Selasa, 02 Oktober 2012

Antara PSK dan Prostitusi Politik


Antara PSK dan Prostitusi Politik
Endang Suryadinata ;  Pengamat Sosial, Alumnus Erasmus
Universiteit Rotterdam-Belanda, Tinggal di Surabaya
SINAR HARAPAN, 01 Oktober 2012


Belum lama ini jaringan prostitusi yang memanfaatkan teknologi seperti BlackBerry dan internet dibongkar oleh Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Ratu mucikarinya bernama Yunita atau Keiko. Untuk bisa “order” atau masuk dalam jaringan itu harus melalui sebuah grup BBM (BlackBerry Messenger).

Jaringannya beranggotakan 2.600 pekerja seks komersial (PSK) serta beromzet sangat besar. Tarifnya cukup mahal, dari Rp 1-10 juta. Untuk setiap selesai transaksi, Keiko mendapatkan uang jasa Rp 500.000 per PSK. Dalam sehari, minimal terjadi 20 transaksi sehingga dalam setahun Keiko bisa mengumpulkan Rp 9 miliar lebih. Sayang, polisi mengaku sulit mengungkap secara tuntas jaringan ini.

Yang menarik dari penuturan Keiko, ternyata ada 1.600 pejabat pemerintah yang menjadi langganannya. Biasanya para PSK dipakai para pejabat untuk menemani ketika ada kunjungan kerja ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Bisa juga untuk melayani hasrat sesaat, semisal untuk menjadi menu tambahan makan siang. Biasanya, Keiko langsung akan mengontak anak buahnya untuk bertemu pelanggan di sebuah apartemen atau hotel di Surabaya.

Praktik prostitusi yang disebut “e-prost” atau prostitusi dunia maya itu memang pangsa pasarnya kian terbuka. Ironisnya, hal ini terjadi di Jawa Timur yang pemrov-nya tengah menggalakkan program penutupan semua lokalisasi pelacuran, termasuk lokalisasi Dolly di Surabaya yang begitu legendaris.

Jelas keberadaan “e-prost’ seperti meledek program itu. Prostitusi memang mustahil diberantas, karena kemajuan teknologi, seperti BB atau internet justru bisa dimanfaatkan sehingga seorang PSK tidak perlu lagi berpraktik di lokalisasi. Cukup dengan sebuah pesan di email, inbox Facebook atau Twitter, serta BBM, para PSK bisa diorder untuk bertransaksi seksual.

Para Pelacur Politik

Yang memalukan, mayoritas pelanggan jaringan Keiko ternyata justru para pejabat pemerintahan. Maka prostitusi ini jelas berdimensi politis. Bisa saja anak buah Keiko dipakai sebagai sarana untuk menghibur sesama pejabat. Para PSK itu juga bisa dimanfaatkan para pengusaha atau siapapun yang ingin urusannya terkait birokrasi menjadi lancar.

Kebetulan di sebuah acara talkshow televisi pernah muncul debat sengit antara Ketua Divisi Hukum FPI Munarman dengan Sujiwo Tedjo dan Karni Ilyas, soal lebih buruk mana pelacur atau politikus yang busuk.

Ini jelas wacana menarik, karena mayoritas publik sudah telanjur menilai apa yang dilakukan para elite politik kita, baik yang di pusat (Jakarta) atau di daerah, sudah masuk kategori pelacuran politik. Konon, pelacuran ini tengah marak dilakukan hari-hari ini.

Ada banyak contoh atau deskripsi yang mengindikasikan apa yang dilakukan para politikus kita lebih rendah daripada apa yang dilakukan PSK. Bila transaksi PSK dengan pelanggannya tak merugikan publik, politik transaksional kita dampaknya bisa amat merugikan publik.

Coba simak kasus Wisma Atlet atau Hambalang yang mengindikasikan keterlibatan sejumlah politikus dan parpol. Kita sudah melihat politikus Demokrat dan anggota DPR Angelina Sondakh yang sudah berstatus terdakwa dan diadili hari-hari ini.

Tapi anehnya, kadang dari Gedung DPR kerap muncul kebijakan yang ganjil, yang mengindikasikan adanya hiprokisi atau kemunafikan. Pada Senin, 5 Maret lalu, misalnya, DPR menetapkan aturan agar siapapun yang bekerja dan hadir di Gedung DPR di Senayan jangan memakai pakaian mini atau seksi. Aturan ini kontan direaksi oleh publik.
Nurul Arifin, anggota DPR dari Partai Golkar menilai, DPR sebaiknya jangan berupaya memulihkan atau memperbaiki citranya yang sudah buruk di masyarakat dengan menyalahkan tubuh perempuan.

Kebijakan larangan rok mini itu memang menggelikan, karena kita ingat bagaimana DPR selama ini penuh dengan proyek fiktif dan para politikus di Senayan, khususnya di Banggar, sudah menjadi semacam mafia yang kerap mencari fee dalam proyek-proyek yang memanfaatkan APBN-Perubahan.

Karena itu, para wakil rakyat di Senayan konon tak pantas menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Mereka lebih pantas disebut sebagai wakil parpol. Mereka lebih gigih menggelembungkan pundi-pundi partai dan pribadi daripada menyejahterakan rakyat. Apa yang dilakukan para anggota dewan yang hanya berorientasi mencari kekayaan pribadi itu juga lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh para PSK.

Kita juga kerap mendengar wacana reformasi birokrasi. Adanya remunerasi ternyata tidak memupus budaya korupsi. Dari kasus pegawai pajak Gayus Tambunan atau Dhana Widiyatmika, publik tahu kerakusan dan ketamakan sudah menyandera para pegawai kita sehingga uang dan kekayaan untuk diri sendiri yang jadi orientasi. Kelakuan mereka boleh jadi lebih buruk dari para PSK, karena tidak malu-malu mengembat uang rakyat lewat pajak.

Ini belum lagi kalau kita bicara tentang dunia hukum kita, yang sudah disandera para mafia. Negeri kita telah menjadi surga bagi para koruptor, para markus, atau calo perkara. Bahkan para aparat hukum seperti jaksa Cirus Sinaga atau hakim tindak pidana korupsi (tipikor) mudah disuap dan menjadi bagian dari permasalahan yang membelit bangsa ini.

Demi uang, mereka semua melakukan pelacuran politik. Dengan sangat mudah mereka memperkaya diri atau kelompoknya lewat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anehnya, pengaruh, kekuasaan, dan posisi tawar politik mereka justru lalu berkembang menggurita, seiring bertambahnya kekayaan mereka.

Kekuasaan Neurotik

Apa yang dilakukan para elite politik kita di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, menurut Calvin S Hal dan Gardner Lindzeyn (1978) disebut kekuasaan neurotik yang menyedihkan. Karena itu jangan heran bila mereka lupa pada tujuan mulia politik yang mengupayakan "bonum commune" atau kemaslahatan bersama. Mereka hanya menyebabkan "malum" atau keburukan bagi rakyat.

Bagi para pelacur politik, tak peduli ada banyak orang dikorbankan dalam tingkah polah mereka. Pokoknya, bagi mereka persoalan etika politik, pelajaran budi pekerti, atau kritik para cerdik pandai di media hanya angin lalu.

Begitulah, kita kini bisa menilai sendiri apa beda prostitusi atau pelacuran yang digeluti anak buah Keiko, para PSK di lokalisasi, dengan para pelacur politik yang menyandera dan melecehkan anak bangsa.

Pelacuran politik yang dilakukan para oknum eksekutif, legislatif, atau yudikatif di atas jelas lebih besar dampaknya bagi rakyat, bangsa, dan negara. Beda dengan dampak yang ditimbulkan para PSK di Dolly. Model pelacuran politik yang kian menggurita itulah yang mendesak untuk diakhiri.

Tulisan ini akan diakhiri dengan pernyataan pemimpin gerakan feminis di Amerika Utara, yang sekaligus seorang pelacur dan dikutip oleh Tommy Soeharto: “Sesungguhnya yang pantas disebut pelacur itu adalah para politisi dan elite penguasa yang telah menyebabkan kami bernasib seperti ini akibat kebijakan mereka yang bodoh. Setidaknya kalau kami, para pelacur, komoditasnya jelas, sedangkan para politisi dan elite penguasa komoditasnya berupa kebohongan kepada publik, menjual kemiskinan, dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seolah tidak ada masalah dan bukan kesalahan mereka, bahkan sering menyalahkan zaman.” (Koran Sindo, 16/9/2009). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar