Kamis, 04 Oktober 2012

Rindu Pemimpin Humanis


Rindu Pemimpin Humanis
Siti Marwiyah  ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 04 Oktober 2012


"Pemimpin terhadap yang dipimpin itu laksana orangtua yang menyayangi dan melindungi anaknya sendiri." (Plato)

Pernyataan filosof ini merupakan nasihat bagi setiap penguasa supaya cerdas dan berintegritas dalam menjalankan amanat kepemimpinannya. Bagaimana dengan para pemimpin negeri ini? Sudahkah mereka menunjukkan kinerja yang berbasis "pemanusiaan" rakyat?

Kasus (tragedi) Sampang merupakan bukti konkrit, bahwa pemimpin kita belum menjadi orangtua dan pengemban amanat yang baik. Mereka belum bekerja maksimal menyayangi dan melindungi rakyat. Jika mereka memang merasa sudah berbuat maksimal, tentu kasus Sampang atau lainnya tidak perlu terjadi dan meledak sampai berulang (jilid-2). Kalau mereka memang benar dan sungguh-sungguh mengadvokasi atau mehumanisasi rakyat, tentu tragedi Sampang tidak berlanjut ke jilid-2 (paska kejadian Desember lalu). Kekerasan yang mengalirkan darah tak sampai terjadi, manakala pemimpin kita menjadikan potensi friksi sebagai "proyek" istimewa amanat jabatannya.

Umar bin Khattab pernah mengingatkan mengenai keniscayaan kehancuran Jerusalem kepada seorang uskup gereja. "Kota ini akan hancur jika kita kurang kuat iman. Apabila umat Islam menjual kebenaran dan mengumpulkan kekayaan serta mencari kenikmatan duniawi, kehilangan perangai baik, berhubungan dengan perempuan secara tak bermoral dan tak adil, gemar melakukan fitnah, cemburu dan iri hati, tidak bersatu dan unjuk kemunafikan, serta terperosok dalam perbuatan dosa, maka persatuan dan kedamaian akan musnah. Tindakan-tindakan tercela ini akan menyebabkan perpecahan, perpisahan dan kehancuran."

Peringatan Umar bertitel pendekar keadilan dan kemanusiaan kepada uskup itu menunjukkan bahwa terjadinya disintegrasi, merekahnya persatuan dan kehancuran bangsa, bukan disebabkan oleh pluralisme, namun lebih disebabkan oleh degradasi etik relasi kemanusiaan-kebangsaan, lenyapnya kejujuran, maraknya kezaliman, dan pemujaan terhadap perbuatan-perbuatan palsu, parasit, dan tercela lainnya.

Pesan itu berkaitan dengan amanat sosial politik yang ditujukkan pada setiap pemimpin, yang berkewajiban mempanglimakan kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan eksklusif pribadi dan golongan. Pimpinan agama dan pemerintahan yang berpengaruh kuat secara sosial, politik dan hukum diingatkan agar tak "memberhalakan" "aborsi" moral, egoisme keberagamaan dan keyakinannya.

Sayangnya, tak sedikit pemimpin di negeri ini terperosok dalam keasyikkan atau eforia menikmati ragam pola hidup, relasi sosial struktural, rajutan pertarungan politik, keserakahan ekonomi dan bangunan kultural dan struktural eksklusif yang lebih memihak kepongahan, keserakahan, ketamakan dan bahkan "penyunatan" amanah secara sistemik. Sementara, tanggung jawab humanistiknya dalam menjaga persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah) dan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) diabaikannya.
Komunitas pemimpin itu merasa bangga bisa memerangkapkan dirinya dalam akrobat kemunafikan dan formalisme keagamaan, serta menghabiskan waktunya lebih banyak untuk urusan kepentingan diri, keluarga, dan kelompok eksklusivitasnya. Sementara, kepentingan humanitas-religiusitas seperti keberagamaan dalam keberagamaan kurang mendapat perhatian serius.

Pemimpin negeri yang sedang "terlena" itu merupakan deskripsi komunitas elitis yang gagal menerjemahkan dan menyejahterakan peran-peran positif dan fundamental progresif yang mendisain wilayah kehidupan masyarakat negeri ini sebagai arena amanat progresif menuju pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan masyarakat. Mereka memang menempati posisi sebagai elite bergaji besar, namun masih "miskin" kinerja humanis-nasionalistik akibat dikalahkan atau dikerangkeng oleh kepentingan hedonisme strukturalnya.

Oleh komunitas pemimpin itu, masyarakat negeri ini dibiarkan atau bahkan diterpurukkan dalam ketidakberdayaan berlapis. Dibiarkannya masyarakat makan nasi aking dan mengidap kurang gizi (malnutrisi). Radikalisme yang kian meliberalisasi, kemiskinan yang terus menghegemoni, dan berbagai jenis penyakit akut lainnya, adalah bukti kalau pemimpin negeri ini lebih sibuk mengurus diri, kroni, keluarga, dan partainya daripada mengurus problem keumatan.

Mereka itu masih terpesona dan terpedaya oleh magnet kepentingan (kesenangan) keduniaan, hedonisasi kekuasaan dan kekayaan. Mereka bangga bisa diperbudak nafsu, dihegemoni ambisi, menjual integritas moral, menggadaikan keimanan dan mengomoditaskan komitmen kerakyatan dan kebangsaannya. Mereka tidak serius menangani problem seperti disparitas sosial dan ekonomi serta friksi keragaman dalam keberagamaan. Mereka baru menunjukkan keseriusannya setelah darah rakyat tumpah menggenangi bumi Pertiwi.

Mereka tahbiskan hedonisasi dan monologisasi gaya hidup, suatu praktik pemberhalaan kesenangan dan perburuan kepuasan sesaat, tanpa mengindahkan kalau hal ini dapat mendestruksi dan merugikan diri sendiri, sesama dan jati diri bangsa, yang kesemuanya ditempuh dengan menjarah, merampas, atau menggerogoti kekayaan publik.

Mereka juga barangkali tak merasa berdosa meski akibat kelalaian dan pengeliminasian amanat strukturalnya, antara kelompok satu dan kelompok lainnya terseret dalam pembenaran memproduksi kekerasan. Atau, meminjam istilah Thomas Hobbes, bellum omnium contra omnes (kelompok yang satu dengan lainnya sibuk dalam pertarungan).

Apa yang dipesankan Khalifah Umar di atas pun bermaksud membangunkan atau membangkitkan (baca: menyadarkan) pemimpin negeri ini yang lama terlelap di jalan ekstasi kepemimpinan, suatu pola memuja keterbelakangan, mengabsahkan penyakit yang merawankan bangsa, rajin mencari dan melebarkan peluang berkorupsi, menyalahgunakan kekuasaan, atau asyik menikmati petualangan yang berdampak menyengsarakan rakyat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar