Selamatkan KPK
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset
Bidang Intermestic Affairs
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 8 Oktober 2012
JUDUL artikel ini saya ambil dari tulisan diikat kepala ratusan
anak-anak muda yang berunjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kuningan, Jakarta, pada Jumat (5 Oktober 2012). Tujuan mereka mendukung
lembaga itu dan membersihkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dari
pelaku korupsi berpangkat jenderal. Kebetulan pada hari yang sama Inspektur
Jenderal (Irjen) Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri
(Korlantas) dan juga mantan Gubernur Akademi Kepolisian Republik Indonesia,
memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka pelaku korupsi
pengadaan alat simulasi berkendara (simulasi SIM) yang merugikan negara senilai
kurang lebih Rp100 miliar.
Dukungan terhadap KPK juga datang dari pengunjuk rasa lain yang
menamakan diri Warga Pendukung Pemberantasan Korupsi, kalangan aktivis hak-hak
asasi manusia (HAM), kalangan muda aktivis antikorupsi dari Indonesia
Corruption Watch (ICW), Transparansi Internasional Seksi Indonesia, lembaga
bantuan hukum, buruh migran, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia
(BEM-UI), kalangan intelektual kampus dan nonkampus, rohaniwan, dan banyak
lagi. Di antara spanduk yang mereka bentangkan berbunyi `Kami Butuh Penyelidik,
bukan Jenderal Busuk'.
Gegap gempita dan berbaurnya putra-putri Indonesia berusia tua dan
muda itu dipicu kegeraman mereka kepada berbagai kalangan yang berusaha
melemahkan KPK, khususnya dari kalangan oknum-oknum di DPR-RI dan Polri.
Gerakan mereka mendapatkan momentum yang kuat pada Jumat pekan lalu karena
secara kebetulan Irjen Djoko Susilo akhirnya mau memenuhi panggilan KPK untuk
diperiksa sebagai tersangka korupsi setelah sepekan sebelumnya menolak dengan
alasan menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA) atas permohonan fatwa mengenai
lembaga apa yang pantas memeriksanya, Polri atau KPK.
Untungnya, MA masih memiliki nalar sehat, yakni menolak memberikan
fatwa karena hanya institusi yang boleh mengajukan permohonan tersebut, bukan
individu, apalagi individu yang terkait tindak pidana korupsi.
Secara kebetulan pula, menjelang tengah malam Jumat itu, beberapa
perwira Polri, Provos Polri, dan anggota Polri berpakaian preman berupaya untuk
menerobos masuk Gedung KPK untuk menjemput paksa salah seorang penyidik KPK
Komisaris Novel Baswedan dengan dalih untuk mempertanggungjawabkan perbuatan
diri dan anak buahnya pada 2004 yang telah menye babkan hilang nya nyawa
seorang `pencuri sarang burung walet' pada penyergapan di Bengkulu.
Komisaris Novel Baswedan ialah satu dari lima penyidik Polri yang
masih belum mau kembali ke jajaran Polri. Kita semua tahu bahwa setelah kasus
korupsi di Korlantas Polri mencuat, Polri langsung menarik 20 penyidik mereka
di KPK dengan alasan `sudah habis masa tugas'. Padahal, biasanya perpanjangan
masa tugas empat tahunan itu dapat saja dilakukan.
Namun, karena Novel ialah perwira pertama Polri yang gagah berani
dan gigih membela KPK saat penggeledahan di Gedung Korlantas Polri di Jalan MT
Haryono beberapa waktu lalu dan juga menjadi salah seorang pemeriksa kasus
Djoko Susilo, tak mengherankan dialah yang jadi sasaran untuk ditarik paksa
dari KPK.
Tidak Konsisten
Anehnya, Wakapolri Komjen Nanan Sukarna menyatakan gerakan
pemanggilan paksa atas lima penyidik Polri di KPK itu ibarat tindakan `seorang
ayah yang membawa pulang anak-anaknya yang bandel atau tidak patuh' (The Jakarta Post, 6/10). Padahal, Nanan
ialah perwira tinggi Polri yang selama ini mewajibkan anggota Polri untuk
memasang lencana bundar bertuliskan `Anti-KKN' di dada kiri, agar slogan itu
merasuk ke hati sanubari mereka. Tapi, Nanan pula yang kemudian membuat
pernyataan bahwa dalam menentukan pena hanan atas Djoko Susilo, para
penyidik--yang kebetulan berasal dari Polri--harus mempertimbangkan aspek hukum
dan hati nurani (Kompas, 6/10).
Kita patut menduga bahwa kata `hati nurani' mungkin terkait dengan
posisi Djoko Susilo sebagai perwira tinggi berbintang dua dan kalangan penyidik
Polri di KPK juga harus memiliki `jiwa korsa' (esprit de corps) dan nurani serta rasa hormat kepada senior mereka.
Belakangan ini memang terkuak kembali penggunaan semangat jiwa korsa secara
salah. Jiwa korsa yang lebih menekankan right
or wrong it is my institution dapat saja menjerumuskan institusi Polri ke perlindungan
terhadap kalangan dalam Polri yang melakukan korupsi. Selama ini mereka yang
diperiksa, diadili, dan dimasukkan penjara ialah para anggota Polri berpangkat
perwira menengah ke bawah, dan baru kali ini jenderal Polri aktif diperiksa.
Selama ini pula setiap tahun puluhan atau ratusan anggota Polri
yang dicopot dan dipecat dari dinas Polri ialah para pelanggar yang berpangkat
bintara sampai ke perwira menengah. Belum ada yang dari perwira tinggi Polri.
Itu yang kemudian menimbulkan pandangan di jajaran Polri sendiri bahwa hal
tersebut sangat tidak fair. Cara-cara penyelesaian internal yang kemudian
dilanjutkan dengan pe mecatan di tubuh Polri juga dinilai sebagai proses yang
tidak adil karena para pelanggar hukum itu tidak memiliki orang yang dapat mem
bela layaknya di pengadilan. Selama ini pula ang gota Polri yang tertangkap
tangan bertugas sebagai `putor'
(pemungut dan penyetor), ialah dari kalangan bintara sampai perwira menengah.
Baru kali ini seorang perwira tinggi Polri jadi tersangka korupsi yang bukan
mustahil ialah bagian dari praktik `putor'
di tubuh Polri. Putor ialah seorang
anggota Polri yang melakukan pemungutan di jalan-jalan raya, perusahaan, atau
di mana pun lalu menyetor kepada atasannya langsung.
Pemeriksaan yang bukan mustahil akan dilanjutkan dengan penahanan
terhadap Djoko Susilo pada akhir pekan ini tersebut memang merupakan `tamparan
bagi Polri'. Betapa tidak! Selama ini Polri sedang giat-giatnya berkampanye
anti-KKN. Selain itu, Polri yang didukung oleh beberapa orang di DPR RI sedang
berupaya keras mengemba likan posisi Polri sebagai penegak hukum yang se bagian
fungsi dan tugasnya kini diambil alih oleh KPK. Sayangnya, cara-cara untuk
mengembalikan fungsi tersebut tidak dengan cara-cara yang elegan.
Terus Dilemahkan
Di kalangan DPR RI, khususnya Komisi III bidang hukum, juga ada
upaya keras untuk melemahkan KPK. Kita tidak tahu apakah itu terkait dengan
semakin banyaknya anggota DPR yang diperiksa KPK karena terkait kasus-kasus
hukum, atau karena faktor lain. Pastinya, dengan dalih ingin memperkuat KPK
kalangan itu ingin mengamendemen UU KPK.
Padahal, ada pemikiran dari para pendukung amendemen tersebut agar
KPK bukan lagi lembaga eksekutor penegakan korupsi di Indonesia, melainkan
sebagai lembaga yang hanya menjadi `supervisor'
atau pembimbing Polri dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Padahal lagi
kita tahu bahwa sebagai supervisory body
KPK tidak akan punya gigi terhadap Polri dan kejaksaan karena nasihat-nasihat
mereka tidak akan didengar. Kalaupun didengar, nasihat hanya akan masuk kuping
kiri dan keluar di kuping kanan.
DPR ialah institusi yang juga menghalang-halangi pemberian
anggaran bagi KPK untuk membangun gedung baru dengan dalih KPK ialah lembaga ad
hoc yang bersifat sementara. KPK juga, kata DPR, akan dicarikan gedung seperti
Gedung BPPT di kompleks Kementerian Ristek yang kini kurang terpakai. Padahal
kita tahu gedung itu sudah tua dan tak terawat. Tidaklah mengherankan jika
banyak kalangan yang berupaya membantu KPK dengan mengumpulkan uang dari masyarakat
dengan nama Koin untuk KPK. Hingga kini baru terkumpul sekitar Rp300 juta,
angka yang amat kecil jika dibandingkan dengan biaya membangun gedung baru KPK
yang miliaran rupiah.
Anehnya, baik pemerintah maupun DPR tidak tergerak hati untuk
memberikan anggaran pembangunan gedung baru KPK tersebut. Mungkin mereka
menilai KPK kini sudah menjadi lembaga yang `bikin pusing' daripada yang
meningkatkan citra mereka.
KPK generasi ketiga itu memang tampak lebih tegas dalam
memberantas korupsi di Tanah Air. KPK juga tampak secara sistematis berupaya
memberantas korupsi dari yang dulunya hanya ke ranah DPR dan pejabat publik
kini merambah ke jajaran Polri. Bukan mustahil tak lama lagi KPK juga dapat
merambah ke jajaran TNI yang melakukan korupsi pengadaan barang atau pengadaan
alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Dalam waktu dekat kita juga berharap KPK dapat menguak tabir
korupsi terkait dengan kasus Bank Century yang patut diduga dilakukan bukan
hanya oleh kalangan dalam Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, melainkan
juga kalangan dekat istana. KPK juga belum menuntaskan kasus proyek Wisma Atlet
di Palembang dan proyek sekolah atlet di Hambalang, Bogor.
Kita tunggu saja apakah ada gebrakan-gebrakan baru KPK yang juga
akan menjadikan kalangan pimpinan partai pemerintah dan atau kalangan dekat
istana sebagai tersangka korupsi. Jika ini memang ada dan menjadi kenyataan,
berarti kita masih punya asa atas pemberantasan korupsi di Indonesia. Maju terus KPK, rakyat pasti mendukungmu! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar