengibarkan
bendera kebenaran.
Lantas, apa yang bisa diharapkan dari posisi
pewarta jika sudah direduksi oleh kekuasaan di luar pagar dirinya? Reduksi
selalu mengambil alih hak pribadi, ruang privat ke dalam ruang kolektif.
Mungkinkah ruang kolektif itu masih bisa mengambil peran bersama soal hak
publik?
Antara pernyataan yang dilansir media massa,
baik televisi, media cetak atau portal berita online, acapkali jauh dari
kenyataan. Jean Baudrillard, pakar media asal Perancis, meyakini bahwa media
merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam persoalan.
Baudrillard melihat apa yang kita anggap
sebagai realitas sejatinya adalah pandangan media terhadap isu tersebut. Bisa
dikatakan, realitas bisa terwujud dalam berbagai bentuk sesuai dengan banyaknya
media dan gambar. Dengan kata lain, simbol realitas telah menggantikan realitas
itu sendiri.
Mengikuti jejak pikiran Baudrillard, di mana
media merupakan perangkat untuk mengacaukan hakikat dan kenyataan beragam
persoalan, maka sebagai penikmat, pembaca dan penonton akan sulit menemukan
kenyataan yang hakiki.
Beragam kepentingan yang menelikung para
pewarta telah membuat model produksi berita menjadi absurd. Kepentingan para
pemodal mampu merangsek idealisme jurnalis sebagai sosok yang dipuja,
diagungkan oleh sebagian orang. Inilah gambaran kasar, di mana hubungan
produksi berita dan kekuatan-kekuatan produksi pemodal saling tumpang tindih.
Dalam igauan Karl Marx, dalam situasi seperti
ini, media bisa dilihat sebagai suatu institusi yang sangat memungkinkan
berbagai ideologi kelas bertarung. Bahkan, ekonomi dianggap berhubungan erat
dengan determinasi teknologi, sementara budaya industri berada dalam suatu
determinasi ekonomi. Asumsi yang ingin dikembangkan Marx adalah pergeseran
model the capitalist mode of production
dalam siklus media massa.
Jika demikian, dunia televisi, media cetak
dan portal berita online, kehilangan keindahan, tebaran pesona (totally disenchanted) serta tidak tahu
malu (almost shameful) terhadap
kenyataan yang bergemuruh di ranah publik. Mereka telah memutarbalikkan fakta,
menjungkirbalikkan obyek berita, dan terutama telah mengubur etika dan
nilai-nilai luhur di masyarakat.
Dalam situasi demikian, masihkah kita percaya
kepada para jurnalis yang berperan sebagai broker
berita? Masihkah kita menaruh hormat terhadap sosok pewarta yang memosisikan
dirinya sebagai Don, bos besar, yang
mampu mendikte arus berita publik?
Di tengah karut-marut sosok
pewarta yang kabur, absurd, tak
teridentifikasi itu, masih ada sebagian pewarta yang menjadi pemeluk teguh
keimanan bertajuk idealisme itu. Mereka para pewarta yang menulis dari dasar
kalbu, dari kedalaman jiwa, dari lorong rahim bahasa ibu bernama kebenaran. ●
Bung Edy, coba lihat kelakuan kawan-kawan anda di Padepokan Thaha / Misykatul Anwar. Mereka mengajarkan prosesi tawajjuh yang bisa anda baca detailnya di http://www.facebook.com/notes/sudirman-el-batamy/testimoni-tentang-kesesatan-ajaran-ritual-tawajjuh-misykatul-anwar-jika-anda-mus/10150348811676020
BalasHapus