Antara PSK dan
Prostitusi Politik
Endang Suryadinata ; Pengamat Sosial, Alumnus Erasmus
Universiteit Rotterdam-Belanda,
Tinggal di Surabaya
|
SINAR
HARAPAN, 01 Oktober 2012
Belum lama ini jaringan prostitusi yang
memanfaatkan teknologi seperti BlackBerry dan internet dibongkar oleh
Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Ratu mucikarinya bernama Yunita atau
Keiko. Untuk bisa “order” atau masuk dalam jaringan itu harus melalui sebuah
grup BBM (BlackBerry Messenger).
Jaringannya beranggotakan 2.600 pekerja seks
komersial (PSK) serta beromzet sangat besar. Tarifnya cukup mahal, dari Rp 1-10
juta. Untuk setiap selesai transaksi, Keiko mendapatkan uang jasa Rp 500.000
per PSK. Dalam sehari, minimal terjadi 20 transaksi sehingga dalam setahun
Keiko bisa mengumpulkan Rp 9 miliar lebih. Sayang, polisi mengaku sulit
mengungkap secara tuntas jaringan ini.
Yang menarik dari penuturan
Keiko, ternyata ada 1.600 pejabat pemerintah yang menjadi langganannya.
Biasanya para PSK dipakai para pejabat untuk menemani ketika ada kunjungan
kerja ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Bisa juga untuk melayani
hasrat sesaat, semisal untuk menjadi menu tambahan makan siang. Biasanya, Keiko
langsung akan mengontak anak buahnya untuk bertemu pelanggan di sebuah
apartemen atau hotel di Surabaya.
Praktik prostitusi yang disebut “e-prost” atau prostitusi dunia maya itu
memang pangsa pasarnya kian terbuka. Ironisnya, hal ini terjadi di Jawa Timur
yang pemrov-nya tengah menggalakkan program penutupan semua lokalisasi
pelacuran, termasuk lokalisasi Dolly di Surabaya yang begitu legendaris.
Jelas keberadaan “e-prost’ seperti meledek
program itu. Prostitusi memang mustahil diberantas, karena kemajuan teknologi,
seperti BB atau internet justru bisa dimanfaatkan sehingga seorang PSK tidak
perlu lagi berpraktik di lokalisasi. Cukup dengan sebuah pesan di email, inbox
Facebook atau Twitter, serta BBM, para PSK bisa diorder untuk bertransaksi
seksual.
Para Pelacur Politik
Yang memalukan, mayoritas pelanggan jaringan
Keiko ternyata justru para pejabat pemerintahan. Maka prostitusi ini jelas
berdimensi politis. Bisa saja anak buah Keiko dipakai sebagai sarana untuk
menghibur sesama pejabat. Para PSK itu juga bisa dimanfaatkan para pengusaha
atau siapapun yang ingin urusannya terkait birokrasi menjadi lancar.
Kebetulan di sebuah acara talkshow televisi
pernah muncul debat sengit antara Ketua Divisi Hukum FPI Munarman dengan Sujiwo
Tedjo dan Karni Ilyas, soal lebih buruk mana pelacur atau politikus yang busuk.
Ini jelas wacana menarik, karena mayoritas
publik sudah telanjur menilai apa yang dilakukan para elite politik kita, baik
yang di pusat (Jakarta) atau di daerah, sudah masuk kategori pelacuran politik.
Konon, pelacuran ini tengah marak dilakukan hari-hari ini.
Ada banyak contoh atau deskripsi yang
mengindikasikan apa yang dilakukan para politikus kita lebih rendah daripada
apa yang dilakukan PSK. Bila transaksi PSK dengan pelanggannya tak merugikan
publik, politik transaksional kita dampaknya bisa amat merugikan publik.
Coba simak kasus Wisma Atlet atau Hambalang
yang mengindikasikan keterlibatan sejumlah politikus dan parpol. Kita sudah
melihat politikus Demokrat dan anggota DPR Angelina Sondakh yang sudah
berstatus terdakwa dan diadili hari-hari ini.
Tapi anehnya, kadang dari Gedung DPR kerap
muncul kebijakan yang ganjil, yang mengindikasikan adanya hiprokisi atau
kemunafikan. Pada Senin, 5 Maret lalu, misalnya, DPR menetapkan aturan agar
siapapun yang bekerja dan hadir di Gedung DPR di Senayan jangan memakai pakaian
mini atau seksi. Aturan ini kontan direaksi oleh publik.
Nurul Arifin, anggota DPR dari Partai Golkar
menilai, DPR sebaiknya jangan berupaya memulihkan atau memperbaiki citranya
yang sudah buruk di masyarakat dengan menyalahkan tubuh perempuan.
Kebijakan larangan rok mini itu memang
menggelikan, karena kita ingat bagaimana DPR selama ini penuh dengan proyek
fiktif dan para politikus di Senayan, khususnya di Banggar, sudah menjadi
semacam mafia yang kerap mencari fee
dalam proyek-proyek yang memanfaatkan APBN-Perubahan.
Karena itu, para wakil rakyat di Senayan
konon tak pantas menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Mereka lebih pantas
disebut sebagai wakil parpol. Mereka lebih gigih menggelembungkan pundi-pundi
partai dan pribadi daripada menyejahterakan rakyat. Apa yang dilakukan para
anggota dewan yang hanya berorientasi mencari kekayaan pribadi itu juga lebih
buruk daripada apa yang dilakukan oleh para PSK.
Kita juga kerap mendengar wacana reformasi
birokrasi. Adanya remunerasi ternyata tidak memupus budaya korupsi. Dari kasus
pegawai pajak Gayus Tambunan atau Dhana Widiyatmika, publik tahu kerakusan dan
ketamakan sudah menyandera para pegawai kita sehingga uang dan kekayaan untuk
diri sendiri yang jadi orientasi. Kelakuan mereka boleh jadi lebih buruk dari
para PSK, karena tidak malu-malu mengembat uang rakyat lewat pajak.
Ini belum lagi kalau kita bicara tentang
dunia hukum kita, yang sudah disandera para mafia. Negeri kita telah menjadi
surga bagi para koruptor, para markus, atau calo perkara. Bahkan para aparat
hukum seperti jaksa Cirus Sinaga atau hakim tindak pidana korupsi (tipikor)
mudah disuap dan menjadi bagian dari permasalahan yang membelit bangsa ini.
Demi uang, mereka semua melakukan pelacuran
politik. Dengan sangat mudah mereka memperkaya diri atau kelompoknya lewat
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anehnya, pengaruh, kekuasaan, dan
posisi tawar politik mereka justru lalu berkembang menggurita, seiring
bertambahnya kekayaan mereka.
Kekuasaan Neurotik
Apa yang dilakukan para elite politik kita di
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, menurut Calvin S Hal dan Gardner
Lindzeyn (1978) disebut kekuasaan neurotik yang menyedihkan. Karena itu jangan
heran bila mereka lupa pada tujuan mulia politik yang mengupayakan "bonum commune" atau kemaslahatan
bersama. Mereka hanya menyebabkan "malum"
atau keburukan bagi rakyat.
Bagi para pelacur politik, tak peduli ada
banyak orang dikorbankan dalam tingkah polah mereka. Pokoknya, bagi mereka
persoalan etika politik, pelajaran budi pekerti, atau kritik para cerdik pandai
di media hanya angin lalu.
Begitulah, kita kini bisa menilai sendiri apa
beda prostitusi atau pelacuran yang digeluti anak buah Keiko, para PSK di
lokalisasi, dengan para pelacur politik yang menyandera dan melecehkan anak
bangsa.
Pelacuran politik yang dilakukan para oknum
eksekutif, legislatif, atau yudikatif di atas jelas lebih besar dampaknya bagi
rakyat, bangsa, dan negara. Beda dengan dampak yang ditimbulkan para PSK di
Dolly. Model pelacuran politik yang kian menggurita itulah yang mendesak untuk
diakhiri.
Tulisan ini akan diakhiri dengan pernyataan
pemimpin gerakan feminis di Amerika Utara, yang sekaligus seorang pelacur dan
dikutip oleh Tommy Soeharto: “Sesungguhnya
yang pantas disebut pelacur itu adalah para politisi dan elite penguasa yang
telah menyebabkan kami bernasib seperti ini akibat kebijakan mereka yang bodoh.
Setidaknya kalau kami, para pelacur, komoditasnya jelas, sedangkan para
politisi dan elite penguasa komoditasnya berupa kebohongan kepada publik,
menjual kemiskinan, dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seolah tidak ada
masalah dan bukan kesalahan mereka, bahkan sering menyalahkan zaman.” (Koran Sindo, 16/9/2009). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar